Terbata-bata Beralih ke Pemerintahan Berbasis Digital
Dari segi indeks, sistem pemerintah berbasis digital membaik. Namun, dalam praktiknya ditemukan warga yang masih saja kesulitan mengakses layanan berbasis digital, salah satunya mesin tak berfungsi.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Akselerasi pemerintahan dari konvensional menjadi digital belum berjalan mulus. Beberapa sektor pelayanan publik mampu beralih, tetapi tidak sedikit yang masih jalan di tempat. Kendala yang dialami meliputi rendahnya kualitas sumber daya manusia serta belum sejalannya agenda strategis itu di pemerintah daerah.
Padahal, di tengah pandemi Covid-19, transformasi pemerintahan digital menjadi keharusan, salah satunya untuk menghindari kerumunan. Komitmen pemerintah pusat hingga daerah dibutuhkan guna mempercepat proses transformasi ini demi pelayanan publik yang cepat, transparan, dan akuntabel.
Dari E-Government Development Index (EGDI) yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa, peringkat Indonesia untuk pemerintahan berbasis digital naik signifikan dari peringkat ke-107 pada 2018 menjadi peringkat ke-88 pada 2020. Adapun peringkat terbaik yang pernah dicapai Indonesia pada 2003. Saat itu, Indonesia berada di peringkat ke-70. Peringkat terendah Indonesia terjadi pada 2016, yakni urutan ke-116.
Survei ini mengukur tingkat kecukupan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK), penguasaan sumber daya manusia pada TIK, dan ketersediaan layanan publik secara daring di 193 negara.
Pada praktiknya masih ditemukan warga yang kesulitan menggunakan layanan publik berbasis digital, salah satunya untuk pengurusan kependudukan. Seperti yang dialami Natalia Magdalena (43). Pegawai swasta ini pernah mengunjungi kantor Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) DKI Jakarta untuk mengurus kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) miliknya yang hilang. Di kantor itu tersedia anjungan dukcapil mandiri (ADM) untuk mencetak dokumen kependudukan secara mandiri.
Namun, sesampai di sana, Natalia malah diminta ke Kecamatan Duren Sawit. ”Ternyata, mesin ADM sedang rusak,” ucapnya, Kamis (16/9/2021).
Petugas layanan di DPMPTSP Jakarta Sinday Purnama Sari mengatakan, mesin ADM tidak bisa digunakan sejak awal.
Petugas layanan di DPMPTSP Jakarta Sinday Purnama Sari mengatakan, mesin ADM tidak bisa digunakan sejak awal. Ia tidak merinci alasan mesin ADM tidak dapat digunakan. ”Dari awal datang malah (tidak bisa digunakan). Sudah pernah dicoba, tetapi tidak bisa,” ujar Sinday.
Wahyu (33), warga Purworejo, Jawa Tengah, ini juga memiliki pengalaman tidak mengenakan dalam mengakses layanan kependudukan berbasis digital. Pada Maret lalu, ia ingin mencetak KTP-el karena yang lama telah hilang. Ia lantas menghubungi kontak Whatsapp yang tertera di website Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Purworejo untuk konsultasi persyaratan, tetapi tidak pernah direspons.
Saat mengurus lewat website Dinas Dukcapil Purworejo, Wahyu kembali menemui jalan buntu. Padahal, menurut dia, semua proses dan persyaratan dokumen telah diunggah di situs itu, kecuali foto KTP-el. Ia mengaku tidak memiliki foto KTP-el miliknya yang hilang. ”Pengajuan pengurusan dokumen saya lewat situs itu akhirnya ditolak,” ujarnya.
Guru Besar Ilmu Administrasi Negara Universitas Hasanuddin, Makassar, Sangkala mengatakan, Pemerintah Indonesia tidak boleh berpuas diri dengan kenaikan peringkat di EGDI. Kenyataannya, peralihan menuju sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE) yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tergolong sangat lambat.
Sumber daya manusia
Menurut Sangkala, dalam transformasi pemerintahan digital, pembangunan infrastruktur teknologi hanya menyumbang 20 persen. ”Sisanya, lebih pada aspek politik, kultur, mindset, kompetensi (sumber daya manusia). Itu semua paling dominan,” ucapnya.
Penasihat Centre for Innovation Policy & Governance Yanuar Nugroho sependapat, tantangan birokrasi saat ini adalah mempertajam pengetahuan dan literasi digital aparat pemerintah. Kemampuan digital sudah menjadi syarat mutlak, khususnya soal keamanan dan kejahatan siber.
Baru sektor kependudukan dan bantuan sosial yang bertransformasi ke digital, sementara sektor-sektor lain belum optimal.
Sejauh ini, menurut Yanuar, baru sektor kependudukan dan bantuan sosial yang bertransformasi ke digital, sementara sektor-sektor lain belum optimal. Kesehatan, misalnya, data rekam medis pasien belum terintegrasi baik. Warga yang melanjutkan pengobatan dari puskesmas ke rumah sakit umum daerah masih ditanya keluhan penyakitnya.
Deputi Bidang Kelembagaan dan Tata Laksana Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Rerformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) Rini Widyantini mengakui, meskipun peringkat Indonesia di EGDI naik menjadi peringkat ke-88, itu masih ada kekurangan. Merujuk hasil evaluasi SPBE tahun 2018-2020, indeks SPBE nasional ada di level 2, yakni 1,98 (2018), 2,18 (2019), dan 2,26 (2020). Indeks ini memiliki skala 1-5. Artinya, penguatan kebijakan meningkat, tetapi praktiknya penerapan SPBE di pemerintah pusat daerah belum terintegrasi.
Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, tim koordinasi SPBE nasional terus mendorong kolaborasi semua instansi pusat dan daerah untuk meningkatkan penerapan SPBE. Hal itu di antaranya melalui penyusunan arsitektur SPBE nasional, peta rencana SPBE nasional, implementasi kebijakan-kebijakan turunan Perpres SPBE, penguatan dukungan infrastruktur, seperti pusat data nasional dan sistem penghubung layanan pemerintah.
Ketua Bidang Pemerintahan dan Pendayagunaan Aparatur Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Nikson Nababan mengatakan, SPBE di daerah berjalan lambat karena penyelenggaraan SPBE di daerah harus dibangun secara bertahap dan berkesinambungan. Itu karena SPBE dibangun sesuai dengan manajemen layanan SPBE dan proses tata kelola yang terintegrasi dan terpadu.
Selain itu, lanjutnya, ada kendala SDM dan anggaran. ”Pemda yang PAD (pendapatan asli daerah) terbatas akan kesulitan. Umumnya ini daerah di luar Jawa,” ucapnya.