Mural, Demokrasi, dan Penghinaan Presiden
Berdasarkan konsep Scandalum Magnatum, pengaturan terkait penghinaan presiden yang berakibat pada publik penting untuk tetap dilakukan.
Dignity does not consist in possessing honours, but in deserving them
Aristoteles
Aristoteles dalam adagium di atas menekankan bahwa kehormatan setiap orang itu melekat pada orang-orang yang berhak dihormati.
Pendapat itu akan sangat erat kaitannya dengan diskusi program penghapusan mural yang dijabarkan Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara Faldo Maldini dan pasal penghinaan presiden yang kembali muncul dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP). RUU KUHP telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021 dan para pembentuk KUHP mengejar pengesahannya pada tahun ini.
Berkaitan dengan polemik penghinaan presiden, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Moh Mahfud MD melalui akun Twitter-nya mengatakan, Presiden Joko Widodo menyerahkan sepenuhnya ke DPR mengenai pasal penghinaan presiden, sekalipun RUU KUHP adalah RUU pemerintah.
Berbagai pihak, seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Institute of Criminal Justice Reform, menolak pengaturan pasal penghinaan presiden yang dianggap dapat membatasi kebebasan berpendapat dan menghambat demokrasi. Namun, pembentuk RUU KUHP berpandangan bahwa presiden sebagai lambang kehormatan negara harus dijaga harkat dan martabatnya sehingga pasal ini menjadi keniscayaan.
Permasalahannya, jika sekadar ”mural”, levelnya hanya di tingkatan peraturan daerah (perda).
Kontroversi mural
Artikel ini berusaha membedah soal kebutuhan demokrasi dan kehormatan negara melalui paparan berikut. Sebelum masuk dalam pasal penghinaan presiden, kontroversi mural di Indonesia menjadi polemik berkepanjangan. Faldo Maldini mengutarakan di Twitter, pembuatan mural harus berdasarkan izin. Jika tidak, dianggap perbuatan melawan hukum, bahkan tindakan sewenang-wenang. Permasalahannya, jika sekadar ”mural”, levelnya hanya di tingkatan peraturan daerah (perda).
Sebagai contoh, Pasal 21 Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 yang melarang tindakan coret-coret, melukis, dan tindakan seni lain di fasilitas umum.
Dengan aturan tersebut, penindakan juga bersifat daerah dan diserahkan pada daerah masing-masing. Namun, mengapa tindakan ini sampai menjadi perhatian dari pemerintah pusat, bukan hanya tindakannya, juga substansi dari mural-mural tersebut. Apakah tindakan tersebut bisa masuk ke dalam ”penghinaan”, terutama terhadap ”presiden”. Perlukah ”mural” berujung pada pemidanaan?
Rumusan delik penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden menimbulkan reaksi publik karena pasal yang memiliki semangat yang sama sempat diatur dalam Pasal 134 dan 137 KUHP.
Kedua pasal telah dicabut melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pada 4 Desember 2006. Dalam pertimbangannya, MK menilai Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena amat rentan tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran, merupakan kritik atau penghinaan pada presiden/wakil presiden.
MK berpendapat Indonesia suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Oleh karena itu, menjadi tidak relevan lagi jika KUHP-nya masih memuat pasal-pasal seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 yang menegasikan prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi dan prinsip kepastian hukum.
Berdasarkan putusan MK ini, sebenarnya sudah digarisbawahi bahwa untuk menjamin demokrasi dan HAM, pasal penghinaan presiden yang berpotensi multitafsir sudah seharusnya dicabut.
Dengan adanya putusan MK tersebut, sudah seharusnya KUHP di masa yang akan datang memang tidak mengatur hal yang sama. Hal ini didasari dengan pemikiran bahwa UU tidak dapat mengatur hal yang inkonstitusional.
Konsep ini dipertegas dalam Pasal 10 Ayat (1) Huruf d UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur bahwa materi muatan undang-undang adalah melaksanakan putusan MK. Dengan demikian, RUU KUHP memegang tugas untuk menjalankan putusan-putusan MK, terutama berkaitan dengan hukum pidana.
Pasal 353 RUU KUHP melahirkan kembali konsep yang sama dengan pengaturan yang berbeda mengenai penghinaan presiden. Namun, pada dasarnya pengaturan tersebut tidak hanya pada presiden, tetapi juga segala yang masuk dalam lembaga negara.
Pasal 353 Ayat (1) RUU KUHP berbunyi, ”Di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara”. Lalu, Ayat (2) memberikan pemberatan, jika penghinaan di ayat (1) menimbulkan akibat kerusuhan yang ada di masyarakat. Kemudian, pasal ini ditegaskan sebagai delik aduan.
Perbedaan lain adalah pasal ini memiliki bentuk materiil yang mewajibkan adanya akibat kerusuhan dalam pemberatannya.
Perbedaan mendasar Pasal 353 RUU KUHP dengan Pasal 134 dan 137 KUHP adalah pasal ini memiliki ancaman pidana jauh lebih kecil. Ancaman pidananya, 1 tahun 6 bulan penjara atau 3 tahun penjara jika menimbulkan akibat kerusuhan. Sementara Pasal 134 KUHP diancam dengan pidana 6 tahun penjara. Perbedaan lain adalah pasal ini memiliki bentuk materiil yang mewajibkan adanya akibat kerusuhan dalam pemberatannya.
Kemudian, perbedaan yang terakhir dan paling penting adalah pasal ini dalam RUU KUHP sebagai delik aduan, sedangkan Pasal 134 dan 137 KUHP merupakan delik biasa. Pengaturan yang berbeda ini tidak sepenuhnya menjadikan Pasal 353 RUU KUHP berpotensi inkonstitusional.
Urgensi pasal penghinaan presiden
Menjadi pertanyaan besar, apakah Indonesia perlu pasal penghinaan presiden. Dalam sejarahnya, Inggris merupakan negara pertama yang melakukan kriminalisasi terhadap penghinaan dengan konsep yang disebut Scandalum Magnatum. Pengaturan ini bisa dilihat pada The Statute of Westminster of 1275 yang menyebutkan: ”From henceforth none be so hardy to tell or publish any false News or Tales, whereby discord, or occasion of discord or slander may grow between the King and his People, or the Great Men of the Realm”.
Pengaturan ini yang kemudian menjadi dasar pemidanaan pasal penghinaan di Inggris. Scandalum Magnatum dibentuk dengan tujuan memulihkan korban-korban penghinaan saat itu, penghinaan yang menimbulkan akibat yang dirasakan publik, seperti perang, konflik, dan lain sebagainya (Anggara, 2012, ICJR). Jadi, pada dasarnya, awal ada kriminalisasi terhadap perbuatan penghinaan adalah mencegah adanya potensi dampak terhadap publik karena penghinaan tersebut.
Dalam hal ini, pengaturan mengenai penghinaan presiden dan/atau wakil presiden diatur hampir oleh semua negara untuk melindungi harkat dan martabat kepala negara (Ruth Walden, 2000). Salah satu putusan yang sangat berpengaruh terhadap pasal penghinaan presiden di Eropa adalah putusan Pengadilan HAM Eropa tahun 2010 yang menyatakan bahwa pemidanaan terhadap Jose Guttierez, jurnalis yang menulis mengenai Raja Hassan dari Maroko, telah melanggar kebebasan pers yang dimiliki jurnalis (Patti McCracken, 2012).
Dengan putusan tersebut, Pengadilan HAM Eropa memenangkan kebebasan pers atas pengaturan penghinaan presiden. Keputusan ini berpengaruh terhadap pengaturan penghinaan presiden di sejumlah negara Eropa. Contoh lain adalah penghapusan pasal penghinaan terhadap kepala negara lain di Perancis pada 2004 yang dianggap bertentangan dengan kebebasan pers.
Penghinaan bernuansa SARA
Berdasarkan perbandingan hukum di atas, pengaturan pasal penghinaan presiden yang multitafsir sudah selayaknya tak diatur kembali demi menjamin presiden. Namun, berdasarkan konsep Scandalum Magnatum, pengaturan terkait penghinaan presiden yang berakibat pada publik penting untuk tetap dilakukan.
Terutama di era media sosial saat ini. Penghinaan berbau SARA dan dapat menimbulkan konflik antarwarga negara perlu dicegah dan dikriminalisasi.
Oleh karena itu, jika ingin mempertahankan pasal penghinaan presiden, harus mempertahankan pasal yang bersifat delik materiil atau menekankan pada akibat yang terjadi, yang telah dirancang dalam Pasal 353 Ayat (2) RUU KUHP.
Selain itu, pasal tersebut juga harus bersifat delik aduan sebagaimana diusulkan dalam Pasal 353 Ayat (3) RUU KUHP. Delik aduan dibentuk untuk memberikan kewenangan kepada korban untuk mempertimbangkan kerugian yang telah dialami untuk kemudian mengadukan perbuatan tersebut kepada pihak berwajib (E Utrecht, 1987).
Baca juga : Seni Kritik lewat Mural Boleh, asal...
Dengan begitu, presiden diberikan kesempatan untuk mencari penyelesaian permasalahan penghinaan presiden yang terjadi dan menggunakan jalur pidana sebagai saran terakhir jika solusi lain tidak dapat digunakan.
Seperti halnya dalam kasus mural, bisa dibentuk penyelesaian di luar pengadilan ketimbang pemidanaan. Pengaturan penghinaan presiden sebagai delik materiil dan delik aduan tetap akan menjaga demokrasi dengan memberikan batasan yang dibutuhkan dalam menjaga kehormatan negara dan presiden.
Hal ini sejalan dengan Siracusa Principles yang menekankan bahwa pembatasan HAM diperlukan untuk melindungi HAM dengan pengaturan yang jelas dan tidak bersifat multitafsir.
Muhammad Fatahillah Akbar, Dosen pada Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada