Papua terus dirundung gangguan keamanan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Perlu solusi, dan sepatutnya tertuang dalam revisi UU Otonomi Khusus.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Hingga Rabu (14/4/2021), serangan KKB terhadap warga sipil di Kabupaten Puncak, Papua, masih terjadi, saat seorang pengojek sepeda motor ditembak mati di Kampung Eromaga. Dua rumah warga juga dibakar. Sebelumnya, KKB membakar sejumlah sekolah di Beoga, Kabupaten Puncak. Dua guru di Beoga juga ditembak mati. KKB menuding mereka sebagai mata-mata aparat keamanan. (Kompas, 13-14/4).
Bukan kali ini saja ada gangguan KKB di Papua. Fenomena ini terus berulang. Menurut data Polda Papua, terjadi 49 gangguan keamanan oleh KKB sepanjang 2020. Teror penembakan KKB terjadi di tujuh wilayah, yakni Nduga, Intan Jaya, Paniai, Mimika, Puncak Jaya, Keerom, dan Pegunungan Bintang. Sebanyak 17 orang tewas akibat aksi KKB.
Tiga tentara dan lima warga sipil meninggal, sementara satu tentara dan seorang warga mengalami luka berat.
Pada 2021, total terjadi 10 serangan KKB yang menyebabkan aparat keamanan dan warga menjadi korban. Tiga tentara dan lima warga sipil meninggal, sementara satu tentara dan seorang warga mengalami luka berat.
Di tengah upaya pemerintah memajukan wilayah dan menyejahterakan warganya, gangguan keamanan oleh KKB menjadi ganjalan yang tak bisa diremehkan. Betapa tidak? Warga sipil, seperti guru, tukang ojek, menjadi korban tak berdosa. Bahkan, tentara dan polisi bernasib sama.
Jika tak segera diatasi, maka kegiatan warga sehari-hari, geliat ekonomi masyarakat dan derap pembangunan daerah bakal kerap terhambat. Sudah saatnya problem bertahun-tahun di Papua ini segera ditanggulangi. Terlebih lagi, di tengah pandemi Covid-19 yang jauh dari usai, Papua juga memerlukan percepatan vaksinasi, yang juga masih banyak kendala.
Seiring dengan fenomena gangguan keamanan ini, bergulir pula pembahasan revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Publik berharap, revisi UU Otsus Papua ini menjadi solusi bagi masalah di Papua, termasuk gangguan keamanan.
Oleh karena itu, tim revisi yang terdiri dari DPR dan Kementerian Dalam Negeri, diharapkan benar-benar turun ke lapangan untuk mendengar dan menyerap aspirasi warga Papua. Selain dampak Otsus Papua selama 20 tahun yang belum dirasakan meluas oleh warga, pembahasan revisi UU yang terkesan masih elitis juga perlu dihindari.
Pemerintah perlu membenahi proses komunikasi politik, yang menurut Prof Dr Ramlan Surbakti adalah proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakat, dan dari masyarakat kepada pemerintah.
Dalam komunikasi politik ini, faktor kepercayaan di antara para pihak berperan signifikan. Andai terjadi ketidakpercayaan (distrust), komunikasi politik bakal tersendat.
Harus dibangun suasana saling percaya sehingga terjadi proses komunikasi politik yang ideal. Dibutuhkan kemauan politik pemerintah dan DPR untuk mewujudkan itu. Jika tidak, problem-problem Papua tak pernah tuntas. Salah satunya, gangguan keamanan bakal terus berulang.