Kritik dimaksudkan untuk menunjukkan adanya masalah kepada pemimpin. Dengan demikian, kritik tidak harus selalu diminta solusinya.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
Dari Batuceper, Kota Tangerang, Banten, sebuah mural bergambar wajah yang pada bagian mata ditutupi tulisan ”404: Not Found” diperbincangkan khalayak ramai. Wajah dalam mural disebut-sebut mirip dengan Presiden Joko Widodo. Tidak berselang lama, gambar tersebut dihapus atau ditimpa dengan cat hitam. Alasannya, wajah Presiden adalah lambang negara.
Tidak berhenti di situ, polisi juga mencari orang yang melukis mural tersebut. Rupanya, tidak hanya di Tangerang, tulisan atau mural bernada kritik di beberapa lokasi lain juga dihapus oleh aparat. Kemudian, di media sosial muncul tagar #Jokowi404NotFound.
”Sebetulnya itu pikiran yang maju. Ada apa dengan penyembunyian data dan macam-macamnya, misal tentang (data) di masa pandemi. Interpretasi orang yang macam-macam itu sukses bagi si penggambar,” kata perupa dan pekerja seni Yayak Yatmaka dalam Satu Meja the Forum bertajuk ”Mural, Kritik Sosial atau Kriminal?” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (18/8/2021) malam.
Selain Yayak, diskusi daring yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo tersebut diikuti Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari, serta pengamat sosial dan politik Abdillah Toha.
Sebaliknya, menurut Yayak, aparat yang menghapus mural tersebut dinilainya sebagai tidak berbudaya dan sakit jiwa. Sebab, hal itu menunjukkan sikap paranoia karena mural tersebut seolah mendorong pemberontakan. Demikian pula mural dengan tulisan ”Dipaksa Sehat di Negeri yang Sakit”, Yayak menilai itu lebih merupakan refleksi dari si penggambar.
Dengan demikian, penghapusan mural yang merupakan karya seni dinilainya sebagai kejahatan kemanusiaan. Sebab, selain gambar adalah bagian penting kehidupan, pembuatan karya seni oleh seniman membutuhkan proses yang serius layaknya berdoa.
Jika kemudian ada pihak lain yang keberatan dengan sebuah mural atau tulisan, hal itu merupakan interpretasi masing-masing.
Jika kemudian ada pihak lain yang keberatan dengan sebuah mural atau tulisan, menurut Yayak, hal itu merupakan interpretasi masing-masing. Maka, ketika mural bertuliskan ”Tuhan Aku Lapar” dihapus, sikap aparat yang menghapusnya patut dipertanyakan karena tidak ada hubungan antara keluhan seseorang ke Tuhan dengan aparat. Alih-alih menghapus mural, Yayak berharap agar pemerintah memfasilitasi seniman mural, semisal mengajaknya untuk bersama-sama mengisi ruang tembok kosong di kota.
”Misalnya ada gambar bagus seperti kemarin malah dipelihara, bukan dihapus. Jangan sekali-sekali menghapus, apalagi dengan asal nge-cat, itu kan pengotoran,” ujar Yayak.
Terkait penghapusan mural tersebut, Dini memastikan Presiden Jokowi tidak antikritik serta konsisten menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat, termasuk melalui karya seni seperti mural. Ekspresi kritik sosial dalam seni dinilainya sah saja.
”Kalau saya pribadi melihat mural itu, saya tidak melihat ada suatu delik tindak pidana atau penghinaan. Saya menangkap, mata ditutup ’404 Not Found’ itu, kan, artinya error. Itu sebetulnya kritik membangun. Setiap orang perlu introspeksi, termasuk Presiden,” kata Dini.
Meski demikian, menurut Dini, kritik mestinya disampaikan sesuai dengan prinsip kepatutan, kesopanan, kewajaran, serta selaras dengan budaya Indonesia. Maksudnya, pesan dan masukan yang hendak disampaikan harus jelas, tidak sekadar caci maki.
Kritik pun diharapkan berimbang, yakni tidak hanya kepada Presiden atau pemerintah, tetapi juga aparat penegak hukum dan masyarakat. Sebab, masyarakat harus bisa membedakan antara kritik yang konstruktif dan kritik yang destruktif.
”Kritik yang konstruktif itu bukan hanya muji-muji, tetapi yang memang tujuannya baik, bukan destruktif hanya untuk menghancurkan, tetapi tidak ada niat baik. Introspeksi semuanya, dari aparat, masyarakat, semua harus melakukan perbaikan, juga harus paham mana yang kritik, mana yang fitnah,” terang Dini.
Sebaliknya, menurut Abdillah, kritik tidak harus membangun. Dia justru mempertanyakan maksud dari kritik yang membangun, apakah dengan demikian setiap kritik harus disertai dengan solusi. Abdillah mengambil contoh pada masa Orde Baru, kritik dibungkam. Waktu itu dikatakan pula bahwa kritik harus membangun.
Kritik dimaksudkan untuk menunjukkan adanya ketidakberesan atau adanya masalah kepada pemimpin. Dengan demikian, kritik tidak harus selalu diminta solusinya.
Padahal, lanjut Abdillah, kritik dimaksudkan untuk menunjukkan adanya ketidakberesan atau adanya masalah kepada pemimpin. Dengan demikian, kritik tidak harus selalu diminta solusinya.
”Solusinya harus dipikirkan, wong Anda orang-orang pintar di pemerintahan. Kritik itu menunjukkan kesalahan, itu saja,” kata Abdillah.
Terkait kebebasan berekspresi atau berpendapat, Abdillah berpandangan bahwa ruang kritik tetap ada hingga saat ini. Demikian pula Presiden telah menegaskan bahwa dirinya tidak keberatan dengan kritik. Namun, kekurangannya adalah tidak ada respons dari Presiden. Misalnya, dalam polemik tes wawasan kebangsaan dalam proses alih status kepegawaian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Presiden tidak memberikan solusi atau jawaban meski dikritik banyak pihak.
Taufik berpandangan, penghapusan mural berisi kritik sosial yang diikuti dengan kegiatan penyelidikan mestinya tidak perlu dilakukan kepolisian. Sebab, mural tersebut adalah ekspresi seni yang tidak ada kehendak jahat sebagaimana disyaratkan terjadinya tindak pidana.
”Anggap biasa-biasa saja sebagai bagian dari kehidupan demokrasi. Jadi, kalau (seniman) ini harus dipanggil dan dilakukan penyelidikan, itu buang-buang energi. Masih banyak hal yang bisa dilakukan polisi untuk melakukan tugas dalam penegakan hukum,” kata Taufik.
Menurut Taufik, semestinya Kepala Polri memberikan satu arahan yang jelas bagi jajarannya ketika harus berhadapan dengan ekspresi kritik sosial seperti itu. Sebab, tindakan reaktif berupa pemanggilan atau penyelidikan justru pada akhirnya merugikan pemerintah karena dinilai antidemokrasi.
”Kita hidup di alam demokrasi, perbedaan itu bisa ada. Sebagai pihak yang saat ini memegang amanah menjalankan kekuasaan seharusnya lebih bisa membuka diri terhadap kritik, termasuk mengendalikan semua pendukung penguasa untuk tidak melakukan hal-hal yang justru merugikan penguasa,” ujar Taufik.