Pemerintah tampaknya harus berupaya ekstra memasarkan layanan publik secara daring. Apalagi, bila pemerintah percaya kalau layanan daring itu sungguh baik bagi publik—lebih cepat, mudah, dan bebas pungutan liar.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Peringkat Indonesia untuk pemerintahan berbasis digital naik signifikan dari posisi ke-107 (2018) menjadi posisi ke-88 (2020). Walau demikian, Indonesia dibawah capaian terbaiknya di posisi ke-70 (2003).
Indonesia kini kalah baik dari Malaysia (posisi ke-47), Brunei Darussalam (57), dan Thailand (60). Indonesia jelas telah berjuang, tetapi negara lain ternyata berupaya lebih keras dan lebih cerdas.
Tahun 2020, pandemi Covid-19 pun membongkar tabir lemahnya integrasi data, termasuk data digital. Integrasi data digital dari berbagai rumah sakit di seluruh pelosok Indonesia ternyata tidak mudah. Ketika integrasi data terhambat, tentu ujung-ujungnya memengaruhi kualitas layanan kepada publik.
Seiring pandemi Covid-19, yang memengaruhi pola kerja dari rumah, transformasi digital kemudian makin kencang. Beberapa bulan terakhir makin sering terdengar informasi peluncuran situs digital terkait layanan dari pemerintah. Ini tentu kabar baik.
Namun, dikatakan Guru Besar Ilmu Administrasi Negara Universitas Hasanuddin, Makassar, Sangkala, dalam transformasi pemerintahan digital, pembangunan infrastruktur teknologi hanya menyumbang 20 persen. ”Sisanya, lebih ke aspek politik, kultur, mindset, dan kompetensi,” ujarnya.
Kultur, pola pikir digital, dan kompetensi memang salah satu yang terpenting dalam transformasi pemerintahan digital. Percuma ada begitu banyak situs digital milik pemerintah jika sistemnya tidak 100 persen siap atau jika tetap ada ”pintu belakang”.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada pekan ketiga Agustus pun mengonfirmasi hal itu. Lebih dari separuh responden (52 persen) mengaku belum pernah menggunakan layanan publik secara daring.
Pemerintah tampaknya harus berupaya ekstra memasarkan layanan publik secara daring, apalagi jika pemerintah percaya bahwa layanan daring itu sungguh baik bagi publik—lebih cepat, mudah, dan bebas pungutan liar. Jangan sampai ada kendala komunikasi sehingga publik tidak paham ada terobosan baru dari pemerintah.
Sejalan dengan itu, sejumlah pekerjaan rumah harus dituntaskan. Di antaranya terkait soal keamanan data ketika RUU Perlindungan Data Pribadi belum juga diketok. Boleh jadi, publik ragu mengakses layanan publik secara daring karena tidak memercayai sistem dari pemerintah.
Ada banyak kisah tentang warga yang enggan mengunduh aplikasi Peduli Lindungi karena tidak memercayai keamanan datanya. Hanya karena harus bertemu klien di mal, aplikasi itu terpaksa diunduhnya. Itu pun kemudian dihapusnya lagi saat keluar dari mal.
Kisah ini bukan isapan jempol. Ini juga baru aplikasi pelacak Covid-19, dan bagaimana kelak jika dibuat aplikasi terkait pemilu? Sungguh tidak nyaman ketika mendengar ada warga yang tidak memercayai pemerintahnya. Tanpa saling percaya, tentu tidak mudah mengoptimalkan pemerintahan berbasis digital.