Terdapat dilema menurut karakter masyarakat kita yang cenderung tidak disiplin. Jika vaksinasi lebih kuat, 5M terabaikan. Sebaliknya, jika 5M menguat, seolah vaksinasi tidak diperlukan.
Oleh
IRFAN RIDWAN MAKSUM
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda penurunan yang tajam sampai saat ini. Namun, beberapa indikator menggembirakan mulai tampak sejak vaksinasi dan perhatian serius melalui berbagai kebijakan antisipatif terkait pandemi ini, yang mutakhir dengan ”PPKM bergradasi” dari satu hingga empat, setelah PPKM darurat, dan PPKM mikro.
Indikator makro terkait tata kelola penanganan Covid-19 mulai ke arah progresif karena pemantauan bersama yang, walaupun lambat, terdapat titik kepastian.
Dari segi luas wilayah RI dan cara menghadapi pandemi Covid-19 dengan mengandalkan instrumen otonomi daerah, tampak berjalan lambat ke arah keseimbangan baru.
Terlebih melalui PPKM bergradasi yang butuh koordinasi lintas sektor dan pusat-daerah, yang melibatkan satuan masyarakat setingkat kelurahan/desa, bahkan rukun tetangga (RT).
Indonesia bergerak pelan, tetapi pasti dalam menuju keseimbangan baru tersebut.
Analogi gempa
Negara otoriter seperti China, kita tahu, menghadapi Covid-19 yang bermula di Wuhan secara top down ketat dari pusat pemerintahan, terkendali.
Bak letupan gempa, langsung dikendalikan secara total menyeluruh, dikontrol dalam satu kesatuan ketat. Memang elemen kegempaan hanya pada bagian kecil, katakanlah di satu wilayah, tetapi diikat dalam satuan besar masyarakat China oleh pemerintahnya dengan totaliter, disiplin keras melalui lockdown.
Dengan kecepatan dan kegigihan dan dukungan sumber daya memadai, akhirnya berhasil dengan gemilang walau merasakan derita mendalam akibat pukulan pandemi.
Di Amerika Serikat sebaliknya, bahkan sampai pergantian presiden. Meski kini terarah dari pusat pemerintahan federal atas kendali Joe Biden, AS belum menemukan titik temu karena berbasis negara bagian. Negara bagian juga akhirnya yang menentukan.
Di AS, Covid-19 mungkin terkendali di negara bagian tertentu, tetapi masih muncul di tempat lain. Program vaksinasi yang berjalan pun, baik sadar maupun tidak, juga bergerak ke arah keseimbangan baru.
Tidak terbayangkan jika masih berpola seperti pada zaman Donald Trump yang tak terarah, dan diserahkan kepada pemimpin setiap negara bagian, tentu keseimbangan baru menyangkut Covid-19 di AS akan lebih lama tercapai. Dari mulai wajib masker, bebas masker, kembali wajib masker; AS tampak kelimpungan juga menghadapi Covid-19.
Indonesia, meski negara kesatuan, dan Covid-19 dinyatakan sebagai bencana nasional, sampai saat ini Covid-19 diserahkan ke daerah otonom sepenuhnya. Pemberian vaksin saja diserahkan ke daerah otonom, bukan kendali penuh dari pusat dan melalui kekuasaan penuh pemerintah pusat. Hal ini dikukuhkan lagi dengan arah kebijakan PPKM yang bergradasi, yang digeser sampai akar rumput.
Akibatnya, keseimbangan baru Covid-19 bagi masyarakat Indonesia akan semakin lama tercapai. Belum lagi dengan masih terbatasnya kesediaan vaksin, akan memakan waktu lebih lama lagi.
Masyarakat tampak kelimpungan dengan ditemukannya varian baru. Hal ini disebabkan ujung tombak diserahkan ke daerah otonom, bukan alat pemerintah pusat yang terkendali secara total dari sebuah negara-bangsa. Pintu keluar- masuk Indonesia juga masih sangat terbuka lebar karena daerah bersangkutan bukan bagian dari PPKM.
Tak perlu berpikir rumit, analogi varian baru itu adalah runtuhan batu dalam sebuah gempa, niscaya akan merembet ke daerah-daerah lain dan tampak kekuatan penuh tak terbentuk sehingga masyarakat seperti hanya menunggu efek kegempaan berhenti dengan sendirinya. Tak mampu menghentikan kegempaan.
Masyarakat Indonesia terasa lebih menyukai bersikap menunggu, terlebih terkait pemberian vaksin.
Berharap vaksin
Gelagat masyarakat Indonesia tampak seolah tidak mampu untuk bertindak bersama secara total disiplin keras dan berani terkait Covid-19. Masyarakat Indonesia terasa lebih menyukai bersikap menunggu, terlebih terkait pemberian vaksin.
Kita hanya berharap vaksinasi bisa lebih dipercepat ketimbang menghadang Covid-19 secara lebih antisipatif dan berani. Di tingkat dunia, kondisinya kini juga tampak naik-turun. Negara-negara yang berani seperti China sekarang mulai lunak dan Covid-19 seolah dibiarkan masuk karena sudah ada vaksin. Baru belakangan China mengeras lagi ketika muncul varian Delta di Wuhan.
Negara seperti Indonesia mendapatkan justifikasi. Kini, jika dianalogikan gempa, Covid-19 diharapkan berlalu dan diharapkan segera mencapai keseimbangan baru. Kelemahan dari menunggu ini tentu adalah sumber daya kesehatan menjadi taruhan.
Masyarakat yang imunnya kuat tentu akan lolos dari guncangan gempa ini, sementara risiko dihadapi oleh masyarakat yang rentan yang harus ekstra hati-hati menjaga dirinya dengan ketat.
Analogi gempa terkait Covid-19 untuk Indonesia adalah PPKM bergradasi ini berlangsung di tengah jeritan ekonomi yang terasa di berbagai sektor. Pemerintah juga tetap terus menggenjot pertumbuhan ekonomi, diikuti oleh daerah-daerah otonom, sehingga titik keseimbangan akan memanjang dan belum dapat diprediksi.
Prediksi optimistis, jika vaksin dijamin bisa dipercepat, keseimbangan baru akan tercipta beriringan dengan keberhasilan program vaksinasi.
Imbauan 5M untuk masyarakat terus-menerus dilakukan tanpa mengenal lelah, di tengah program vaksinasi. Terdapat dilema menurut karakter masyarakat kita yang cenderung tidak disiplin. Jika vaksinasi lebih kuat, 5M terabaikan. Sebaliknya, jika 5M menguat, seolah vaksinasi tidak diperlukan.
Jelas ini perlu perhatian serius, sembari tak kenal lelah mengevaluasi kebijakan PPKM bergradasi, sehingga betul-betul akhirnya tercapai keseimbangan baru masyarakat Indonesia menghadapi Covid-19. Semoga teraih Indonesia tangguh dan tumbuh.
Irfan Ridwan Maksum, Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi FISIP UI