Dilarang Membaca Buku
Pada saat yang sama, ketika sebuah buku dilarang dengan cara-cara yang keji, kita sesungguhnya telah menghapus jejak pemikiran yang pernah dicapai sebuah bangsa pada suatu masa
Sewaktu remaja aku suka secara sembunyi-sembunyi menyewa buku komik bertema silat. Sewanya murah, barangkali dengan Rp 20 sudah bisa membawa pulang beberapa jilid komik karya Ganes TH berjudul Si Buta dari Gua Hantu. Sering pula aku sewa berjilid-jilid komik serial Mahabharata karya RA Kosasih. Tetapi, komik favoritku kisah Pandji Tengkorak yang dikarang oleh Hans Jaladara. Khusus buat Si Buta dari Gua Hantu dan Pandji Tengkorak, sesudah membaca komiknya, aku bisa menonton filmnya di salah satu gedung bioskop di kota kami. Namanya Wijaya Theater. Sekarang gedung bioskop legendaris kota kami itu masih berdiri, tetapi tak berdaya memutar film lagi. Halaman depannya sudah dijejali oleh pedagang kaki lima.
Bapak selalu keberatan kalau aku asyik menyimak cerita komik silat. Sebab, mau tak mau aku khusyuk sendiri di bawah pohon jambu di belakang kamar mandi. Maaf, sampai umur 14 tahun aku belum punya kamar sendiri untuk sekadar me time. Masih gabung bersama keempat adik perempuanku. Itu pun di ruang tamu yang kami sulap jadi seolah kamar tidur dengan hanya berbatas kain gorden. Kata Bapak, komik itu merusak otak. ”Nanti kamu klejang-klejing mau main silat,” kata Bapak. Maksudnya, aku jadi suka meniru-nirukan gerakan silat dari Si Buta atau Pandji Tengkorak.
Belakangan aku mengerti, jika banyak menghabiskan waktu menyimak komik, waktu yang kusisihkan untuk membantu Bapak bekerja di sawah jadi berkurang. Ia selalu membutuhkan kehadiranku. Sebenarnya bukan untuk membantu pekerjaannya, yang tentu masih berat bagi remaja seusiaku, tetapi mengajarkanku tentang pentingnya mengetahui ilmu bertani. Jadi, ketika remaja-remaja lain, ”merdeka” menikmati masa remaja mereka dengan bermain, aku saban hari harus ke sawah. Lantaran tidak mau kehilangan kisah-kisah menegangkan dari Ganes TH dan Hans Jaladara, aku mulai menyelipkan komik di bagian belakang celanaku. Ketika jam-jam istirahat, sambil makan siang di dangau aku meneruskan membaca komik.
Meski begitu kebiasaanku mengonsumsi komik tak lantas hilang. Sepupuku Gede Purmadi, juga mulai ketularan
Terdengar sangat romantis, karena kau memandangnya dari masa sekarang. Padahal pada masa itu, aku melakukannya dengan sedikit ”terpaksa”. Bagaimana mungkin bisa senang melakukan pekerjaan demi pekerjaan orang dewasa, sementara para remaja lainnya bergembira sambil bercerita tentang celana Levi’s atau jaket kulit yang baru saja dibelinya di Badung. Kami di Negara belum bisa membedakan mana Badung mana Denpasar. Pokoknya kalau pergi ke ibu kota Bali, kami menyebutnya ke Badung saja. Sementara sebenarnya Badung telah menjadi kabupaten sendiri, di luar kota Denpasar.
”Ketimbang kamu cari ilmu di buku itu, sebaiknya latihan langsung…” tiba-tiba kata Bapak. Tak berselang lama aku sudah belajar silat pada seorang guru bernama I Ketut Weker (alm). Setiap sore aku belajar jurus-jurus, yang belakangan kupikir penting untuk melampiaskan energi remajaku yang berlebih. Terkadang sebelum latihan silat, kami seperguruan bermain sepak bola di sawah yang kering sehabis panen.
Baca juga: Membangun Kecakapan Literasi
Meski begitu kebiasaanku mengonsumsi komik tak lantas hilang. Sepupuku Gede Purmadi, juga mulai ketularan. Ia diam-diam ikut menyewa komik di kios yang tak jauh dari tempat tinggal kami. Sialnya, suatu hari ayahnya marah-marah karena pada saat dibutuhkan untuk menyiapkan kuda dengan dokarnya, Gede malah tidak kelihatan batang hidungnya. Ayah Gede seorang kusir dokar yang biasa mangkal di pasar kota kami. Setiap hari tugas Gede menyiapkan kuda dengan membersihkan bulu-bulunya dan memasang segenap peralatan yang dibutuhkan sebelum siap menyeret dokar di jalanan kota.
Aku ingat, waktu itu ayah Gede membawa pecut dan mencari-cari anaknya sampai ke kios komik. Ketika melihat Gede sedang berada di kios komik, ayahnya berteriak-teriak seperti orang kalap, ”Besok kau makan tuh gambar komik….” kata ayahnya. Gede yang juga sedang tumbuh menjadi remaja tanggung seperti aku, terbirit-birit ketakutan. Sore harinya dengan tubuh masih gemetar Gede mencari perlindungan kepada Bapak.
Aku agak lupa, bagaimana kisah kemarahan ayah Gede karena anaknya membaca komik. Hal paling melekat dalam ingatanku sampai kini, komik dan buku-buku novel yang pada tahun 1980-an banyak tersebar di kios-kios persewaan, dianggap ”meracuni” anak-anak remaja. Membaca dicap sebagai aktivitas membuang waktu dan kontra produktif. Aktivitas produktif di masa itu tak lain adalah membantu orang tua bekerja di sawah atau di dapur.
Membaca dicap sebagai aktivitas membuang waktu dan kontra produktif.
Pelarangan ini barangkali tak lebih dari cerita domestik yang banyak dialami oleh generasiku di kampung-kampung. Orangtua beranggapan kegiatan membaca tak akan membuat seseorang menjadi lebih pintar. Dengan kata lain, membaca buku telah distigma sebagai aktivitas yang ”berbahaya”, karena mengancam produktivitas rumah tangga. Bapak rupanya juga berpikiran serupa, terutama pada komik. Dalam bayangannya komik hanya berisi tentang kisah-kisah picisan yang lebih rendah kelasnya dari dongeng nenek menjelang tidur. ”Jangan buang waktu dengan baca komik. Bahkan bahaya buatmu yang masih remaja,” kata Bapak.
Baca juga: Tumpukan Tradisi dalam Buku Bekas
Ketika kemudian benar-benar menghasilkan beberapa buku, terutama novel Gandamayu, yang terbit tahun 2012, anggapan Bapak mulai berubah soal buku. Waktu peluncuran novel itu di Bentara Budaya Bali, Bapak dan Ibu sengaja aku undang ke Denpasar. Kata pertama yang keluar dari Bapak,”Kok kamu masih ingat masa kecilmu?” Gandamayu seperti cerita berbingkai. Aku menggunakan pengalaman masa kecil bersama Bapak mengunjungi desa-desa untuk kondangan menembang. Kami selalu berangkat sore hari dengan menggunakan sepeda. Dalam perjalanan Bapak selalu menembang, kisah-kisah yang nanti dia akan bawakan dalam acara pesantian (menembangkan kisah-kisah kepahlawanan dan ajaran spiritual).
Kisah itu aku gunakan sebagai bingkai untuk menuturkan tentang Sudamala, sebuah kisah sakral mengenai ruwatan. Tokoh utama kisah ini adik bungsu para Pandawa bernama Sahadewa. Ia dipersembahkan kepada Dewi Durga sebagai syarat kemenangan Pandawa dalam perang Bharatayudha. Aku ingat ketika kembali ke Negara, seharian Bapak membaca novel itu. Aku lihat dengan malu-malu ia mengusap air matanya…
Baca juga: Tidak Ada Kata Terlambat untuk Membaca Buku
Barangkali ia ingat bagaimana dulu melarangku membaca komik dan novel yang kusewa dari kios. Sesungguhnya buku bukan hanya soal pendokumentasian pengetahuan, sebagaimana Gandamayu mencuplik fragmen hidup Bapak, tetapi ia juga representasi dari babak-babak pencapaian peradaban manusia. Buku yang kita baca sehari-hari merupakan sekumpulan penemuan manusia dalam memecahkan teka-teki semesta. Sejak transliterasi bunyi-bunyi dalam kata lisan menjadi huruf-huruf yang dimulai pada masa Mesir Kuno ketika penemuan huruf hieroglif (3000 SM); penemuan susunan abjad; penemuan kertas dari bambu di China (105 M); sampai terakhir penemuan cikal-bakal mesin cetak oleh Johannes Gutenberg (1450), buku kemudian menjelma menjadi penemuan paling intelek dari manusia.
Sejak penemuan buku, sistem pewarisan ilmu pengetahuan yang tadinya mengandalkan ingatan, dibekukan dalam sebuah kitab
Buku, di mana huruf-huruf itu menyatukan kata menjadi kalimat, sehingga mewadahi pengetahuan di dalamnya, bukan penemuan yang sederhana. Ia gabungan dari beberapa abad penjelajahan manusia dalam memecahkan rahasia semesta. Sejak penemuan buku, sistem pewarisan ilmu pengetahuan yang tadinya mengandalkan ingatan, dibekukan dalam sebuah kitab. Begitulah dulu kitab suci diturunkan ke dunia. Tradisi Weda sudah berlangsung pada 1000-500 SM, yang diturunkan secara lisan dari guru kepada murid. Selama berabad-abad Weda diajarkan dari mulut ke mulut, sampai kemudian dituliskan pada milenium ke-2 SM. Penulisan dalam sebuah kitab inilah yang kemudian membuat wahyu dan pengetahuan di dalam Weda, bisa sampai kepada generasi di masa kini.
Baca juga: Tabrak Lari Literasi Digital
Oleh sebab itu, ketika mendengar peristiwa pemberedelan atau pelarangan sebuah buku, tak cuma hati para penulisnya seperti teriris-iris, tetapi bisa mengimbas sakit hati sebuah entitas kultural. Peristiwa paling tragis dan memilukan yang dicatat sejarah terjadi ketika sekitar 150.000 tentara Mongol menyerbu Baghdad pada dekade 1200-an silam. Saat itu, Baghdad telah menjadi pusat peradaban Islam di masa lampau. Ribuan tentara kemudian menghancurkan masjid, rumah sakit, istana dan perpustakaan. Disebutkan, puluhan ribu buku tentang astronomi, kedokteran, kimia, zoologi, geografi dan kartografi, koleksi The Grand Liberary of Baghdad dihanyutkan ke Sungai Tigris.
Legenda setempat kemudian menuturkan, betapa aliran Sungai Tigris menghitam karena lunturan tinta dari ribuan buku. Bersama tinta terhanyutkan pula seluruh pengetahuan yang dicatat peradaban di masa itu. Setelah tragedi yang disebut sebagai ”Siege of Baghdad” itu, pelenyapan terhadap buku masih kerap terjadi. Tak jarang di negeri kita terjadi razia buku langsung ke toko-toko yang menjual sebuah buku yang dilakukan oleh sekelompok orang atas nama penegakan moralitas agama.
Tahun 2012 sebuah jaringan toko buku besar telah membakar ratusan eksemplar buku berjudul 5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia karya Douglas Wilson. Anehnya pembakaran itu disaksikan oleh lembaga-lembaga resmi pemerintah, seperti polisi, perwakilan toko buku, dan lembaga ulama. Toko buku yang seharusnya paham benar untuk apa sebuah buku ditulis, saat itu malah menjadi eksekutor terhadap pelenyapan pengetahuan di dalam buku.
Sejak masa Orde Lama, Indonesia mengeluarkan UU No 4 Tahun 1963, yang memberi kewenangan Kejaksaan Agung untuk melarang buku dan semua barang cetakan, jika dianggap mengganggu ketertiban umum. Pada masa Orde Baru pelarangan terhadap buku justru semakin menggila. Dokumentasi Radio Buku mencatat sejak tahun 1959 sampai 2009, telah terjadi pelarangan terhadap 300 buku di Indonesia. Dan penulis yang paling banyak bukunya dilarang tak lain Pramoedya Ananta Toer. Hampir semua buku Pram, dari Hoakiau, Keluarga Gerilya, Perburuan, Mereka yang Dilumpuhkan, Subuh, Di Tepi Kali Bekasi, Bukan Pasar Malam, sampai Tjerita dari Blora dituduh telah menyebarkan komunisme.
Baca juga: PK Ojong dan Pramoedya
Setidaknya tercatat 24 buku karya Pram pernah dilarang beredar, termasuk tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca). Buku-buku karya para penulis yang berafiliasi terhadap komunisme Uni Soviet, seperti Agam Wispi, Sobron Aidit, S Anantaguna, dan Utay Tatang Sontani turut pula diberedel.
Sebagai mahasiswa sastra pada pertengahan tahun 1980-an, aku penasaran berat. Seorang kakak angkatan dengan gagah berani mengambil novel Bumi Manusia sebagai obyek penelitian skripnya. Sudah pasti ia mengalami berbagai hambatan, terutama mendapatkan akses membaca novel karya Pram itu. Seorang dosen, diam-diam memberinya akses untuk membaca di rumahnya. Diam-diam pula aku selalu ikut serta dan kami membacanya secara bergantian. Dosen itu selalu wanti-wanti, perbuatan membaca buku bisa berakibat di penjara.
Baca juga: Dilarang Membaca Buku
Sejak itu aku sudah berkesimpulan, hampir tak ada ajaran komunisme dalam Bumi Manusia. Ia justru memuat kisah tentang perjalanan hidup seorang pribumi bernama Minke dalam menegakkan hak-haknya sebagai pemilik ”sah” Bumi Pertiwi. Bahkan kisah heroik itu dibungkus dengan kisah cinta Minke dengan Annelies, putri seorang Belanda.
”Mengapa dilarang?” tanyaku kepada dosen senior itu.
”Ini soal rezim. Jadi, ikuti saja kalau mau selamat membaca,” kata dia.
Waktu itu aku merasa cukup beruntung dibanding teman-teman lain. Membaca Bumi Manusia di saat buku itu dilarang pemerintah, sebuah tindakan perlawanan yang penuh risiko. Kalau ketahuan bisa berakhir di sel tentara. Jangankan membaca buku yang dilarang, membaca puisi Rendra di kampus pun harus mendapatkan izin dari militer setempat.
Baca juga: Berkelana dari Buku ke Buku
Pelarangan sebuah buku sering kali bukan karena isi bukunya, tetapi karena perbedaan pandangan dengan institusi atau organisasi yang merasa memegang otoritas kebenaran. Pada saat yang sama, ketika sebuah buku dilarang dengan cara-cara yang keji, kita sesungguhnya telah menghapus jejak pemikiran yang pernah dicapai sebuah bangsa pada suatu masa. Perbedaan pandangan seharusnya tidak dilakukan dengan cara melenyapkan, tetapi justru menerimanya sebagai dialektika yang memperkaya khazanah pemikiran dari masa ke masa.
Baca juga: Bacalah, maka Kamu Tak Sendiri