Selain meningkatkan kesejahteraan masyarakat agar kemiskinan tak menjadi penyebab kawin anak, pendekatan kultural dan sosial harus dilakukan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Pandemi Covid-19 menaikkan angka perkawinan usia anak. Mencegahnya dengan tegas tidak memberi izin dan memperbaiki kondisi sosial-ekonomi.
Mengambil momentum 21 April sebagai peringatan kelahiran Raden Ajeng Kartini, salah satu simbol emansipasi perempuan yang memperjuangkan penghentian kawin usia anak, Kompas sejak Senin (19/4/2021) pekan ini melaporkan dampak pandemi pada naiknya kejadian perkawinan anak.
Pandemi Covid-19 diduga keras menyebabkan naiknya angka perkawinan anak, terutama anak perempuan. Kesulitan ekonomi menjadi salah satu alasan umum. Bahkan sebelum pandemi, orangtua menikahkan anaknya. Dampak pandemi memperburuk kondisi itu.
Dengan menikahkan anak segera, orangtua merasa terbebas dari tanggung jawab menghidupi satu anggota keluarga. Tahun 2018 Indonesia masuk dalam 10 negara dengan jumlah kawin anak absolut tertinggi di dunia.
Menikahkan anak, terutama anak perempuan, pada sebagian masyarakat kita dianggap akan melindungi anak dari hubungan seks di luar pernikahan. Setahun ketika nyaris tidak ada kegiatan sekolah bertatap muka, sebagian anak tak memiliki cukup kesibukan untuk mengalihkan kebutuhan biologis wajar mereka kepada hal lebih bermanfaat, yang biasa mereka dapatkan melalui proses belajar di sekolah.
Masih ada warga menganggap tabu anak perempuan menikah di atas usia 18 tahun. Pandangan ini memberi tekanan pada anak perempuan dan orangtua, meskipun berisiko segera terjadi perceraian.
Dampak merugikan perkawinan anak sering dikemukakan. Risiko kematian ibu melahirkan naik, begitu pula kanker mulut rahim. Bayi yang dilahirkan sebagian besar mengalami stunting (tengkes). Perempuan yang terlalu muda memiliki anak juga belum siap mengasuh anak ketika ia masih ingin bermain dengan teman-temannya.
Anak perempuan yang menikah dini rentan mengalami kekerasan dari pasangan dan orangtua. Baik anak perempuan maupun laki-laki biasanya tak dapat melanjutkan pendidikan sehingga potensi mereka tak berkembang penuh.
Bukan hanya anak kehilangan kesempatan mendapat kehidupan lebih baik dan sejahtera, negara dan masyarakat juga kehilangan sumber daya manusia yang diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kita dukung Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menjadikan pencegahan perkawinan anak sebagai gerakan masyarakat dengan melibatkan juga para pemuka agama, tokoh masyarakat, dan kepala daerah.
Ujung tombak pencegahan perkawinan anak ada pada orangtua yang memahami anak adalah anugerah dan tanggung jawab yang harus dijaga marwahnya. Kepala daerah dan tokoh masyarakat bertanggung jawab mencegah terjadi perkawinan anak.
Selain meningkatkan kesejahteraan masyarakat agar kemiskinan tak menjadi penyebab kawin anak, pendekatan kultural dan sosial harus dilakukan. Agama mana pun mengajarkan, anak adalah manusia dan karenanya hak asasi anak harus ditegakkan, termasuk melindungi dari perkawinan anak.