Kualitas Hidup
Tulisan ini diilhami oleh sebuah kelelahan karena hidup terlalu teratur dan diatur oleh kepala yang tak bisa berhenti berkicau.
Dari 8 ke 6
Kalau saya memberi nilai dari angka enam sampai sepuluh soal kualitas hidup saya, angkanya hanya enam. Dulu, saya itu berpikir bahwa kualitas hidup saya itu di angka delapan. Namun, pagi hari ini, setelah saya kehilangan kunci apartemen, dan setelah dilakukan pergantian kunci, saya kemudian merasa perlu menurunkan angka delapan itu ke angka enam.
Saya ini tak tahu apakah saya ini masuk ke dalam kategori manusia dengan gangguan mental seperti OCD (obsessive compulsive disorder) atau tidak. Saya, sih, merasa tidak. Namun, teman-teman saya beberapa mengatakan demikian. Setelah saya pikir, yaa... pastinya saya tak merasa kalau saya demikian. Lha wong saya yang menjalaninya, saya merasa senang-senang saja melakukannya dan tidak merasa itu sebuah gangguan.
Saya mengatur benda atau barang di apartemen kecil itu dengan sangat rapi dan simetris. Kiri dan kanan harus seimbang, kalau bisa, bendanya sama persis. Dulu, waktu masih sekolah, ketika saya meninggalkan rumah dengan terburu-buru karena sudah terlambat, dan saat menutup pintu apartemen saya melihat ada barang atau benda yang tidak pada tempatnya, atau tidak tampak simetris lagi letaknya, saya akan memilih untuk membenahi barang-barang itu.
Baca juga:
Sudah bisa dipastikan saya akan terlambat tiba di sekolah. Namun, saya lebih memilih terlambat daripada selama di sekolah saya tertekan setengah mati memikirkan barang yang tak pada tempatnya itu. Kadang, saya malah ingin pulang ke rumah untuk membenahinya.
Kalau pada pagi hari sekitar pukul 05.30 saya bermaksud untuk berolahraga, saat saya meninggalkan apartemen, tempat tinggal itu sudah terlihat rapi. Bantal di atas tempat tidur sudah tertata simetris kanan dan kiri, kasur dan selimut sudah terlipat rapi seperti kalau Anda masuk ke kamar sebuah hotel, sebelum Anda memorakporandakan tempat tidurnya.
Saya ini tak tahu apakah saya ini masuk ke dalam kategori manusia dengan gangguan mental seperti OCD (obsessive compulsive disorder) atau tidak. Saya, sih, merasa tidak. Namun, teman-teman saya beberapa mengatakan demikian.
Piring sarapan sudah dicuci, dikeringkan, dan sudah diletakkan dalam posisi berderet. Dan piring, mangkuk, dan lainnya di tempat tinggal itu semuanya berwarna putih. Tujuan saya hanya satu, agar saat saya masuk ke dalam apartemen itu setelah berolahraga, semuanya terlihat resik dan menenteramkan.
Saya menggantung pakaian dalam arah yang sama. Mengategorikan setiap item pakaian. Warna pakaian dalam hanya hitam, putih, dan abu-abu, dan semuanya harus diatur dalam sapuan warna yang terlihat rapi. Dimulai dengan warna tua sampai terang.
Di kamar mandi, posisi botol pencuci rambut dan badan harus pada arah yang sama dan saya mengatur ketinggian botol-botol itu agar tidak terlihat berantakan. Selalu mengusahakan semuanya dalam warna botol yang sama.
Dari 6 ke 8
Sejujurnya keadaan itu bukan hanya terjadi di dalam rumah. Namun, saat saya sedang berolahraga saja, saya akan melakukan gerakan yang sama dan yang itu-itu saja, dan akan melakukan jalan kaki atau lari kecil di jalur yang sama dengan arah lingkar yang sama. Dan sementara saya sedang berolahraga, otak saya tak bisa berhenti berpikir. Berpikir segala rupa. Tak hanya urusan kantor, tetapi juga soal mau makan siang di mana. Kadang, bergumul cukup lama sebaiknya makan siang dulu atau belanja mingguan dulu.
Sampai pada suatu siang, saya merasa sangat kelelahan karena seperti menjadi budak otak yang tak bisa berhenti mengingatkan. Saya seperti budak dari sesuatu yang awalnya saya pikir itu menenteramkan saya dan memberikan kualitas hidup yang baik. Bagaimana tidak? Lha wong setiap pulang ke rumah kapan pun itu, rumah terlihat rapi, resik.
Meminjam istilah seorang teman, tempat tinggal mungil itu sudah seperti show unit. Bahkan, dua teman saya sudah tak lagi mau datang ke apartemen kecil itu karena takut duduk di sofa dan merusak tatanan bantal-bantal yang diatur rapi dan simetris.
Saya berterima kasih dengan adanya pandemi ini. Karena terus-menerus tinggal di rumah, lama-lama saya merasa kelelahan, dan penyiksaannya semakin terasa dibandingkan dengan zaman sebelum pandemi di mana saya banyak menghabiskan waktu di luar. Saat itulah saya menurunkan penilaian kualitas hidup saya dari angka delapan ke angka enam.
Baca juga :
> Karyawan
Selama ini, kalaupun saya merasa saya bahagia melakukan semua cerita saya di atas, yang bahagia itu kepala dan gangguannya. Kualitas hidup kepala dan gangguan itu yang meningkat. Saya sendiri tak bahagia sama sekali dan punya kualitas hidup yang sangat rendah.
Maka, tadi pagi, sebelum tenggat tulisan ini berakhir, saya berolahraga tanpa membenahi tempat tidur, piring sarapan masih tergeletak dengan kotornya di dapur. Sejujurnya saya sudah berniat membersihkan, tetapi saya memaksa untuk membatalkannya.
Selama jalan kaki berlangsung, saya sudah gatal ingin kembali dan buru-buru untuk membersihkan dan merapikan apartemen itu. Namun, karena saya berniat untuk punya kualitas hidup dari enam ke delapan, dan tak mau lagi jadi budak, maka saya tetap menyelesaikan ritual pagi itu. Pada akhirnya, untuk segala sesuatu yang menjadikan hidup lebih baik, selalu ada pengorbanan.