Merdeka Bernyanyi, Indah Bersimfoni
Lagu ”Teman Tapi Mesra” menjadi salah satu repertoar dalam pergelaran Simfoni untuk Bangsa. Juga lagu ”Pelangi di Matamu” dan lagu-lagu pop lainnya. Karya seniman negeri ini menemukan keindahannya dalam musik simfoni.
Lagu ”Teman Tapi Mesra” milik duo Ratu menjadi salah satu repertoar Jakarta Concert Orchestra dalam pergelaran Simfoni untuk Bangsa, 28 Agustus 2021. Juga lagu ”Pelangi di Matamu” dari band rock Jamrud, lagu Dewa-19, Peterpan, d’Masiv, dan lagu-lagu pop era 1990-an hingga 2000-an. Karya seniman negeri ini menemukan keindahannya yang lain dalam musik simfoni.
Simfoni tetap mengalun di bulan Agustus meski negeri dilanda pandemi; meski para musisi harus mengenakan masker. TVRI menggelar ”Simfoni Satukan Negeri” pada 24 Agustus lalu yang menampilkan Twilite Orchestra, dengan pengaba atau conductor Addie MS. Ada pula Jakarta Concert Orchestra dengan pengaba Avip Priatna yang mempersembahkan ”Simfoni untuk Bangsa” secara daring pada 28 Agustus.
Lewat musik dan lagu-lagu, mereka ingin merayakan kemerdekaan berekspresi. Pilihan tema dan lagu bisa berbeda-beda, tetapi semua dipersembahkan untuk bangsa. Twilite Orchestra menampilkan lagu-lagu daerah dan lagu patriotik. Jakarta Concert Orchestra menyuguhkan lagu-lagu pop karya seniman negeri ini yang populer pada era 1990-an sampai 2000-an.
Lewat musik dan lagu-lagu, mereka ingin merayakan kemerdekaan berekspresi.
Addie MS tampil sesuai protokol kesehatan ketika memimpin Twilite Orchestra dalam pergelaran tayangan TVRI itu. Begitu pula seluruh musisi, kecuali pemain instrumen tiup, saat memainkan bagian mereka. Bahkan, para penari yang tampil saat lagu dimainkan juga mengenakan masker.
Tidak semua pendukung konser hadir di arena pergelaran. Anggota paduan suara, misalnya, tampil secara terpisah, tetapi nyanyian mereka terpadu dengan pemain orkestra di arena. Wajah-wajah anggota paduan suara hadir di arena lewat gambar. Penonton di rumah pun bisa menikmati kebersamaan dan kepaduan mereka.
Dari situasi taat prokes itu, Twilite Orchestra mengalunkan lagu daerah seperti ”Bungong Jeumpa” dari Aceh, ”Gunung Salahutu” yang berkisah tentang Ambon, ”Yamko Rambe Yamko” dari Papua, ”Janger” dari Bali, hingga ”Gundhul Pacul” lagu dolanan berbahasa Jawa. Dengan segala kondisi pula, Ruth Sahanaya dengan ekspresif melantunkan ”Rayuan Pulau Kelapa” ciptaan Ismail Marzuki. Dan ”Halo-Halo Bandung” pun tetap berkumandang dengan gegap gempita.
Baca juga: Rock, Kebingungan Budaya, dan Kompor Meleduk
Ada Pelangi dan TTM
Jakarta Concert Orchestra memang memilih lagu-lagu pop yang ngetop pada era 1990-an dan 2000-an. Salah satunya adalah ”Pelangi di Matamu” karya Azis Siagian dari band rock Jamrud. Lagu yang dalam album dibawakan oleh vokalis Jamrud, Krisyanto, itu sangat terkenal pada awal 2000-an. Album Ningrat yang memuat lagu tersebut terjual hingga lebih 2 juta kopi. Dalam Simfoni untuk Bangsa, penyanyi tenor Farman Purnama membawakannya dengan prima.
Farman mengenal benar ”Pelangi di Matamu” dipopulerkan oleh band metal Jamrud. Namun, bagi Farman lagu tersebut tidak bernuansa rock dan lebih cenderung sebagai balada. Farman menelaah isi lirik dan dia merasakan adanya sisi sensitif manusia, yaitu perasaan malu untuk mengungkapkan perasaan cinta.
Bagi Farman, itu merupakan perasaan universal yang melekat pada setiap manusia. Termasuk seniman yang notabene musisi rock, metal pula. Lagu yang bermuatan rasa semacam itu, menurut Farman, bisa dibawakan dengan berbagai cara, tergantung gaya pelantunnya.
Baca juga: Nyanyian Penuh Harapan
Kebetulan sebagai penyanyi, Farman sudah sering membawakan lagu balada. Ada yang bercorak separuh klasik, separuh pop. Farman membawakan ”Pelangi di Matamu” dengan pemahaman bahwa rasa cinta itu adalah sesuatu yang agung.
Dia merasa cocok untuk membawakan ”Pelangi di Matamu” dengan kemegahan orkestra. Untuk lagu tersebut, Farman sengaja meminta kepada arranger, yaitu Meidy Ratnasari, untuk menaikkan nada dasar, satu tingkat lebih tinggi dari versi Jamrud. Dia ingin mengejar efek lirih pada bagian yang isi kalimatnya ”Aku sayang padamu....”
Dalam penafsiran Farman, jika nada dasar dinaikkan satu, maka efek kesal pada kalimat ”Ingin kumaki diriku sendiri/Yang Tak berkutik di depanmu...” juga akan lebih tersampaikan.
Baca juga: Elly Kasim dan Lagu Minang yang Mengindonesia
Dalam musik pop, bagian tersebut biasa disebut hook atau bagian lagu yang dianggap paling nyantol. Bagian itulah yang akan diberi tekanan khusus oleh Farman. Bagian itu didahului oleh kalimat yang menunjukkan perasaan malu-malu takut untuk mengungkapkan perasaan.
Salah satunya adalah ”Dan aku benci/Harus jujur padamu/Tentang semua ini....” Bahkan ”Jam dinding pun tertawa...” melihat kesalahtingkahan seseorang yang akan bilang ”Aku sayang padamu” itu.
Penaikan nada dasar tersebut juga dimaksud Farman agar pada bagian interlude, ia bisa leluasa berimprovisasi dengan nada-nada tinggi sebagai ekspresi keagungan perasaan cinta.
Pada bagian tersebut, Farman mencapai nada C5 atau the tenor’s high C. Sebuah interpretasi yang tepat dan dieksekusi dengan dahsyat. Aransemen untuk paduan suara Batavia Madrigal Singers garapan Meidy Ratnasari sangat mendukung suasana agung yang disebut Farman.
Baca juga: Menghadirkan Queen Rasa Simfoni
Untuk lagu ”Teman Tapi Mesra” atau TTM, arranger Renardi Effendi merasa sangat tertantang karena lagu tersebut sudah sangat lekat di telinga publik. Di satu sisi, arranger dituntut menjadikan lagu duo Ratu itu terdengar fresh. Di sisi lain, dia harus tetap menjaga kecentilan dan kenakalan lagu yang dibawakan Maia dan Mulan Kwok itu.
Dibawakan oleh BMS Female, Renardi menyusun aransemen akapela untuk paduan suara perempuan. Cukup manis harmonis paduan suaranya, tetapi tak menenggelamkan karakter lagu. Bahkan, bagian vokal latar tetap dipertahankan.
Coba ingat bagian ini ”Cukuplah saja berteman denganku” yang disambung vokal latar ”Oh, pa-pa...”. Juga bagian ”Janganlah kau meminta lebih” disahut ”Oh, pa-pa-pa...”. Bagian yang tampak ”kecil” dicatat Renardi karena menjadi salah satu karakter kuat TTM.
Dewa 19 dan d’Masiv
Lagu pop memang bisa menjadi materi karya simfoni atau orkestra pop. Ada semacam transformasi menarik dari lagu pop yang kemudian digarap dengan pendekatan simfonikal. Menarik dinikmati bagaimana lagu-lagu Dewa 19 itu oleh Renardi Effendi digarap sebagai overture atau lagu pembuka pergelaran.
Overture disusun dari potongan lagu ”Kangen”, ”Arjuna Mencari Cinta”, ”Roman Picisan”, ”Risalah Hati”, dan ”Pupus”. Bagian lagu dikutip dan dijalin dalam satu karya utuh. Pilihan lagu tersebut cukup merefleksikan karakter lagu Dewa 19 sejak zaman vokalisnya Ari Lasso hingga Once Mekel. Sekaligus mewakili era kreatif Dewa pada era 1990-an dan 2000-an.
Mereka yang mengenal lagu Dewa akan mengenali bagian lagu yang ”dipungut” sang arranger untuk kemudian dijahit dalam karya simfoni. Persambungan empat lagu tersebut cukup halus sehingga tidak terasa peralihan antara satu potongan lagu dan yang lain. Menjelang akhir lagu, terangkai ”Roman Picisan”, ”Risalah Hati”, dan ”Pupus” sebagai closing atau gongnya.
Fafan Isfandiar menggarap lagu ”Jangan Menyerah” karya Rian Ekki Pradipta dari d’Masiv. Fafan menggarap dengan paduan pop dan orkestra yang cukup berimbang. Fafan memang berusaha meminimalisasi penggunaan seksi ritem (rhythm section), seperti drum dan bas elektronik.
Hal itu ia maksud untuk menghindari kesan mirip dengan lagu versi aslinya. Unsur rasa band memang masih ditampilkan dengan hadirnya rhythm section, terutama pada bagian refrain, tetapi tidak dominan. Yang menarik, Fafan menampilkan tiga solis selo, violin, dan klarinet.
Dalam penyusunan komposisi, ia membayangkan ketiga solis tersebut sebagai tiga penyanyi dengan karakter suara yang berbeda. Setiap solis diberi ruang untuk menampilkan virtuositas masing-masing. Hal ini mengingatkan pada bentuk kadensa dalam konserto. Perbedaannya, seluruh notasi ditulis oleh Fafan.
Era baru musik pop
Sebenarnya, Jakarta Concert Orchestra sudah sering menyuguhkan karya non-klasik dalam pergelaran. Tersebutlah seperti lagu-lagu rock Queen, The Beatles, dan Michael Jackson. Namun, dalam ”Simfoni untuk Bangsa” kali ini, Avip Priatna dan kawan-kawan lebih ”membumi” lagi. Mereka menampilkan lagu-lagu pop Indonesia era 1990-an sampai 2000-an.
Repertoar bisa dikatakan renyah, dalam arti materi lagu adalah lagu pop yang berseliweran hampir setiap hari di era 1990-an, 2000-an hingga 2010-an. Selain lagu Dewa, Jamrud, dan d’Masiv, disuguhkan juga lagu ”50 Tahun Lagi” ciptaan Anang Hermansyah yang dipopulerkan oleh grup Warna, ”Naluri Lelaki”-nya Samsons, ”Setia” ciptaan Pongki Barata yang dipopulerkan Jikustik, ”Masih” dari Ada Band, ”Tak Bisakah” Peterpan, lagu komedik ”Goyang Duyu” dari Project Pop, sampai lagu anak ”Jangan Takut Gelap” ciptaan Eross Candra yang dipopulerkan Tasya.
Baca juga: Merayakan Kelegendaan Michael Jackson
Avip Priatna pada tahun 2000-an baru kembali dari sekolah musik di Vienna. Sekembali ke Tanah Air, telinga Avip setiap hari terpapar lagu-lagu pop yang sedang naik daun. Avip menyebut masa 1990-an hingga 2000-an sebagai era baru musik pop.
Pada masa itu bermunculan grup musik yang hampir semuanya melahirkan lagu hit, alias lagu yang ”memukul” atau populer di telinga orang. Era baru tersebut juga dikondisikan oleh produktifnya label internasional yang ada di negeri ini, seperti Sony Music, Warner, Universal Music, EMI, dan BMG.
Dalam ”Simfoni untuk Bangsa”, lagu-lagu pop pada masa tersebut diangkat sebagai menu utama. Ada semacam retrospeksi atas musik pop pada masa itu yang oleh Avip Priatna disebut sebagai era baru musik pop.
Dalam garapan Jakarta Concert Orchestra, lagu-lagu pop tersebut diolah dalam karya simfonikal. Karya tidak berubah, tetapi menemukan versi keindahannya yang lain. Itu mengapa penikmat masih bisa bernostalgia dengan lagu era 1990-an sampai 2000-an di tengah pergelaran orkes simfoni.