Hidup di jalan menyisakan suka-duka di antara para gelandangan. Dari sampah, mereka bisa memulung kehidupan. Namun, risiko kesehatan, kelaparan, hingga ancaman kekerasan membayangi mereka.
Oleh
Erika Kurnia/Nikson Sinaga/Agnes Swetta Pandia
·5 menit baca
Malam turun di tepi Jalan Hayam Wuruk, Jakarta. Imang (50) menggelar karton yang bakal menjadi “kasur” tidurnya. Tak lupa sarung tipis, topi kupluk, serta buff penutup kepala yang serupa senjata menjelang dinginya malam di musim penghujan.
Pria yang punya nama asli Firmansyah itu punya “kamar” dadakan di depan salah satu ruko. Tak jauh dari situ, ada laci yang dipakai bersama gelandangan lain untuk menitipkan pakaian. Untuk keperluan mandi cuci kakus, ia memanfaatkan toilet umum di sekitar lokasi.
Bagi sebagian kalangan, kehidupan Imang jauh dari rasa nyaman. Akan tetapi, urusan kenyamanan tidak ada di daftar Imang. Bila rezeki menghampirinya, Imang memilih tidak menyewa kamar kos.
"Kalau ada uang lebih, saya lebih pilih pakai untuk modal usaha. Usaha kecil-kecilan saja, entah jual masker atau mainan. Kalau tempat tinggal nanti bisa menyesuaikan," kata Imang saat disambangi di kawasan Pinangsia, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat, Senin (25/1/2021).
Jakarta yang seperti ini sudah diakrabi Imang setahun terakhir. Imang yang sehari-hari bekerja sebagai kuli panggul di pasar, mengaku tidak mau hidup terikat, terutama di panti sosial yang menjadi tempat rehabilitasi para penyandang masalah kesejahteraan sosial.
"Saya pernah dengar saja, sih, soal panti sosial itu. Kalau saya ditawari, saya nggak mau. Walaupun dapat tempat tinggal dan pelatihan, hidup jadi terikat," ujar pria yang mengaku berasal dari Surabaya, Jawa Timur tersebut.
Pekerjaan sebagai kuli panggul ia akui tidak menguntungkan, terlebih ketika aktivitas usaha masih dibatasi selama pandemi. Bekerja sejak jam 7.00 hingga 15.00, Imang mendapat penghasilan beragam. Umumnya Rp 40.000 mengisi sakunya hari itu. Kalau beruntung, Rp 100.000 diraihnya.
Pernah juga ia tidak bisa mendapatkan uang sepeser pun saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diterapkan di awal pandemi. Ia pun sampai tidak makan selama empat hari. Bantuan dari orang-orang yang tidak dikenalnya, sesekali datang dalam rupa makanan atau uang. Namun, rezeki seperti itu tidak bisa diharapkan saban hari.
Saya pernah dengar saja, sih, soal panti sosial itu. Kalau saya ditawari, saya nggak mau. Walaupun dapat tempat tinggal dan pelatihan, hidup jadi terikat.
Menanggung sakit
Kamis (28/1/2021) siang, Nur Asni Aritonang (55) berbaring di emperan toko di Jalan Mataram, Kota Medan, Sumatera Utara. Wajahnya lesu dan badannya lemas. “Saya belum makan dari pagi. Mau keluar cari botol belum kuat karena sakit kepala,” katanya.
Nur pun mengeluarkan beberapa helai daun seledri dari dalam plastik dan mengunyahnya. Ia meminta seledri dari warung karena biasanya sakit kepalanya reda setelah makan daun seledri.
Tak ada uang tersisa di kantong untuk membeli obat di warung, apalagi untuk berkunjung ke dokter. Akses mendapatkan layanan kesehatan gratis di puskesmas atau rumah sakit pun tak pernah dipunyai Nur. Salah satu penyebabnya lantaran Nur tidak punya KTP.
Sakit memang sulit dihindari oleh mereka yang hidup di jalanan. Bila badan sehat, ia memulung atau mengharapkan belas kasihan orang. Ia biasanya berjalan seharian di sejumlah pasar dan toko-toko di Kota Medan. Kala malam tiba, emperan toko di sekitar Jalan Iskandar Muda menjadi tempatnya mengistirahatkan tubuh.
Pandemi Covid-19 bukannya tidak meresahkan para gelandangan. Simon alias Penang (45), gelandangan di Kota Medan, mengaku cemas tertular virus korona baru. Apa daya, hidupnya bergantung dari jalanan. Ia hanya bisa membentengi diri dengan satu-satunya masker scuba miliknya.
Hidup Penang sehari-hari ditopang dari botol plastik bekas yang bisa dikumpulkannya dari pagi hingga malam. Paling banyak empat kilogram botol plastik mengisi karung goninya. Dengan harga jual Rp 2.000 per kilogram, sehari ia mendapat sekitar Rp 8.000. Uang itu ia gunakan untuk membeli nasi dan kuah di warung, dua kali sehari. Kalau lagi beruntung, ada orang yang memberi nasi bungkus atau uang kepadanya.
Melewati malam bukan hal yang mudah bagi Penang. Lawannya bukan hanya rasa dingin atau nyamuk yang sepanjang malam mengganggunya. “Yang lebih berat itu melawan preman atau sesama gelandangan. Saya juga harus jaga-jaga kalau ada petugas yang datang,” kata Penang.
Uang Rp 2.000 di kantong pun harus direlakan agar tidak diganggu orang lain meskipun seringkali itu uang terakhir yang ia punya.
Menggelandang juga pernah dilakoni Siti Aminah (55) di Surabaya. Wanita yang mengaku berasal dari Arsikaton, Kecamatan Pakis, Malang, ini pernah menggelandang dan tinggal di salah satu masjid di daerah Kalisari.
”Saya ke Surabaya niatnya mau cari kerja, tetapi enggak ada yang mau mempekerjakan saya. Karena itu, saya tinggal di masjid,” ucapnya.
Hidup di jalanan, tanpa jelas tempat tinggal, pun tak ber-KTP dirasanya sangat tidak enak. ”Kalau sekadar makan dan tidur tidak sulit. Cuma orang langsung mengusir ketika saya sakit. Saya beberapa kali pingsan saking tidak kuat menahan sakit,” ujarnya.
Dalam kondisi tak berdaya, Siti dibawa petugas dan dikirim ke Liponsos Keputih, Surabaya. Hingga akhir Januari, ia masih berada di Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) milik Pemkot Surabaya.
“Selama berada di sini (liponsos) sambil berobat, saya juga ikut pelatihan menjahit untuk bekal kelak kalau sudah sembuh,” ujar perempuan yang pernah juga bekerja di usaha konveksi itu.
Siti menyelipkan harapan ingin kembali ke rumahnya di Pakis, Malang dan membuka babak baru kehidupannya. Harapan yang tidak selalu sama dengan yang ada di benak gelandangan lain.
Menteri Sosial Tri Rismaharini, Minggu (31/1/2021), membenarkan perlunya perubahan cara penanganan gelandangan agar mereka tidak kembali lagi ke jalan. Salah satu yang dirancangnya adalah memperluas fungsi 41 balai yang ada di bawah koordinasi Kementerian Sosial. Warga binaan akan mendapatkan pelatihan untuk meningkatkan pendapatan. Misalnya, bikin kursi kafe, beternak lele, atau bertani hidroponik.
“Pengentasan untuk gelandangan ini tidak lagi berupa proyek. Tapi harus betul-betul mereka dientas sampai mentas,” kata Risma saat ditemui di Surabaya.