Kecakapan literasi, numerasi, dan karakter masih menjadi masalah pendidikan di Tanah Air. Karena itu, sistem pembelajaran untuk meningkatkan kompetensi dasar tersebut mesti dibenahi.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
ARSIP HAMDANI
Radmiadi (berbaju hitam) mendampingi anak-anak membaca buku di Bakauheni, Lampung, Sabtu (6/3/2021).
Kecakapan literasi, numerasi, dan karakter masih menjadi masalah dalam pendidikan anak-anak di Tanah Air. Berbagai capaian di nasional dan global menunjukkan Indonesia perlu membenahi secara mendasar pembelajaran untuk memastikan siswa belajar bermakna, terutama dalam memperkuat kompetensi dasar, yakni literasi, numerasi, dan karakter.
Memiliki literasi berkualitas, salah satunya kemampuan membaca, menjadi fondasi awal untuk mampu belajar dan berkontribusi dalam kehidupan. Dengan bekal kecakapan literasi yang baik, hal itu membantu menumbuhkan kemampuan belajar sepanjang hayat untuk bertahan dan berkembang dalam dunia yang penuh ketidakpastian.
Upaya memastikan siswa Indonesia memiliki kecakapan literasi, numerasi, dan karakter jadi bagian asesmen nasional (AN) yang akan digelar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) akhir tahun ini. Tujuannya untuk memetakan siswa di jenjang pendidikan dasar dan menengah yang telah menguasai kecakapan dasar yang penting ini.
Hasil AN diprediksi tak jauh beda dari gambaran hasil tes Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 ataupun Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI). Berdasarkan data AKSI 2019 yang digelar Kemendikbud Ristek, sebanyak 55,85 persen siswa kemampuan membaca kurang, kategori cukup 38,01 persen, dan yang baik hanya 6,14 persen. Di PISA 2018, kemampuan membaca siswa Indonesia di urutan 71 dari 76 negara.
Tak kuatnya fondasi kemampuan membaca yang dibangun secara benar sejak di pendidikan dasar berdampak pada rendahnya kemampuan literasi saat dewasa. Berdasarkan data Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) tahun 2016, sebagian besar orang dewasa di Jakarta memiliki kecakapan literasi dan numerasi rendah.
Hampir 70 persen orang dewasa Jakarta di bawah atau level 1 dalam hal literasi. Mereka hanya mampu membaca teks singkat untuk topik yang dikenal untuk meletakkan sebaris informasi tertentu. Untuk melaksanakan tugas ini hanya butuh pengetahuan kosakata dasar dan pembaca tidak diminta memahami struktur kalimat atau paragraf.
Namun, kekeliruan membangun kecakapan literasi justru terjadi di tingkat awal pendidikan. Di jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD), kesiapan literasi anak melompat langsung ke membaca, menulis, dan menghitung (calistung) demi persiapan sekolah dasar (SD). Bahkan, les membaca anak-anak menjamur. Padahal, ada tahapan sederhana yang mendasar, yakni membangun kemampuan menyimak anak. Caranya sederhana, dengan membacakan buku cerita secara menarik dan interaktif.
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU
Seorang guru PAUD membacakan buku cerita berbahasa ibu kepada siswa dalam Festival dan Kreativitas Anak Usia Dini 2017 bertema ”Bahasa Ibu Membangun Keadaban Keaksaraan sejak Dini” di Jakarta, Rabu (10/5).
Di acara ”Pakar Berbagi: Meningkatkan Kemampuan Literasi Anak dengan Membacakan Cerita”, di Jakarta, Sabtu (31/7/2021), Roosie Setiawan, Pendiri Komunitas Read Aloud, mengatakan, ada yang keliru dalam pendidikan. Di TK atau PAUD kecakapan literasi dini tidak disiapkan dan di SD tidak diajarkan membaca, tapi sudah harus bisa membaca.
”Padahal, ada tahapan yang sederhana, dengan orang dewasa membacakan buku untuk anak. Ada mengeluarkan suara sudah bisa membuat anak nol bulan dan bertahap terbangun kecakapan literasinya,” ujarnya.
Menurut Roosie, membacakan nyaring akan membangun keterampilan mendengar anak sebelum bicara. Pemahaman melalui menyimak merupakan jembatan bagi pemahaman membaca. Menyimak jadi fondasi dari kompetensi literasi lain, yakni berbicara, membaca, dan menulis.
Membacakan nyaring yang dilakukan orangtua di rumah dan di PAUD, lalu menikmati prosesnya, seperti tanya-jawab, jadi hal fundamental membenahi kekeliruan tentang calistung pada anak usia dini. ”Mudah dilakukan, bisa dilakukan, dan kini makin mudah akses ke buku elektronik tanpa biaya,” kata Roosie.
Praktisi Pendidikan Indra Charismiadji membongkar sejumlah mitos dan fakta terkait literasi. Ketidakmampuan membedakan mitos dan fakta membuat orangtua berlomba-lomba memasukkan anak ke TK agar dapat membaca, ditambah pula dengan les membaca dengan model drilling. Guru TK pun melakukan hal yang sama.
Mengajarkan baca tulis sedini mungkin dikatakan akan meningkatkan kemampuan literasi baca tulis anak secara signifikan. Dari kajian akademis, banyak riset yang menunjukkan anak-anak yang dipaksa calistung sebelum SD, hasilnya kontraproduktif dan bisa berdampak menurunnya kemampuan literasi saat dewasa nanti.
Guru membaca
Tak ingin Indonesia terus terpuruk dalam kecakapan literasi yang rendah, sejumlah praktisi pendidikan bergerak membenahi pembelajaran literasi/membaca di level SD/MI. Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Membaca (Gernas Tastaba) dengan semangat sukarelawan dimulai dengan menggelar training of training bagi guru SD/MI, Sabtu (31/7/2021). Sebanyak 20 guru dari Ambon, Pontianak, Batam, Riau, Bandung, Depok, dan Jakarta ikut pelatihan daring yang interaktif dan praktis, dimulai dengan topik bergerak membangun guru menjadi pembaca aktif.
Kompas
Murid kelas I di SD Negeri 060843 Medan Barat, Medan, Sumatera Utara, membaca mandiri buku berjenjang dari USAID Prioritas, Rabu (30/3). Kemampuan memahami isi bacaan murid pada tingkat pendidikan dasar di Indonesia dinilai masih rendah salah satunya karena minimnya buku berjenjang yang sesuai dengan usia dan kemampuan anak.
Pelatihan dimulai bukan dengan memberi guru tips untuk mengajarkan membaca. Justru, para guru di SD/MI ini dibekali lebih dahulu pemahaman pentingnya menjadi pembaca aktif. Dimulai dari membaca untuk kesenangan hingga membaca sebagai kebutuhan untuk terus menjadi guru yang mumpuni. Di sinilah guru, dengan sepenuh hati memaknai literasi dengan menjadi pembaca aktif yang dapat menggunakan kecakapan membaca untuk menggunakannya bagi peningkatan kualitas kehidupannya.
Fasilitator Dhitta Puti Sarasvati yang juga Dosen Fakultas Pendidikan Universitas Sampoerna memantik diskusi dengan pertanyaan tentang pengalaman membaca paling berkesan sejak masa kecil, dalam rangka membangun perspektif menuju pembahasan substantif tentang membaca. Guru pun bergantian membagikan kisah berkenalan degan buku dan kesenangan membaca yang ditulis di suatu aplikasi.
Ketua Presidium Gernas Tastaba Itje Chodidjah mengatakan, peran utama guru SD/MI adalah membangun alat untuk belajar. ”Itu lebih penting dari penyampaian pengetahuan (knowledge) dan konten pembelajaran,” kata Itje.
Menurut Itje, guru SD/MI berperan penting dalam memajukan literasi nasional. Peran itu harus dijalankan para guru pembaca aktif. Guru yang mau menjadi pembaca aktif akan menyelamatkan Indonesia. Anak-anak akan menghadapi perubahan cepat dan dinamis.
”Ketika mereka tidak hadir dalam kehidupan dinamis, mereka akan tertinggal. Kunci utama ya membaca. Kita bergerak bersama guru untuk mengajak anak-anak Indonesia membaca bermakna,” kata Itje.
Dhitta menambahkan, para guru SD/MI harus mengambil banyak sekali keputusan penting sebelum melaksanakan pembelajaran, karena menyangkut hal-hal krusial dari aspek kesesuaian level ataupun aspek sosial dan moral. Secara bertahap guru yang memiliki bekal sebagai pembaca aktif dibantu untuk kembali menguasai pembelajaran dasar yang mampu membangun kecakapan literasi anak yang bermakna, yang relevan untuk kehidupan.
Lenny Herlina, guru SD dari Pontianak, Kalimantan Barat, menyatakan sangat senang bisa bergabung dalam ToT Gernas Tastaba. ”Setelah melihat tujuan tadi, menyimak segala hal yang tadi didiskusikan, saya semakin termotivasi untuk terus menjadi pembaca aktif, agar bisa meningkatkan kualitas peserta didik,” tulisnya dalam ruang chat di akhir ToT perdana.
Sependapat dengan Lenny, Winyarti Lestari dari Jakarta mengemukakan bahwa guru harus mencari sumber-sumber bacaan yang relevan dan kontekstual. Selain itu, katanya, guru harus memberi keteladanan kepada siswa.