Mereka seperti memindahkan Queen dari ranah band rock ke pentas musik klasik Barat. Secara hati-hati mereka juga berupaya menjaga agar ”roh” versi orisinal tidak rusak. Rasa Queen tetap hadir meski aransemennya berbeda.
Oleh
Frans Sartono
·6 menit baca
Mungkin Anda pernah merasa merinding saat mendengar sebuah lagu. Setidaknya merasa tersentuh oleh lagu tersebut. Itulah yang dirasakan penonton saat lagu Queen, ”We Are The Champions” membahana dalam konser Jakarta Concert Orchestra (JCO) di Jakarta, 2019. Tidak hanya dinyanyikan oleh artis di panggung, lagu itu juga menjadi koor massal para penonton. Mereka serasa menyatu emosi dalam ”We Are The Champions”.
Konser bertajuk Queen Night: We Are The Champions disuguhkan kembali, Minggu 24 Januari 2021, secara daring di Jcodigitalconcerthall.com, sebuah pilihan hiburan di masa pandemi. Suguhan merupakan rekaman dari pergelaran bertajuk sama oleh Jakarta Concert Orchestra dengan pengaba Avip Priatna di Ciputra Artpreneur Theater, Jakarta, Januari 2019.
Pergelaran menampilkan Batavia Madrigal Singers, The Resonanz Children Choir, yang didukung penyanyi Farman Purnama, Fitri Muliati, Husein Idol, Lisa Depe, solis biola Michelle Siswanto, dan solis piano Elwin Hendrijanto.
Merekalah yang menghadirkan ”We Are The Champions” yang bikin merinding itu. Bahkan, ketika lagu itu disuguhkan tidak secara live dan ”hanya” lewat video, kekuatan lagu itu masih terasa. Emosi lagu Queen itu masih hadir dan menyentuh.
Mereka serasa menyatu emosi dalam ”We Are The Champions”.
Avip dan kawan-kawan menghadirkan belasan lagu-lagu populer Queen. Mereka seperti memindahkan Queen dari ranah band rock ke pentas musik klasik Barat. Mereka berupaya dengan cukup hati-hati menjaga ”roh” versi orisinal tidak rusak. Dalam arti, rasa Queen tetap hadir meski aransemen dan orkestrasi berbeda.
Lagu-lagu dibiarkan seperti Queen, tetapi Avip dan kawan-kawan tidak meniru persis lagu aslinya. Meski para arranger dalam konser ini telah melakukan pengubahan di sana sini, rasa Queen tetap hadir.
Penonton tampaknya sudah hafal di luar kepala lagu band rock asal Inggris berawak Freddie Mercury, Brian May, John Deacon, dan Roger Taylor itu. Sebut saja ”Love of My Life”, ”Radio Gaga”, ”We Will Rock You”, ”I Want to Break Free”, dan lainnya.
Menjaga jiwa lagu
Untuk ”We Are The Champions” dan vBohemian Rhapsody”, JCO menggunakan aransemen garapan Vrtacnik, arranger, konduktor, dan orkestrator asal Serbia. Karyanya sudah sering digunakan di orkes-orkes besar dunia, termasuk Orkes Filharmonik London.
Pergelaran juga melibatkan penggarap aransemen yang cukup memahami karakter lagu Queen. Mereka adalah Joko Lemazh Suprayitno, Renardi Effendi, Fafan Isfandiar, Aubrey Victoria, dan Elwin Hendrijanto. Mereka cukup cermat untuk tetap menjaga jiwa lagu Queen agar tidak hilang meski sebenarnya mereka telah mengubahnya dalam versi simfonikal.
”Crazy Little Thing Called Love”, misalnya, yang dalam versi Queen sangat rock n’roll, tetapi pada pergelaran terasa jazz. Namun, jiwa rock n’ roll tetap hadir juga.
Pada lagu ini tampil koor pria Batavia Madrigal Singers Male. Menurut Renardi Effendi sebagai orkestrator, bagian choir ”Crazy Little Thing Called Love” sudah diaransemen terlebih dahulu oleh Kirby Shaw. Gaya jazz sudah melekat pada aransemen choir tersebut.
Renardi kemudian mentransfer gagasan jazz tersebut ke dalam instrumen orkes. Dia menitikberatkan penggarapan pada alat musik tiup logam atau brass. Dan rasa rock itu tetap terasa lewat permainan gitar.
Pada beberapa suguhan, lagu Queen digarap layaknya komposisi klasik, antara lain, ”Love of My Life” yang digarap Elwin Hendrijanto sebagai semacam variations atau interpretasi atas karya Queen tersebut. Begitu juga komposisi medley berisi ”Play the Game”, ”The Millionaire Waltz”, dan ”Another One Bites the Dust”.
Digarap Elwin, medley ini menampilkan Michelle Siswanto sebagai solis biola dan Elwin pada piano. Karya Queen terdengar klasik di bagian awal, sedangkan di bagian tengah medley ada rasa waltz, dan di bagian terakhir terdengar sangat rock.
”Bohemian Rhapsody”
Yang cukup kompleks adalah ”Bohemian Rhapsody”. Pada versi Queen, ”Bohemian Rhapsody” terbagi dalam enam bagian. Pertama adalah intro vokal, kemudian disusul balada yang dimulai dengan lirik ”Mama just killed a man” dan seterusnya.
Kemudian disusul gitar solo Brian May, dan berlanjut dengan bagian operatik yang dimulai dengan lirik ”I see a little silhouetto of a man…” dan seterusnya. Disambung dengan suguhan hard rock yang keras-keras perkasa. Lalu bagian finale yang lembut.
Pada bagian inilah Avip mengerahkan Jakarta Concert Orchestra, Batavia Madrigal Singers, serta solis Farman Purnama, Fitri Muliati, Lisa Depe, dan Husein Idol yang tampil meyakinkan.
Dengan aransemen garapan Fedor Vrtacnik, keenam bagian komposisi tersebut diterjemahkan tanpa kehilangan detail seperti disuguhkan Queen. Termasuk bagian solo gitar dan hard rock diambil alih oleh seksi gesek dan tiup termasuk pikolo, serta vokal.
Melebarkan segmen penikmat
Jakarta Concert Orchestra beberapa kali menggelar konser dengan materi lagu nonklasik dengan kemasan orkestral, simfonikal. Mereka pernah menggelar khusus lagu-lagu Michael Jackson, Beatles, lagu-lagu dalam film musikal Grease, Saturday Night Fever, danlagu-lagu tema dari film Walt Disney. Mereka juga pernah memainkan lagu tema dalam film Indonesia, bahkan lagu dalam sinetron.
Bisa dikatakan ini merupakan ”rasa lain” dari sebuah kelompok orkestra yang selama ini memainkan musik klasik. Pada pergelaran lain, Jakarta Concert Orchestra menyuguhkan Carmen dari Georges Bizet. Atau karya jenisnya konserto piano Robert Schumann dan simfoni Felix Mendelssohn. Upaya ini dilakukan Avip untuk melebarkan segmen penonton. Avip ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa orang-orang klasik itu tidak kaku.
Sebenarnya hal semacam ini sudah lazim dilakukan oleh orkes filharmonik, termasuk orkes besar seperti Royal Philharmonic Orchestra, London. Mereka sering menggarap karya pop dalam repertoar mereka.
JCO ingin membawa penonton yang menyukai musik klasik untuk menyukai musik nonklasik. Sekaligus melebarkan penonton yang gemar nonklasik menjadi mengapresiasi musik klasik.
Selama ini bagi sementara orang ada semacam ”tembok pembatas” yang memisahkan antara musik pop dan musik klasik. Setidaknya ada anggapan bahwa musik klasik itu ”berat” dan ”rumit”, serta bikin kantuk.
Avip dan kawan-kawan ingin mengubah persepsi semacam itu. Karya Queen dan Michael Jackson yang digarap secara simfonikal itu menjadi jembatan apresiasi bagi mereka yang belum terlalu mengenal musik klasik. Begitu pula sebaliknya.
Dalam menggarap repertoar pop, rock, atau apa pun, JCO tetap menggunakan standar kualitas seperti kala mereka menyuguhkan musik klasik. Bagi Avip, musik itu tidak terkotak-kotak. Menggarap karya nonklasik merupakan kesempatan untuk memanjakan kreativitas, baik musisi, arranger, maupun pengaba.
Memainkan karya pop memang memungkinkan aransemen, vokal, dan penyajian untuk dibuat apa saja sesuai kreativitas. Tentu hal ini berbeda dengan karya klasik yang harus dimainkan sesuai apa yang ditulis komposer.
Dalam menyuguhkan karya kondang seperti milik Queen, Michael Jackson, Beatles, dan lainnya, Avip dan JCO mempertimbangkan sensitivitas serta ”fanatisme” penonton, terutama fans berat artis-artis tersebut.
Avip menggunakan cara mengambil saripati dan karakter yang melekat kuat pada lagu aslinya. Setelah kepegang ”roh” komposisinya, barulah para pembuat aransemen menggarap secara orkestral.
Dengan kiat-kiat yang sama, pengunjung pergelaran menikmati dan menghayati Queen. Ketika simfoni mengalun, Freddy Mercury dan kawan-kawan seperti sedang tampil di panggung, dan membangkitkan semangat mereka… ”We’ll keep on fighting till the end...”