Meminta Maaf, Mudahkah?
Memaafkan tak selalu berbuah dimaafkan. Namun, setidaknya, kita perlu mengetahui cara meminta maaf secara tulus dan bisa berupaya memperbaiki kesalahan tersebut.
Menyambung tulisan Saya mengenai ’memaafkan’, beberapa bulan yang lalu, mari sekarang membahas mengenai cara meminta maaf yang lebih efektif sehingga kemungkinan besar dapat diterima.
Bagi kebanyakan orang, meminta maaf adalah bagian tersulit dari sebuah relasi personal meskipun sangat dianjurkan. Ketika meminta maaf, kita memberi tahu seseorang bahwa kita cukup dewasa untuk mengakui kesalahan dan kita menyesal telah menyakitinya. Memang, setelah meminta maaf, tidak dijamin bahwa pihak lain akan memaafkan kita.
Hal ini sejalan dengan pandangan Juliana Breines (2013), seorang psikolog sosial dan kesehatan, yang mengatakan bahwa permintaan maaf yang tulus dapat membantu menghilangkan permusuhan, mendorong pemaafan, dan memperbaiki relasi yang rusak. Namun, hal ini tidak selalu mudah didapat, kemungkinan sulit bagi kita untuk mengakui kesalahan. Umumnya, manusia diperlengkapi dengan pertahanan psikologis dan bias mementingkan diri sendiri untuk melindungi diri dari menghadapi kemungkinan bahwa kita salah, kemudian dapat menakutkan karena rentan terhadap kemungkinan penolakan. Permintaan maaf, tidak peduli seberapa tulusnya, tidak selalu menghasilkan pemaafan. Ada juga risiko bahwa orang lain tidak akan menerima permintaan maaf kita.
Kesalahan
Eileen Kennedy-Moore (di posting di Psychology Today, 2021), seorang psikolog klinis, menjelaskan bahwa ada lima jenis kesalahan permintaan maaf yang akan gagal memperbaiki relasi karena kemungkinan besar membuat orang lain merasa tidak dihargai, bahkan menjadi lebih kesal.
- Permintaan maaf yang terlalu singkat: ”Maaf, yaaa!”
Hanya mengucapkan kata ”maaf” tidak benar-benar menyampaikan penyesalan atau pertobatan. Apalagi jika disertai dengan kedipan mata, permintaan maaf yang satu kata ini mengirimkan pesan seolah-olah, ”Aku akan minta maaf karena kamu memaksa, tetapi aku tidak bersungguh-sungguh. Aku hanya ingin kau berhenti menggangguku.” Juga ucapan seperti ”Maafkan aku, oke?” adalah variasi lain dari permintaan maaf yang terlalu singkat yang pada dasarnya menuntut, ”Apakah kita sudah selesai?”
Baca Juga: Memaafkan dan Melepaskan
- Permintaan maaf dengan lanjutan kata tertentu: ”Maaf, tapi ...”
Kata ”tetapi” membatalkan permintaan maaf segera setelah diucapkan. Penekanannya jelas pada alasan, bukan penyesalan.
- Permintaan maaf yang menyalahkan: ”Maaf, Anda merasa ...”
Ini adalah contoh lain dari menghindari permintaan maaf karena berfokus pada orang lain, bukan si peminta maaf. Orang yang meminta maaf tidak bertanggung jawab atas perasaan orang lain, tetapi mereka bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri, yang mungkin memicu perasaan tersebut. ”Saya minta maaf kalau Anda merasa...” menyiratkan bahwa perasaan orang lain adalah masalahnya daripada tindakan si peminta maaf.
- Permintaan maaf yang menonjolkan diri: ”Maaf! Aku memang brengsek!”
Permintaan maaf semacam ini dengan cepat telah berganti peran. Alih-alih mengungkapkan perhatian yang tulus kepada pihak lain, hal ini membuat si peminta maaf sebagai orang yang membutuhkan penghiburan. Ini menekan orang lain untuk merespons, ”Kamu tidak brengsek!” Cara ini juga membebaskan si peminta maaf dari bertanggung jawab atas apa yang terjadi atau mencegahnya di masa depan.
- Permintaan maaf yang terlalu berulang: ”Maaf! Maafkan saya! Maafkan saya! Maafkan, yaa!"
Meminta maaf satu kali itu baik. Meminta maaf dua kali mungkin berguna untuk menekankan ketulusan penyesalan. Namun, meminta maaf lebih dari dua kali menghapus permintaan maaf tersebut. Hal ini justru mengubah permintaan maaf dari memedulikan perasaan orang lain menjadi memikirkan kesalahan si peminta maaf.
Mengenai permintaan maaf yang berlebihan, Juliana Breines (2013), seorang psikolog sosial dan kesehatan, mengatakan bahwa hal tersebut justru dapat merusak diri sendiri, menandakan keraguan diri yang berlebihan atau membuat permintaan maaf tampak tidak tulus.
Terkadang permintaan maaf dilakukan secara terlalu mudah dan sering, seperti ketika kita meminta maaf untuk hal yang jelas-jelas bukan kesalahan kita, bukan dalam kendali kita, atau sebaliknya tidak pantas untuk meminta maaf. Contohnya termasuk meminta maaf karena disakiti atas pelanggaran orang lain, meminta maaf karena terlalu sensitif, meminta maaf ketika orang lain menabrak kita, dan meminta maaf karena telah meminta maaf.
Namun, siapa pun yang mendapati dirinya meminta maaf secara berlebihan dapat mengekang perilaku tersebut dengan menerima ketidaksempurnaan, mengubah pola pikirnya, mencari dukungan, ataupun berkonsultasi dengan ahlinya.
Cara meminta maaf
Eileen Kennedy-Moore mengatakan, dibutuhkan kekuatan batin dan keberanian untuk dapat mengenali dan mengakui bahwa kita telah melakukan kesalahan dan melakukan sesuatu yang menyakiti orang lain. Dia memberikan beberapa tips tentang bagaimana menyampaikan permintaan maaf yang tulus yang menunjukkan kepedulian terhadap orang lain:
- Minta maaf sesegera mungkin agar kebencian tidak menumpuk.
- Mulailah dengan kata ”Saya”.
- Sebutkan secara spesifik tindakan yang Anda sesali.
- Akui dampak tindakan Anda kepada orang lain.
- Jelaskan apa yang Anda rencanakan untuk mencegah masalah terjadi lagi dan atau bagaimana Anda berencana untuk memperbaiki atau bergerak maju dengan cara yang lebih baik.
Kita harus berterus terang kepada diri sendiri terlebih dahulu dan menunjukkan kesediaan ingin memperbaiki hubungan.
Misalnya, Anda dapat mengatakan, ”Maaf, saya membatalkan rencana kita di menit terakhir. Saya tahu Anda berusaha keras dalam rencana itu dan pasti sangat menjengkelkan jika saya merusaknya. Bagaimana jika saya mengajakmu makan malam besok? Izinkan saya yang mentraktir.”
Lisa Esile (2016), seorang penulis buku, juga memberikan sarannya agar langkah pertama adalah mengakui bahwa kita telah menyakiti orang lain. Kita harus berterus terang kepada diri sendiri terlebih dahulu dan menunjukkan kesediaan ingin memperbaiki hubungan. Ini dimulai dengan menerima kesalahan kita. Kemudian, menjaga agar harapan kita tetap rendah. Bergantung pada seberapa buruk situasinya, mungkin kita segera dimaafkan atau mungkin ia masih perlu waktu. Kita perlu mencoba dan tidak bersikap defensif ketika giliran orang lain tersebut untuk mengungkapkan perasaannya.
Setelah meminta maaf, hindari segera menelepon kembali atau berkomunikasi dengannya. Beri dia ruang untuk memilah perasaannya. Ketika dia siap, mereka akan datang kepada kita.
Lisa Esile menjelaskan cara untuk mengetahui apakah seseorang benar-benar telah memaafkan kita, yaitu:
- Dia akan memberi tahu.
Bagi kebanyakan orang, jika kita meluangkan waktu untuk meminta maaf, mereka akan meluangkan waktu untuk memberi tahu bahwa mereka telah memaafkan.
- Dia akan menunjukkannya.
Beberapa orang tidak pandai berbicara, maka tindakan mereka akan terlihat lebih kuat. Jika mereka memaafkan, mereka mungkin mulai menelepon dan meluangkan waktu untuk bertemu kita.
- Dia tidak lagi membicarakannya.
Begitu seseorang memaafkan, kita tidak akan pernah mendengar mereka membicarakan masalah itu lagi. Ini adalah salah satu tanda pemaafan yang jelas.