Mana yang Benar, ”Hipotesa” atau ”Hipotesis”?
Kata ”hipotesa”, alih-alih ”hipotesis”, masih saja muncul dalam penggunaan bahasa. Sesungguhnya, mana yang tepat dari kedua kata itu?
Kata hipotesa, alih-alih hipotesis, masih saja muncul dalam penggunaan bahasa. Kedua kata ini berebut tampil seperti tak mau kalah satu sama lain.
Kalau dicari penyebabnya, ada bermacam-macam. Pengguna bahasa, misalnya, tidak tahu mana bentuk yang baku di antara kedua kata itu.
Faktor lain, pengguna bahasa menggunakan perasaannya saat berbahasa. Ada yang suka hipotesa, ada yang suka hipotesis. Yang didahulukan perasaan, bukan alasan linguistis.
Yang didahulukan perasaan, bukan alasan linguistis.
Yang repot ialah kalau pengguna bahasa tidak mau tahu mana bentuk yang baku, yang sesuai dengan kaidah yang sekarang ini dipakai. Yang penting ucapkan dan gunakan saja.
Kata-kata lain yang sejenis dengan itu juga berserakan di jagat maya. Ambil contoh kata analisa-analisis, metamorfosa-metamorfosis, dan sintesa-sintesis. Ada juga kata akomodir-akomodasi, tolerir-toleransi, dan seterusnya.
Pengaruh bahasa asal
Sepanjang hidupnya, bahasa Indonesia menyerap kata-kata dari banyak bahasa. Selain dari bahasa daerah, bahasa Indonesia juga menyerap kata-kata dari bahasa asing.
Kosakata dari bahasa asing yang masuk ke dalam bahasa Indonesia sangat banyak jumlahnya. Saking banyaknya, pengguna bahasa tidak sadar bahwa kata-kata yang diujarkan atau dituliskan sesungguhnya merupakan kosakata dari bahasa asing.
Setidaknya ada sembilan bahasa asing yang pengaruhnya sangat besar terhadap perkembangan kosakata bahasa Indonesia. Sebut saja bahasa Sanskerta, Latin, Parsi, Arab, Portugis, China, Belanda, Jepang, dan Inggris.
Baca juga: ”Sendiri” yang Tak Lazim
Di antara bahasa-bahasa asing tersebut, yang kerap beradu kuat tampil adalah kosakata dari bahasa Belanda dan Inggris. Hal itu bisa terjadi karena kedua bahasa itu memang berpengaruh kuat terhadap pemakaian bahasa Indonesia.
Bahasa Belanda lama menetap dalam pikiran bangsa Indonesia dan terwariskan kepada generasi berikutnya karena bahasa ini menjadi bahasa wajib pada zaman kolonialisme dulu. Akan halnya bahasa Inggris, bahasa ini merupakan bahasa wajib yang diajarkan di sekolah-sekolah setelah zaman kolonialisme.
Itulah sebabnya, aturan penyerapan yang menjadi pedoman adalah aturan yang mengakomodasi kedua bahasa tersebut (periksa: Pedoman Umum Pembentukan Istilah). Jadi, selain memuat unsur-unsur dari bahasa Belanda, aturan dalam pedoman itu juga disertai unsur-unsur dari bahasa Inggris.
Sufiks -fikasi dalam bahasa Indonesia, misalnya, berasal dari -ficatie (Belanda) atau -fication (Inggris). Contoh, spesifikasi berasal dari specificatie (Belanda) atau specification (Inggris).
Dalam aturan terdahulu, sufiks -fikasi mengikuti aturan pembentukan kata dari bahasa Belanda -ficatie. Dalam aturan terdahulu itu tidak dicantumkan aturan pembentukan dari bahasa Inggris. Dengan kata lain, aturan yang berlaku adalah aturan pembentukan kata yang berasal dari bahasa Belanda.
Namun, belakangan, selain sufiks -ficatie (Belanda), dalam pedoman juga disertai sufiks -fication (Inggris). Hal itu untuk menunjukkan bahwa sufiks -fication (Inggris) dipakai sebagai pedoman dalam pembentukan kosakata bahasa Indonesia dengan tidak menghilangkan asal-usul aturan dari bahasa Belanda.
Baca juga: Beda ”Politisi” dan ”Politikus”
Contoh lain adalah sufiks -iteit (Belanda), yang didampingi sufiks -ity (Inggris), dan akan menjadi -tas dalam bahasa Indonesia. Dulu kita menggunakan fasilitet (faciliteit) dan universitet (universiteit), tetapi kini menggunakan fasilitas dan universitas.
Sufiks -tas yang berasal dari -ty kini menjadi patokan yang ajek jika kita ingin mengindonesiakan kata-kata yang berunsur sufiks tersebut. Tak dapat dimungkiri bahwa pada akhirnya kata-kata dari bahasa Inggris-lah, dan bukan Belanda, yang kini dipakai banyak pengguna bahasa Indonesia.
Bentuk baku: hipotesis
Kata hipotesa berasal dari bahasa Belanda, hypothe’se (perkiraan). Kata sejenis dengan itu adalah analisa yang berasal dari analy’se (uraian, pemisahan) (Wojowasito, 2003).
Perubahan sufiks -se pada hypothe’se menjadi -sa pada analisa disebabkan bunyi -se mendekati -sa jika diujarkan. Menurut Badudu (1994), kata yang berakhir dengan bunyi /ə/ tidak terdapat dalam bahasa Indonesia asli (Melayu). Karena itu, bunyi tersebut diganti dengan bunyi /a/. Perubahan -se menjadi -sa kemudian disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia yang berlaku saat itu.
Dalam perkembangan berikutnya, Badan Bahasa (dulu Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa) menetapkan bahwa pengindonesiaan kata-kata asing harus mendahulukan mengambil dari kata-kata bahasa Inggris. Pertimbangan itu diambil karena bahasa Inggris merupakan bahasa asing pertama dalam pendidikan di Indonesia.
Baca juga: Pelintasan Versus Perlintasan
Alasan lain, bahasa Inggris adalah bahasa internasional dan dekat dengan generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Sementara bahasa Belanda dianggap sudah tidak dikenal lagi oleh generasi muda. Yang tidak kalah penting, pengacuan hanya kepada bahasa Inggris ialah agar tidak timbul dualisme dalam pengindonesiaan kata-kata asing.
Maka, aturan yang berlaku untuk menyerap kata-kata bersufiks -se dalam bahasa Belanda diganti dengan kata-kata bersufiks -sis dalam bahasa Inggris, yang kemudian juga menjadi -sis dalam bahasa Indonesia. Itulah sebabnya, kata hipotesa yang berpatokan pada aturan penyerapan bahasa Belanda berubah menjadi hipotesis yang berpatokan pada aturan penyerapan bahasa Inggris.
Kata-kata sejenis dengan itu adalah analisis (dari analysis, bukan dari analy’se), sintesis (synthesis, bukan dari synthe’se), dan metamorphosis (metamorphosis, bukan dari metamorfo’se).
Kemunculan kata hipotesis kini lebih tinggi daripada kemunculan kata hipotesa. Hal itu bisa dibuktikan dengan mengetik kata hipotesis di mesin pencari Google. Tingkat kemunculan yang tinggi ini bisa menjadi salah satu petunjuk bahwa kata hipotesis lebih banyak dipakai daripada hipotesa.
Syukurlah bahwa kemunculan yang tinggi itu juga dibarengi dengan ketepatan dalam mengikuti aturan pengindonesiaan kata asing. Hal ini harus dicermati pengguna bahasa agar tidak salah menulis dan, dengan demikian, dirinya akan mewariskan kosakata yang tepat kepada para penerusnya.
Nur Adji, Penyelaras Bahasa Kompas