Kita perlu menetapkan batas-batas tentang apa yang aman dan nyaman bagi kita, dan di lain pihak, juga perlu menghormati batas-batas yang telah ditetapkan orang lain dalam hubungan dengan kita.
Oleh
KRISTI POERWANDARI
·4 menit baca
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang kita menghadapi masalah. Misalnya, kelelahan karena harus selalu pulang larut malam. Atau berulang mengalami perlakuan merendahkan dari teman. Mungkin pula kita tidak dapat berkata ”tidak” sehingga teman-teman sekelompok seenaknya menyerahkan penyelesaian tugas kelompok pada kita.
Dari media kita membaca berita tentang kejadian-kejadian yang lebih mengkhawatirkan. Misalnya, seseorang yang ditipu oleh orang yang dikenal di internet atau dianiaya oleh orang yang menumpang di rumahnya. Ada pula perempuan yang mengalami pemerkosaan oleh pacarnya sendiri dan banyak berita mengenaskan lainnya.
Yang aman dan nyaman
Dari sisi psikologi kita mengamati bahwa persoalannya ternyata sering terkait dengan sejauh mana kita mampu menetapkan batas-batas yang jelas (boundary) bagi diri sendiri dan dalam berhubungan dengan orang lain. Kita perlu menetapkan batas-batas tentang apa yang aman dan nyaman bagi kita dan di lain pihak juga perlu menghormati batas-batas yang telah ditetapkan orang lain dalam hubungan dengan kita.
Sebenarnya persoalannya sederhana dan sering terkait dengan kepantasan saja. Misalnya, apakah kita merasa nyaman jika orang yang baru kita kenal dan sedang berkunjung ke rumah menunjukkan sikap bebas dan sok akrab dengan masuk ke dalam kamar, menyalakan TV, mengambil minuman dan makanan yang ada dalam kulkas?
Bagaimana respon kita ketika teman-teman mengajak dugem hingga larut malam sementara rumah kita sangat jauh dari lokasi berkumpul? Bagaimana sikap kita ketika pacar mengaku ketinggalan dompet dan meminta kita membayar saat kencan, tetapi itu terjadi berulang? Apa yang kita lakukan ketika seseorang bersikap sok akrab dengan banyak menyentuh yang membuat kita merasa risih?
Batas-batas itu dapat terkait dengan aspek fisik, emosi, waktu, tugas atau pekerjaan, hingga yang bersifat seksual, dalam relasi dan kehidupan secara umum maupun dalam hubungan-hubungan yang lebih khusus. Intinya, tentang bagaimana kita memberi batasan yang kita anggap baik bagi diri sendiri.
Aturan atau batas bagi diri sendiri misalnya bekerja maksimal 12 jam sehari agar tetap sehat fisik dan mental; harus dapat menabung 25 persen dari pendapatan setiap bulan; atau saling menghormati dalam hubungan dengan orang lain. Jadi, ketika yang terjadi tidak sesuai dengan yang telah kita tetapkan, kita dapat mengingatkan diri sendiri untuk kembali ke batas tersebut.
Dalam kerjasama kelompok, sebaiknya dari awal dibahas apa yang perlu disepakati bersama. Misalnya, pembagian kerja, waktu kerja, mekanisme bekerjasama, kualitas hasil yang diharapkan dan seterusnya. Jadi, bila ada yang tidak menjalankan yang telah disepakati, kita dengan lebih mudah dapat menegur.
Dalam pertemanan, hal tersebut juga perlu dilakukan. Mungkin terasa aneh bila kita secara formal membahasnya. Tetapi, dalam obrolan sehari-hari ketika ada kesempatan, kita dapat mengkomunikasikan pemikiran dan perasaan kita. Hubungan khusus seperti pacaran, apalagi perkawinan, juga merupakan hal sangat penting yang dapat mengacaukan hidup kita ataupun sebaliknya memberikan kebahagiaan. Karenanya, kita perlu meninggalkan rasa sungkan dan membiasakan diri untuk mengungkapkan secara terbuka apa yang kita harapkan.
Mengenal diri
Kapan mengomunikasikan batas-batas? Sebaiknya sejak awal, agar masing-masing pihak dapat mengerti dan saling menyesuaikan diri. Juga untuk mencegah leluasanya orang-orang yang sedari awal berniat buruk dapat menjalankan rencananya. Bila pola relasi yang tidak sehat sudah telanjur terbangun, kita akan sulit sekali mengubahnya. Mencoba membahasnya saja mungkin sudah memunculkan ketersinggungan dan pertengkaran.
Sayang bahwa memahami batas-batas dan mengkomunikasikannya sering tidak mudah. Dalam budaya masyarakat kita yang kolektif, membahas batas-batas atau perjanjian bersama dapat terasa aneh, apalagi dalam konteks hubungan yang sifatnya personal. Kesannya seolah-olah kita sangat individualistik, berpikir negatif, dan tidak percaya pada orang lain.
Ternyata, kesulitan menetapkan dan mengkomunikasikan batas-batas ini seringberkait juga dengan pengalaman hidup dan kebutuhan-kebutuhan psikologis dasar kita. Bila kita dibesarkan dalam keluarga yang saling menghormati dan bersikap terbuka, kita mungkin akan lebih mudah mengkomunikasikan keinginan kita, tanpa rasa cemas, dan dengan cara yang luwes sehingga tidak perlu menyakiti pihak lain.
Dalam kerjasama kelompok, sebaiknya dari awal dibahas apa yang perlu disepakati bersama.
Sebaliknya, bila kita dibesarkan dalam lingkungan yang tidak memberikan penghargaan, banyak menilai dan menuntut, kebutuhan psikologis dasar kita untuk memperoleh penerimaan dan hubungan yang bermakna dengan orang lain tidak terpenuhi. Akibatnya kita merasa tidak percaya diri, selalu melihat diri kurang sempurna dibandingkan orang lain, dan terus mencari penerimaan dari orang lain.
Dengan latar belakang di atas, kita tidak mengerti apa yang sungguh-sungguh baik bagi kita, dan bila pun memiliki keinginan atau harapan, tidak berani menyampaikannya pada orang lain karena khawatir akan kehilangan penerimaan dari orang lain. Dalam situasi seperti itu, orang lain juga jadi kurang peka, akan bertindak semena-mena, atau dengan sengaja mengambil keuntungan dari relasi dengan kita.
Bila demikian halnya, kita perlu belajar untuk mulai lebih peduli dan mencintai diri sendiri, sehingga dapat lebih peka mengenai batas-batas yang aman dan nyaman dalam hubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kita dapat terhindar dari keputusan yang salah dan tidak telanjur terjebak masuk dalam suatu hubungan atau tindakan yang merugikan diri sendiri.