Varian Delta Covid-19 Menginfeksi Bayi hingga Lanjut Usia
Jumlah varian Delta yang ditemukan pada minggu pertama Agustus 2021 mencapai 98,6 persen. Adapun dari segi usia, varian ini terbanyak pada usia 19-30 tahun.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Varian Delta di Indonesia ditemukan menginfeksi pasien bayi hingga lanjut usia, dengan dominasi pada usia 19-30 tahun. Sekalipun kasus Covid-19 secara nasional semakin menurun, Indonesia juga perlu mewaspadai varian baru yang saat ini telah ditemukan di Afrika Selatan.
”Saat ini data hasil WGS (whole genome sequencing) kita rata-rata varian Delta. Jadi, walaupun varian Delta masih dominan, kasus kita cenderung turun. Artinya, varian ini bisa diatasi juga asalkan tertib pakai masker,” kata Kepala Pusat Genom Nasional Lembaga Eijkman Safarina G Malik, di Jakarta, Selasa (31/8/2021).
Dominasi varian Delta itu terlihat dalam data Jejaring Surveilans Genom Indonesia yang hingga 30 Agustus telah mendaftarkan 5.741 data urutan genom utuh (WGS) ke GISAID. Data ini disubmit oleh 25 institusi dan laboratorium di berbagai daerah di Indonesia.
Varian Delta atau B.1.617.2 ditemukan di seluruh provinsi. Jumlah terbanyak di Jakarta, yaitu di 751 spesimen, lalu Jawa Barat 322 spesimen dan Kalimantan Timur 299 spesimen.
Justru dikhawatirkan di negara yang vaksinasinya tinggi, tetapi penularannya juga tinggi akan muncul varian yang bisa menyiasati vaksin.
Secara keseluruhan telah ditemukan 2.240 virus varian Delta atau 38,7 persen dari total spesimen yang dianalisis selama ini. Dominasi varian Delta mulai terjadi pada Juni 2021 dengan persentase 82,83 persen dari total spesimen yang dianalisi dengan WGS. Pada Juli 2021, jumlah varian Delta yang ditemukan mencapai 93,83 persen dan minggu pertama Agustus 2021 mencapai 98,6 persen.
Dari jenis kelamin pasien, laki-laki yang terinfeksi varian Delta sebanyak 1.155 orang dan perempuan 1.046 orang. Adapun dari segi usia, varian ini ditemukan pada pasien dari bayi hingga lanjut usia.
Varian Delta paling banyak ditemukan pada pasien berumur 19-30 tahun, yaitu 555 orang, disusul usia 31-40 tahun sebanyak 466 orang, usia 41-50 tahun sebanyak 355 orang, usia 51- 60 tahun sebanyak 254 orang, dan di atas 61 tahun sebanyak 148 orang. Virus ini juga ditemukan pada pasien anak-anak di bawah 1 tahun sebanyak 38 anak, usia 1-10 tahun sebanyak 206 anak, dan 11- 18 tahun sebanyak 179 anak.
”Sifat alami virus akan terus bermutasi sebagai bentuk adaptasi dengan inang. Akan terus bermunculan galur-galur baru,” kata Safarina.
Sekalipun saat ini kasus Covid-19 di Indonesia cenderung turun, masyarakat tetap harus mewaspadai kemungkinan munculnya varian baru yang bisa lebih menular atau menyiasati antibodi yang dibentuk vaksin ataupun dari infeksi alami. ”Selain memakai masker, vaksin juga harus dipercepat cakupannya,” kata Safarina.
Kemunculan varian baru
Baru-baru ini, ilmuwan Afrika Selatan yang tergabung dalam KwaZulu-Natal Research and Innovation and Sequencing Platform telah melaporkan adanya varian virus korona baru SARS-CoV-2 yang memiliki jumlah mutasi yang mengkhawatirkan. Hasil kajian ini dilaporkan di www.medrxiv.org dan belum mendapatkan peninjauan dari sejawat.
Varian yang disebut C.1.2. ini pertama kali diidentifikasi pada Mei 2021 di dua provinsi di Afrika Selatan. Varian ni disebut mutasinya hampir dua kali lebih cepat daripada yang diamati pada varian global lainnya. Disebutkan, mutasi pada virus ”terkait dengan peningkatan penularan” dan peningkatan kemampuan untuk menghindari antibodi.
Sejauh ini, frekuensi varian ini masih relatif rendah, yaitu kurang dari 3 persen genom yang diurutkan sejak pertama kali diambil pada Mei 2021. Meskipun demikian, varian ini telah meningkat dari 0,2 persen menjadi 2 persen sejak bulan lalu. Pada 13 Agustus, varian itu telah ditemukan di enam dari sembilan provinsi Afrika Selatan, selain juga di Republik Demokratik Kongo, Mauritius, Portugal, Selandia Baru, Swiss, China, dan Inggris.
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, Indonesia harus terus mewaspadai varian-varian baru yang kemungkinan akan terus muncul di berbagai negara. Apalagi, saat ini ada kecenderungan kenaikan kasus di sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat.
Menurut Dicky, vaksinasi tidak bisa menjamin tidak terinfeksi walaupun terbukti bisa menurunkan risiko keparahan dan kematian pasien. Namun, selama tidak memakai masker dan menjaga jarak, penularan masih akan terjadi.
”Justru dikhawatirkan di negara yang vaksinasinya tinggi, tetapi penularannya juga tinggi, akan muncul varian yang bisa menyiasati vaksin. Penggunaan booster vaksin yang tak terkontrol juga rentan memicu mutasi virus,” katanya.
Oleh karena itu, dia mengingatkan pentingnya tetap memakai masker dan menaati protokol kesehatan. Adapun antisipasi masuknya varian baru dari luar bisa dilakukan dengan penapisan dini dan sistem karantina yang baik.