Kurikulum Peduli Lingkungan
Satu hal yang tidak bisa dihindari, anak-anak akan mewarisi bumi yang semakin rusak. Karena itu, anak-anak harus disiapkan menghadapi dan mampu beradaptasi dengan kondisi bumi, juga untuk merawat bumi.

Supriyanto
Anak-anak telah menjadi bagian yang menerima dampak dari setiap masalah yang ada di bumi saat ini. Meskipun mereka bukan penyebab dari semua masalah tersebut, mereka tetap ikut menelan getahnya. Bahkan mereka harus membayar paling mahal konsekuensi dari perbuatan orang dewasa. Ancaman terbesar yang akan dihadapi anak-anak adalah krisis iklim dan kerusakan lingkungan.
Krisis iklim dan kerusakan lingkungan merupakan ancaman besar yang menghadang. Laporan ke-6 Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim atau Intergovernmental Panel Climate Change (IPCC)) menegaskan, diperlukan komitmen yang ambisius untuk mengurangi emisi global di dekade ini supaya target dari Perjanjian Paris 2015 untuk membatasi temperatur bumi kurang dari 1,5 derajat celsius tercapai.
Berbagai ancaman bencana pun tidak luput membersamai mulai dari kebakaran, kekeringan, banjir, hingga ancaman tenggelamnya kota di berbagai pesisir. Ancaman itu diprediksi semakin parah pada tahun 2050. Tahun ketika anak-anak telah tumbuh dewasa dan mengambil alih peran.
Mitigasi menjadi tugas penting orang dewasa saat ini. Namun, mendidik anak-anak untuk siap menghadapi dan mampu beradaptasi dengan kondisi bumi juga tidak kalah penting.
Baca juga: Indikasi Perubahan Iklim Indonesia
Ahli waris
Generasi Z dan generasi Alpha merupakan pemegang tongkat estafet yang akan melanjutkan perjalanan. Masalahnya, tongkat estafet yang akan diserahkan kepada generasi tersebut berada dalam kondisi memprihatinkan. Generasi Z dan Alpha ini terancam mewarisi rumah yang hampir roboh. Rumah manusia dan makhluk hidup lain satu-satunya, yaitu bumi.
Diawali sejak pandemi Covid-19, kekacauan mulai diwariskan. Adanya pandemi Covid-19 membuat sejumlah anak kehilangan orangtua. Peran orangtua menjadi absen di kehidupan anak-anak yang masih membutuhkan pendampingan.

Siswa SD Negeri Kaliasin 1 membentangkan poster bertema lingkungan saat melakukan kampanye dalam rangka Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional di Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (2/11/2019).
Adanya pandemi membuat pendidikan masih berfokus untuk merespons dan beradaptasi dengan kondisi wabah dan belum responsif terhadap isu lingkungan. Padahal, ancaman kerusakan lingkungan tidak dapat dihindari. Artinya, penanaman sikap peduli lingkungan juga harus ditanamkan sejak saat ini.
Beberapa sekolah mungkin sudah berupaya menanamkan sikap peduli lingkungan. Namun, upaya tersebut masih berupa aturan yang sangat mungkin tidak terinternalisasi dalam diri siswa yang notabene terdiri atas generasi Z.
Adanya pandemi membuat pendidikan masih berfokus untuk merespons dan beradaptasi dengan kondisi wabah dan belum responsif terhadap isu lingkungan.
Generasi Z adalah sebutan untuk generasi yang lahir pada tahun 1996-2010. Sebagian dari generasi Z saat ini masih menduduki bangku sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA).
Berdasarkan beberapa penelitian (Nicholas, 2020; Mosca et al, 2019; Iftode, 2019) diketahui bahwa generasi yang sangat dekat dengan teknologi dan internet ini memiliki gaya belajar yang berbeda dengan generasi sebelumnya.
Sebanyak 95 persen siswa yang terlibat dalam penelitian menyatakan lebih suka memecahkan masalah untuk mempelajari materi, sementara 90 persen menyatakan lebih mudah memperoleh pengetahuan melalui analisis kasus yang relevan.
Penelitian tersebut sangat jelas, metode yang berbasis teacher centered tidak lagi relevan. Pembelajaran harus menggunakan metode student centered. Siswa harus disuguhi berbagai jenis kasus untuk dianalisis dan dipecahkan guna menstimulasi proses belajar dan pemahamannya. Termasuk pemahaman terhadap kondisi lingkungan dan bagaimana memecahkan masalahnya.
Baca juga: Urgensi Pendidikan Ekologis di Sekolah
Pembelajaran yang responsif
Melaksanakan pendidikan dengan pijakan berupa kurikulum yang responsif terhadap berbagai kondisi saat ini dan prediksi situasi di masa mendatang merupakan sebuah keharusan. Siswa sudah tidak seharusnya memperoleh pembelajaran yang tidak relevan dengan kehidupan mereka. Siswa harus memiliki keterampilan, pengetahuan, dan kepedulian terhadap situasi dan kondisi yang akan dihadapi di masa mendatang.
Salah satu kondisi yang sudah diprediksi oleh para ilmuwan di dunia adalah kondisi lingkungan. Hak ekologis untuk anak-anak dan generasi muda tidak boleh diabaikan. Mereka harus mendapatkan jaminan bahwa saat ini dan di masa mendatang memiliki lingkungan yang sehat.
Selain menjamin mereka memperoleh lingkungan yang sehat, memastikan mereka dapat memelihara lingkungan supaya tetap sehat juga menjadi hal penting. Salah satunya melalui proses pendidikan.

Peserta dari SD Negeri Rungkut Menanggal memperlihatkan majalah dinding bertema pelestarian lingkungan saat Pameran Widya Wahana Pendidikan di Balai Pemuda, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (1/11/2019). Dalam pameran ini banyak sekolah ikut menghadirkan tema peduli lingkungan.
Menurut Journal of Experimental Child Psychology, hal penting yang harus diperhatikan untuk menanamkan sikap peduli pada anak-anak adalah dengan memberitahukan konsekuensi logis. Konsekuensi logis menjadi prekursor terhadap kognitif siswa. Termasuk pada topik-topik yang berkaitan dengan lingkungan.
Menanamkan sikap peduli lingkungan kepada anak-anak tidak cukup hanya dengan membuat peraturan semata. Peraturan hanya akan dilanggar atau hanya berlaku di sekolah ketika tidak ada penjelasan terkait konsekuensi logisnya.
Oleh karena itu, pembentukan kurikulum yang mempersiapkan anak-anak untuk lebih peduli lingkungan adalah hal penting sehingga kepedulian tersebut terinternalisasi dalam diri siswa. Hal ini disebabkan tujuan dari penanaman sikap peduli lingkungan ini tidak sebatas pada waktu anak-anak masih bersekolah, tetapi jangka panjang.
Baca juga: Kewarganegaraan Ekologis
Persoalan lingkungan merupakan persoalan yang melibatkan banyak disiplin ilmu. Oleh sebab itu, untuk dapat menanamkan sikap peduli lingkungan, diperlukan stimulus melalui proses pembelajaran yang melibatkan berbagai mata pelajaran. Para guru diharapkan mampu berkolaborasi untuk mengintegrasikan setiap aspek yang ingin ditanamkan pada anak-anak.
Penerapan kurikulum untuk menanamkan sikap peduli lingkungan pada siswa dapat disisipkan pada beberapa mata pelajaran, seperti biologi, kimia, geografi, dan seni budaya. Memperhatikan prinsip bahwa anak-anak lebih suka belajar dengan melakukan analisis kasus sendiri, dan lebih suka melakukan sesuatu jika didasari konsekuensi logis, proses pembelajaran harus mengacu keduanya.
Sebagai contoh pada pembelajaran biologi, guru dapat mulai mengenalkan konsekuensi logis dari tercemarnya lingkungan akibat sampah plastik. Apabila memungkinkan bagi guru mengadakan pembelajaran secara tatap muka, guru dapat mengajak siswa untuk melakukan praktikum.
Pada pengenalan hewan kelas X atau sistem pencernaan pada kelas XI dapat dilakukan praktikum pembedahan hewan yang didampingi dengan metode pembelajaran problem based learning (PBL).
Pada pembelajaran biologi, guru dapat mulai mengenalkan konsekuensi logis dari tercemarnya lingkungan akibat sampah plastik.
Praktik pembedahan, selain untuk mengenal anatomi ikan, siswa juga diberi kesempatan untuk melihat isi lambung ikan menggunakan mikroskop. Apabila ditemukan plastik atau mikroplastik, siswa akan melihat langsung bagaimana akibat dari perbuatan membuang sampah sembarangan terhadap lingkungan dan ikan yang akan masuk ke rantai makanan.
Melalui penemuan tersebut, siswa dapat distimulasi untuk mencari solusi yang dapat dilakukan siswa guna mencegah masuknya sampah ke lingkungan. Siswa dapat diberi kebebasan untuk membuat sebuah proyek sehari-hari yang berkaitan dengan masalah yang ditemukan.

Komunitas mahasiswa dan siswa pencinta lingkungan menanam mangrove di Mangunharjo, sekitar pesisir pantai utara Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (28/10/2010).
Tidak hanya pada pembelajaran yang notabene berbasis ilmu pengetahuan alam. Bidang ilmu pengetahuan sosial juga dapat diawali dengan mata pelajaran geografi.
Pada kelas X materi dinamika atmosfer, siswa dapat diajak untuk mengukur suhu lingkungan sekitarnya selama kurun waktu tertentu. Dipadukan dengan materi lain, seperti pengenalan sistem penginderaan jauh, siswa dapat diajak untuk mengonfirmasi apakah terjadi perubahan temperatur bumi pada masa lampau dan masa sekarang sesuai hasil pengamatan dan pencariannya. Selanjutnya, siswa dapat diberikan kebebasan untuk mengekspresikan ide bagaimana memecahkan masalah yang ditemukan.
Melalui proses pembelajaran yang membuat siswa menemukan masalahnya sendiri dan mencari jalan keluar dari masalah itu, kepedulian siswa terhadap lingkungan menjadi lebih konkret.
Baca juga: Pesan Lingkungan dari Generasi Z
Selain guru terus berupaya beradaptasi dengan berbagai perubahan yang ada, kiranya pihak berwenang juga memberikan dukungan penuh kepada guru. Hal ini menjadi sangat penting supaya proses belajar-mengajar dapat berjalan efektif dan efisien, terlebih untuk menanamkan sikap peduli lingkungan yang sangat penting untuk dimiliki siswa. Sebab, anak-anak kita di masa depan bukan hanya perlu bertahan hidup, melainkan juga merawat kehidupan.
Retno Suryandari, Alumnus Pendidikan Biologi UIN Sunan Kalijaga dan Mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta