Disiplin Protokol Kesehatan Bisa Atasi Varian Delta
Menggunakan masker, menghindari kerumunan, mengurangi mobilitas, dan berbagai protokol kesehatan terbukti bisa menekan penularan Covid-19, termasuk dari varian Delta. Kedisiplinan agar terus ditingkatkan.
Oleh
Tim Kompas
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Varian Delta pada virus penyebab Covid-19 masih mendominasi saat penurunan kasus. Namun, penurunan kasus yang terjadi belakangan ini menunjukkan bahwa penularannya bisa dicegah dengan tertib protokol kesehatan. Kedisiplinan menerapkan protokol kesehatan ini perlu terus ditingkatkan di tengah kewaspadaan varian baru C.1.2 yang ditemukan di Afrika Selatan dan sejumlah negara.
”Saat ini, data hasil WGS (urutan genom utuh) kita rata-rata varian Delta. Jadi, walaupun varian Delta masih dominan, kasus kita cenderung turun. Artinya, varian ini bisa diatasi juga asalkan tertib pakai masker,” kata Kepala Pusat Genom Nasional Lembaga Eijkman Safarina G Malik di Jakarta, Selasa (31/8/2021).
Varian Delta atau B.1.617.2 ditemukan di semua provinsi. Jumlah terbanyak di Jakarta, yaitu di 751 spesimen, lalu Jawa Barat 322 spesimen, dan Kalimantan Timur 299 spesimen.
Dominasi varian Delta mulai terjadi pada Juni 2021, yaitu 82,83 persen dari total spesimen yang dianalisis dengan WGS. Pada Juli 2021 mencapai 93,83 persen dan minggu pertama Agustus 2021 mencapai 98,6 persen. Dari segi usia, varian ini ditemukan pada pasien bayi hingga warga lanjut usia.
Safarina mendorong agar kewaspadaan pada varian baru juga dilakukan dengan mempercepat vaksinasi. Data Kementerian Kesehatan, 31 Agustus 2021, sudah lebih dari 100 juta dosis vaksin disuntikkan. Ini terdiri 63,54 juta dosis pertama, 36,03 juta dosis kedua, serta 640.089 tenaga kesehatan mendapat dosis ketiga.
Di Cirebon, Jawa Barat, Presiden Joko Widodo pun terus menyerukan agar masyarakat berdisiplin menerapkan protokol kesehatan dan secepatnya mengikuti program vaksinasi Covid-19. Vaksinasi juga dilakukan dari pintu ke pintu sebagai upaya jemput bola untuk mempercepat cakupan.
Kemunculan varian baru
Baru-baru ini, ilmuwan Afrika Selatan yang tergabung dalam KwaZulu-Natal Research and Innovation and Sequencing Platform melaporkan varian baru virus SARS-CoV-2, yaitu varian C.1.2 dengan jumlah mutasi yang mengkhawatirkan. Hasil kajian ini dilaporkan di www.medrxiv.org dan belum ditinjau sejawat.
Varian C.1.2. ini pertama kali diidentifikasi pada Mei 2021 di dua provinsi di Afrika Selatan. Pada 13 Agustus 2021, varian itu ditemukan di enam dari sembilan provinsi di Afrika Selatan, selain juga di Republik Demokratik Kongo, Mauritius, Portugal, Selandia Baru, Swiss, China, dan Inggris.
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, pun menekankan pencegahan penularan dengan menjalankan disiplin protokol kesehatan. Selain itu, sebagai antisipasi masuknya varian baru dari luar, bisa dilakukan dengan penapisan dini dan sistem karantina yang baik.
Di sisi lain, epidemiolog yang juga Direktur Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada, Riris Andono Ahmad, menyampaikan, pemerintah sudah harus bersiap mengubah respons penanganan Covid-19. Penularan penyakit itu bisa berlangsung dalam jangka waktu yang panjang.
”Penularan Covid-19 yang sudah terjadi lebih dari satu setengah tahun ini seharusnya sudah tidak lagi ditangani dengan respons emergency (kedaruratan). Upaya penanganan harus direncanakan untuk jangka panjang. Itu termasuk pada program pengendalian serta perencanaan terkait pendanaan rutin,” ujarnya.
Kondisi penularan Covid-19 yang mulai melandai di tingkat global bisa menjadi pertimbangan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk mencabut status pandemi menjadi endemi.
Anggota Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, menuturkan, kondisi penularan Covid-19 yang mulai melandai di tingkat global bisa menjadi pertimbangan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk mencabut status pandemi menjadi endemi. Itu terjadi karena situasi penularan yang masih tinggi di sejumlah wilayah, terutama dengan adanya varian virus baru.
Ia mengatakan, pola penularan penyakit disebut sebagai endemi apabila situasi di tingkat global sudah mulai terkendali. Meski begitu, jika ada suatu negara yang masih mengalami penularan kasus dengan skala persisten atau bertahan dalam jangka waktu lama dan berdampak pada seluruh lapisan usia, pola penularan di negara tersebut disebut dalam fase hyperendemic. (AIK/TAN/CAS/DIT/BRO/RTG)