Tekanan terkait pekerjaan bisa membawa stres ataupun membawa kita jatuh sakit. Penting bagi kita tetap berpikir realistis dan mengenal diri untuk bisa ”menyalurkan” tekanan tersebut melalui hal yang kita sukai.
Oleh
Kristi Poerwandari
·4 menit baca
Saat ini kita mungkin pernah atau sedang merasakan stres terkait pekerjaan. Penyebabnya banyak, bisa karena gaji yang terlalu rendah, tugas yang dirasa sangat berat, tidak ada peluang pengembangan diri atau karier, situasi kerja yang tidak nyaman, konflik antara pekerjaan dan hal-hal lain dalam hidup, atau ketidakcocokan karakteristik kerja dengan minat dan bakat kita.
Tekanan terkait pekerjaan dapat berperan terhadap kondisi fisik dan psikis diri. Mungkin kita jadi sering sakit kepala atau sakit perut, mudah cemas, gampang lelah, mengalami gangguan tidur, jadi cepat marah, merasa tak berdaya, dan kehilangan semangat.
Karena ketegangan pikiran menurunkan imunitas tubuh, hal tersebut juga dapat menyebabkan kita mudah jatuh sakit. Apalagi bila kita mengambil cara-cara yang kurang sehat untuk mengurangi perasaan tertekan. Misalnya, makan berlebihan, memilih makanan tidak sehat, begadang, merokok, atau minum alkohol.
Berpikir realistis
Bagaimana mengatasinya? Apabila belum sepenuhnya paham mengapa, kita perlu mencari tahu apa yang menyebabkan munculnya stres. Mungkin baik untuk membuat catatan harian yang ringkas saja mengenai situasi lingkungan dan pekerjaan beserta pikiran dan perasaan kita dalam menghadapinya. Dari situ kita jadi lebih mengerti.
Apa pun penyebabnya, kita dapat tergoda untuk mengambil keputusan yang tidak dipikirkan dengan saksama. Misalnya, enggan menjawab panggilan dari atasan atau rekan kerja ataupun tiba-tiba menghilang tidak dapat dihubungi. Mungkin pula kita menolak mengerjakan tugas, berkelahi dengan atasan, bahkan memutuskan keluar dari pekerjaan begitu saja.
Bagaimanapun diperlukan waktu untuk ”isi ulang” energi. Mungkin diperlukan meditasi, olah napas, hobi khusus, atau waktu tenang untuk benar-benar dapat bersantai.
Keputusan yang diambil tanpa pikir panjang sering merugikan. Penting bagi kita untuk selalu mengingat prioritas hidup dan berpikir realistis, apalagi di masa kini ketika kondisi ekonomi sangat menurun akibat pandemi. Berapa usia kita? Apakah kita pencari nafkah utama dalam keluarga? Apakah ada anak-anak yang menjadi tanggung jawab kita? Apakah bijaksana dan adil membebankan (semua) tanggung jawab mencari nafkah kepada pihak lain?
Apakah kita memiliki alternatif pekerjaan lain? Apakah kita terpapar pada tuntutan kerja di masa kini, memiliki keterampilan-keterampilan yang ”mudah dijual” di era digital? Seberapa besar daya kreatif dan kemampuan kita melihat peluang untuk dapat menciptakan pekerjaan sendiri? Seberapa besar kegigihan dan daya juang kita menghadapi jatuh bangun dan berbagai tantangan sebagai wirausaha?
Apabila kita masih muda, sangat antusias, belum terikat pada tanggung jawab khusus menafkahi keluarga atau pihak lain, menguasai keterampilan dan peluang-peluang kerja baru (yang umumnya terkait dengan internet, teknologi tinggi, media atau yang mudah ”dijual” dalam jaringan), dan cukup kreatif-inovatif, ada peluang untuk berpindah-pindah kerja atau mengembangkan bisnis sendiri (start up).
Yang lainnya mungkin perlu menenangkan diri agar dapat berpikir realistis, untuk kemudian menemukan cara-cara menyesuaikan dan membahagiakan diri dengan kondisi kerja yang tidak ideal.
Menyesuaikan diri
Apabila stres sangat menekan, kita perlu mencari cara untuk dapat menurunkan tekanannya. Ada berbagai cara mengurangi tekanan pekerjaan yang perlu disesuaikan dengan karakteristik kita pribadi. Misalnya, bercerita kepada sahabat atau berbicara terus terang kepada rekan kerja atau atasan bahwa kita tertekan (tetapi sedang mencoba mengatasinya). Atau kita melawan rasa enggan dengan justru bangun lebih pagi, mengusulkan cara kerja yang lebih efektif pada tim kerja, atau mengubah pola kerja pribadi.
Melakukan banyak hal berbarengan pada saat sama sebenarnya tidak efektif. Misalnya, sungguhkah kita dapat berkonsentrasi jika harus heboh mengikuti beberapa pertemuan pada saat bersamaan (lewat Zoom)? Apakah tidak lebih baik menetapkan prioritas agar tidak menghabiskan waktu dan energi secara sia-sia sehingga membuat diri makin tertekan?
Mengerjakan hal yang tidak disukai menuntut kondisi emosi yang lebih tenang dan energi lebih besar. Ketika demikian, kita dapat meminta pengertian dari orang-orang lain bahwa kita perlu berkonsentrasi sehingga untuk sementara tidak dapat diganggu.
Karena kita memiliki kecenderungan untuk menghindari yang tidak disukai, untuk memotivasi diri mungkin kita dapat memberlakukan sistem ”hadiah”. Apabila kita sangat suka pada aktivitas tertentu (misal bermain musik), kita membuat janji pada diri sendiri, untuk boleh bermain musik hanya jika pekerjaan X (yang tidak kita sukai) sudah (separuh) selesai dikerjakan.
Bagaimanapun diperlukan waktu untuk ”isi ulang” energi. Mungkin diperlukan meditasi, olah napas, hobi khusus, atau waktu tenang untuk benar-benar dapat bersantai. Kita juga perlu menetapkan batas-batas, berapa jam akan bekerja dalam satu hari? Bagaimana memastikan cara beristirahat dari pekerjaan ketika pekerjaan dilakukan dari rumah?
Mengenal diri sendiri dengan lebih baik juga membantu kita untuk mencari cara-cara menyesuaikan diri. Misalnya, seorang yang introvert akan mudah tertekan, kelelahan, dan seperti disedot energinya ketika harus terus-menerus berpindah dari satu rapat ke rapat lain (meski hanya lewat Zoom). Yang ekstravert mungkin merasa sedih dan kesepian mengapa rekan-rekan kerjanya asyik bekerja sendiri?
Terkait hal di atas, kita perlu menetapkan sasaran dan cara yang realistis. Misal, mungkin kita merasa sulit mengatasi ketertinggalan untuk menguasai berbagai program dasar di internet. Tetapi, tugas kita mensyaratkan hal itu (misalnya untuk menjual produk baru). Untuk mengatasinya, kita dapat mengajak anak-anak muda untuk mengerjakan hal-hal rumit yang tidak kita kuasai. Tetapi, dalam tim kerja, kita tetap memiliki nilai tambah karena kita yang menguasai konten dan strategi besarnya.
Hidup ini tidak pernah sempurna, meski demikian, semoga kita dapat tetap bersyukur, sehat, dan bahagia.