Sulitnya Mengentas dari Lingkaran Pemulung
Jerat kemiskinan, minim akses, dan tiadanya pendidikan bertautan membentuk jaring kehidupan di antara pemulung. Mereka pun sulit beringsut dari kondisi yang dialami saat ini.
JAKARTA, KOMPAS — Para pemulung di kawasan Rawadas, Pondok Kopi, Duren Sawit, Jakarta Timur, mengaku kesulitan mengentaskan diri dari jerat kemiskinan kehidupan pemulung. Kini, anak-anak di sana mulai mengikuti jejak orangtua sebagai pemulung karena kesulitan menjangkau akses pendidikan.
Dua puluh tiga tahun lalu, Nenkin (31) harus menerima pil pahit lantaran kedua orangtuanya memutuskan untuk berpisah. Dia yang masih berusia 8 tahun kemudian diboyong oleh sang nenek dari tempat kelahirannya di Karawang, Jawa Barat, menuju Jakarta.
Di Jakarta, Nenkin dibesarkan oleh neneknya yang saat itu bekerja sebagai pemulung. Singkat cerita, Nenkin yang tidak pernah duduk di bangku sekolah mengikuti jejak sang nenek sebagai pemulung hingga saat ini. Bersama istri dan satu putranya, dia kini tinggal di permukiman pemulung RT 002 RW 03 Rawadas.
”Awalnya saya mulung di kawasan Kranji, Bekasi, tapi kemudian digusur. Setahun lalu baru pindah kemari (Rawadas),” ujarnya saat ditemui pada Jumat (29/1/2021) siang.
Baca juga : Pemulung Terjerat Utang dan Balas Budi
Lingkaran pemulung di keluarga Nenkin kini hampir dipastikan berlanjut mengingat putranya, Fahri (11), kini sudah mulai mengikuti jejak sang ayah. Sering kali, Fahri mengais rongsokan di pinggir jalan dengan sukarela. Meskipun Nenkin biasa bergerilya mulai pukul 22.00, semangat Fahri tidak mengendur.
Bahkan, beberapa kali Fahri memutuskan untuk berangkat memulung sendiri tanpa didampingi sang ayah. Dia berangkat bersama teman-teman sebayanya yang juga merupakan anak-anak pemulung di daerah Rawadas.
”Sering berangkat sendiri bawa karung malam-malam. Dia sama teman-temannya. Kalau dilarang, dia marah-marah,” ujar Nenkin.
Sebagai seorang ayah, Nenkin mengaku tidak ingin putranya bernasib sama seperti dirinya. Dia ingin Fahri bisa mengenyam pendidikan setinggi-tingginya dan meninggalkan dunia pemulung. Namun, sulit bagi Nenkin untuk mewujudkan harapan tersebut. Kondisi ekonomi yang sulit memaksanya untuk pasrah.
Di sisi lain, istri Nenkin, Fitri (21), dan Fahri hingga kini juga sama-sama tidak memiliki KTP maupun kartu keluarga (KK) dari daerah asal. Saat datang ke Jakarta, Nenkin tidak membawa dokumen apa pun. Dia juga enggan mengurus KTP Jakarta karena prosesnya sulit.
”Pernah waktu itu mau ngurus KTP, tapi biayanya mahal. Buat ngurus pindah domisili di kampung dan bikin KTP sampai ratusan ribu. Kalau buat bayar itu, kami bisa-bisa enggak makan,” tambah Nenkin.
Baca juga : Di Emperan Toko, Mereka Menanti Belas Kasih Warga
Memiliki KTP Jakarta sebenarnya membuka peluang bagi sang putra untuk mengenyam pendidikan SD gratis di Jakarta. Selain itu, sang anak juga bisa mendaftar sebagai penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP). Di usianya yang sudah menginjak 11 tahun, Fahri seharusnya duduk di bangku kelas V SD.
Ketiadaan KTP dan KK juga menambah runyam beban Nenkin dan istri selama pandemi Covid-19. Selama hampir satu tahun ini, keduanya tidak pernah mendapatkan bantuan sosial dalam bentuk apa pun dari pemerintah. Padahal, secara ekonomi, mereka sangat terdampak pandemi.
”Dua kali saya diangkut polisi disuruh pulang. Enggak boleh mulung karena pandemi. Kompleks-kompleks juga ditutup untuk pemulung. Akhirnya nyari barang susah. Biasanya saya nyari dari jam 10 malam sampai jam 12 malam, sekarang baru pulang jam 8 pagi buat dapat hasil yang sama,” ungkap Nenkin.
Pernah waktu itu mau ngurus KTP, tapi biayanya mahal. Buat ngurus pindah domisili di kampung dan bikin KTP sampai ratusan ribu. Kalau buat bayar itu, kami bisa-bisa enggak makan.
Pentingnya pendidikan
Permasalahan kompleks keluarga pemulung mendapatkan perhatian serius dari Yayasan Education, Religion, Bee, Entertainment (ERBE) yang berlokasi tidak jauh dari lokasi permukiman pemulung di Rawadas. Setidaknya sudah sekitar empat tahun, yayasan yang diketuai oleh Abdul Rahman ini mencoba menyadarkan keluarga pemulung akan pentingnya pendidikan bagi anak-anak.
Meski begitu, usaha yang dilakukan Abdul sama sekali tidak mudah. Beberapa kali dia harus menghadapi perlawanan dari orangtua pemulung yang masih berpikir praktis. Mereka hanya ingin anak mereka bisa membantu menghasilkan uang saban hari. Salah satunya dengan ikut memulung.
”Tidak mudah. Banyak orangtua yang menanyakan balik saat anaknya diajak belajar. Katanya, kalau diajak belajar dapat apa,” ungkapnya.
Saat ini, Yayasan ERBE telah mendirikan setidaknya tiga rumah belajar bagi anak-anak pemulung. Setiap Senin-Kamis sore, rumah belajar ini mewadahi anak-anak pemulung untuk mengaji. Pada Sabtu dan Minggu, sukarelawan Yayasan ERBE yang terdiri dari mahasiswa dan karyawan swasta memberikan bimbingan belajar untuk anak-anak.
Meski begitu, perlu strategi yang jitu untuk menarik anak-anak pemulung ini bergabung ke rumah belajar tersebut. Salah satunya dengan membagikan bingkisan kepada anak-anak seusai belajar.
”Bingkisan ini untuk memancing anak-anak pemulung. Kalau enggak ada itu, susah. Biasanya kami juga buat program sembako gratis untuk menarik minat orangtua pemulung,” tutur Abdul.
Menurut Abdul, anak-anak pemulung harus dirangkul agar bisa terlepas dari belenggu kemiskinan. Jika tidak, mereka akan berpotensi menimbulkan masalah sosial baru. Anak-anak pemulung tidak hanya mengikuti jejak orangtua memulung, tetapi bisa juga menjadi ”manusia silver”, mengamen, hingga mengemis.
”Mimpi kami adalah membuat sekolah gratis untuk pemulung. Namun, kami butuh dukungan dari banyak pihak. Semoga rumah belajar ini bisa menjadi embrionya,” ujar Abdul.
Pendamping Yayasan ERBE, Adi Supriyadi (43), menambahkan, di saat-saat tertentu, seperti bulan Ramadhan atau Idul Fitri, para pemulung biasanya memberdayakan anak-anak mereka yang ditinggal di kampung halaman. Anak-anak tersebut sengaja diboyong ke Jakarta untuk ikut memungut rongsokan. Harapannya, menarik simpati para dermawan.
”Anak-anak ini sengaja disuruh bawa karung, kemudian mulung di pinggir jalan. Tujuannya mencari sedekah dari orang-orang yang iba,” katanya.
Yayasan ERBE mencatat, permukiman warga di Rawadas dihuni oleh sekitar 700 keluarga. Mereka bermukim di rumah-rumah bedeng di sekitar lapak pengepul. Permukiman mereka berbatasan langsung dengan Tempat Pemakaman Umum Pondok Kelapa.
Adi yang selama ini tinggal di tengah-tengah permukiman pemulung memperkirakan hanya ada sekitar 3 persen penduduk di sana yang sudah mengurus perpindahan KTP Jakarta. Berdasarkan penilaian yang dia lakukan, mereka berusaha mengurus KTP tersebut agar anak mereka bisa mengakses sekolah gratis. Hanya saja, masih ada 90 persen lebih warga pemulung yang belum memiliki pola pikir yang sama.