Puluhan tahun berusaha ditangani, gelandangan masih menjadi fenomena abadi di perkotaan. Perlu solusi jitu untuk mengatasi gelandangan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Kementerian Sosial mencatat, pada 2019 ada 15.995 gelandangan di Indonesia. Ketiadaan kartu tanda penduduk bagi mayoritas gelandangan membuat mereka juga kehilangan akses sebagai warga negara, seperti kesulitan mendapat bantuan sosial, akses pekerjaan formal, perumahan, hingga fasilitas kesehatan gratis.
Dari pemberitaan Kompas dalam rubrik ”Suara Tak Terdengar” awal pekan ini, terekam data bahwa gelandangan muncul akibat disparitas pembangunan di desa dan kota. Karena itu, tidak sedikit individu yang berduyun-duyun ke kota untuk mengadu nasib.
Minimnya kesempatan mendapatkan pekerjaan di perdesaan dan tingginya angka kemiskinan di desa kerap mendorong individu mencari peruntungan di kota. Badan Pusat Statistik mencatat, meski menurun dari tahun ke tahun, kemiskinan di perdesaan selalu lebih tinggi dari perkotaan dan lebih tinggi juga dari angka kemiskinan nasional.
Celakanya, banyak warga desa yang hijrah ke kota tanpa bekal pendidikan atau keterampilan yang memadai. Tak pelak, andai mereka di awal-awal bermukim di kota bisa memperoleh pekerjaan, mayoritas berupa pekerjaan kasar atau serabutan, yang semata mengandalkan kekuatan fisik.
Seiring menuanya usia, buruh-buruh kasar ini terdesak oleh kedatangan pesaing yang lebih muda.
Sebut saja buruh panggul di pasar atau pelabuhan, buruh bangunan, atau menjadi pemulung. Seiring menuanya usia, buruh-buruh kasar ini terdesak oleh kedatangan pesaing yang lebih muda. Ketersisihan inilah yang membuat orang menjadi gelandangan, juga pengemis.
Tak punya rumah, mereka berharap pada belas kasihan warga kota. Dalam konteks ini pula, gelandangan lebih banyak berada di kota, karena warga kota lebih banyak, sehingga banyak pula yang bederma.
Puluhan tahun pemerintah berusaha menangani gelandangan dengan merazia di jalanan, kemudian membina mereka di panti sosial. Efektifkah pola ini? Masih tanda tanya.
Dari penuturan sejumlah gelandangan di Jakarta, Surabaya, dan Medan, suasana di panti sosial kurang cocok dengan keseharian mereka. Bagaimana menciptakan suasana panti sosial yang kondusif dan memanusiakan warga binaan, itu tantangan tersendiri yang harus segera dijawab.
Seberapa efektif panti-panti sosial mengentaskan gelandangan, itu pertanyaan berikutnya. Ada sejumlah pelatihan di panti-panti sosial untuk warga binaan, tetapi betulkah pelatihan-pelatihan tersebut membuat mereka terentaskan?
Sangat melegakan mendengar pernyataan Menteri Sosial Tri Rismaharini, yang menegaskan bahwa program pengentasan gelandangan tidak lagi berupa proyek. Publik menunggu bagaimana implementasi kebijakan ini, mengingat negara wajib hadir menangani gelandangan, menghadirkan solusi jitu bagi masalah gelandangan. Kewajiban ini seiring bunyi Pasal 34 Ayat 1 UUD 1945, ”fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara”.