Pemulung Terjerat Utang dan Balas Budi
Walaupun turut menjaga kebersihan kota, nasib baik belum tentu menghampiri pemulung. Jerat utang membuat mereka tidak leluasa bergerak. Belum lagi keterbatasan pilihan untuk mendapatkan penghidupan.
Meski menjadi garda terdepan, pemulung secara finansial berada di peringkat bawah rantai bisnis sampah. Panjangnya rantai bisnis membuat mereka sulit keluar dalam jerat kemiskinan. Ditambah lagi, hubungan emosional yang kuat dengan pemilik lapak membuat pemulung dilanda dilema ketika hendak mengikuti program yang memungkinkan mereka meningkatkan kesejahteraan.
Omah (57), pemulung di Kampung Sawah, Bintara Jaya, Bekasi Barat, Jawa Barat, memulai karier sebagai pemulung di usia senja. Dia baru setahun menjalani pekerjaan ini.
Dia melarikan diri dari kampungnya di Karawang, Jawa Barat, setelah tak sanggup lagi membayar utang. Sebagai buruh tani, pendapatannya tak seimbang dengan pemasukan. Dia meminjam ke beberapa orang di kampungnya. Lama-lama, utang itu mencapai Rp 15 juta rupiah dan dia tak mampu lagi membayar.
Lalu, salah seorang pemilik lapak di Kampung Sawah, Munah (56), menawarkannya pekerjaan. ”Mak langsung ikut saja. Si bos ini tetangga di kampung. Karena di kampung udah dicari sama orang untuk membayar uang yang dipinjam, makanya kabur ke sini,” katanya, Kamis (28/1/2020) sore.
Setahun bekerja sebagai pemulung, perekonomian perempuan yang sudah berpisah dengan suami ketiganya ini tak kunjung membaik. Jika pemulung lain bisa menimbang barang sekali seminggu, Omah hanya sanggup menimbang barang sekali sebulan. Uang yang didapat pun hanya Rp 100.000. Sementara, utang kepada si bos bisa Rp 300.000 per bulan.
”Setiap bulan tekor terus. Ini sudah ngutang Rp 300.000 sama bos. Mak juga sering sakit, gak kuat mulung tiap hari,” katanya.
Dengan berurai air mata, Omah berharap bisa kembali ke kampung halaman. Dia tak kuat memulung tiap hari. Namun, ada utang yang mesti dilunasi.
”Mak lihat di televisi ada artis Baim Wong suka bantu orang. Mak ingin Ketemu Baim Wong. Supaya dia bisa bantu lunasin utang dan Mak bisa pulang lagi ke kampung,” ujarnya, sambil menangis.
Munah, pemilik lapak yang menjadi bos Omah, menjelaskan, dia menyewa lahan seluas 400 meter persegi dengan harga sewa Rp 200.000 per bulan. Dia saat ini mempunyai tiga karyawan, termasuk Omah.
Sebelas tahun lalu, dia, suami serta empat anaknya berangkat ke Kampung Sawah karena sulitnya hidup di Karawang. Setelah empat tahun ikut pemilik lapak, Munah dan suami akhirnya membuka lapak sendiri. Saat itu, dia punya modal Rp 20 juta.
”Dulu sebelum punya lapak, kalau barang-barang seperti mainan dari plastik itu untuk makan sehari-hari. Terus, uang dari plastik dan kresek untuk simpanan. Makanya bisa buka lapak sendiri,” ujarnya.
Baca juga : Pemulung yang Memulung Ketekoran Saban Hari
Munah sempat punya 11 anggota di tahun 2019. Mereka semua berasal dari Karawang, baik pemulung yang pindah dari lapak lain maupun pemulung baru yang baru datang dari kampung.
Jika merekrut orang dari lapak lain, Munah harus melunasi utang pemulung itu dulu sama bos lamanya. ”Kalau langsung diambil saja, pasti ribut sama bos lamanya,” jelasnya.
Salah satu kelebihan merekrut pemulung senior adalah Munah tak perlu mengajari mereka lagi. Ini berbeda dengan pemulung baru yang harus diantar dulu beberapa kali sebelum bisa memulung secara mandiri. Namun, tantangannya adalah melunasi tagihan.
Menurut dia, semakin banyak anggota, semakin pusing mengelola usaha. ”Kadang maunya uang makan dibanyakin, tetapi nyari barang malas. Kan, tekor terus jadinya tiap bulan,” katanya.
Kini, anggota di lapak Munah tersisa tiga orang. Sementara delapan anggota lainnya ada yang pindah ke lapak lain dan ada pula yang kembali ke Karawang.
Agus Maulana (20) atau Adun, pemulung lainnya di kawasan itu, menjelaskan, satu-satunya solusi saat ada kebutuhan mendesak adalah berutang. Ini karena mereka tak punya tabungan. Beberapa bulan lalu, adik bungsunya lahir. Ayahnya pun ”menyekolahkan” BPKB sepeda motor keluarga untuk biaya melahirkan.
”Kami pinjam Rp 7 juta. Setelah dipotong administrasi, dapatnya Rp 5 juta. Angsuran per bulan Rp 650.000 dalam jangka waktu satu tahun,” ujar pria yang sekolah hingga kelas II SMP ini.
Baca juga : Panti Sosial Belum Membuat Nyaman Gelandangan
Adun menimbang barang hasil pungutan setiap minggu. Dia mendapat Rp 200.000. Sebagian dia kasih ke ayahnya untuk membayar cicilan utang. Sisanya dia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
”Di sini kalau rajin mah ada saja rezeki. Kadang bantuin orang ngangkut sampah, dapat Rp 20.000. Di sini tetangga juga orang kampung semua. Jadi kalau gak ada nasi di rumah, bisa makan di rumah tetangga,” katanya.
Bagi Adun, hidup sebagai pemulung di Bekasi lebih baik dibanding bekerja di kampung halaman. Sebagai pekerja muda yang tak lulus SMP, tak banyak pekerjaan yang tersedia di kampung. Peluang pekerjaan hanya ada di sawah.
”Sekarang panen rata-rata sudah pakai mesin, jadi gak butuh banyak orang lagi untuk panen. Mending di sini saja,” katanya.
Baca juga : Memperpanjang Napas Pemulung yang Ngos-ngosan
Kampung Sawah yang berada di sekitar RT 001/008 ini seperti kompleks pemulung. Di kawasan ini, ada sejumlah pemilik lapak dengan anak buah yang rerata berasal dari Karawang. Ada pula pemulung mandiri yang tak terikat dengan pemilik lapak. Bangunan semipermanen mendominasi kawasan. Pemandangan sekitar adalah gundukan sampah, sebagian sudah disortir, sebagian lagi masih dikerubungi lalat.
Kawasan yang berada di dekat rawa ini rentan banjir. Di gubuk yang ditempati Omah, misalnya, banjir bisa setinggi pinggang jika hujan lebat. Tak heran, tempat tidurnya berada lebih dari 1 meter dari lantai.
Sepuluh tahun lalu, Yayasan Balarenik pimpinan Agusman masuk ke kawasan ini. Di tahun awal, Agus menyasar anak-anak pemulung. Program utamanya adalah mengurus identitas mereka.
”Banyak di antara mereka yang tak punya akta kelahiran sehingga mereka sulit mengakses pendidikan dan layanan kesehatan,” ujar Agus, ketika ditemui di Rumah Singgah Balarenik di Kampung Sawah.
Rumah Singgah Balarenik dibangun oleh donatur tiga tahun lalu. Sebelumnya, yayasan berkegiatan di salah satu mushala di tempat itu. Setiap pagi, anak-anak bisa belajar jarak jauh dari rumah singgah. Yayasan menyediakan 15 gawai yang bisa digunakan anak-anak.
Selama Juni-September, yayasan turut mengoordinasikan sembako bagi 150 kepala keluarga pemulung. Yayasan membantu pemulung yang kesulitan mendapat sembako lantaran alamat domisilinya di luar Bekasi.
Terkait pemberdayaan ekonomi, yayasan bekerja sama dengan donatur pernah menyediakan peralatan bagi 20 kepala keluarga yang ingin beralih kerja. Targetnya adalah mengubah profesi mereka dari pemulung ke profesi lain, seperti menjahit. Namun, program ini tak berjalan lancar karena minimnya pendampingan.
”Terkait pemberdayaan ekonomi, memang belum banyak yang bisa dilakukan. Sebab, banyak masalah juga yang muncul. Misalnya, mereka kan harus memulai dari awal untuk konteks alih usaha. Ditambah lagi menyediakan pasar untuk produk juga sulit. Karena dalam prosesnya minim pendampingan, ya wasalam,” katanya.
Di tahun 2015, dia melanjutkan, yayasan pernah mempunyai usaha cacah plastik di Karawang. Yayasan pun menawarkan ke 150 keluarga dampingan untuk menjual barang langsung ke yayasan. Harapannya, pemulung mendapat nilai jual lebih besar dibanding menjual ke pemilik lapak.
”Secara logika, mereka menerima solusi kami. Tapi ada rasa tidak enak terhadap pemilik lapak kalau langsung menjual barang ke kami. Di sisi lain, pemilik lapak juga merasa kami mengganggu usahanya,” jelasnya. Akhirnya, usaha cacah plastik yayasan hanya berjalan dua tahun dan berhenti 2017.
Dia melanjutkan, antara pemilik lapak dan pemulung tercipta hubungan patronasi. Pemilik lapak tak sekadar bos, tetapi juga orang yang membawa pemulung dari kampung halaman. Ada ikatan emosional yang terbangun. Oleh sebab itu, tak mudah bagi pemulung untuk langsung meninggalkan pemilik lapak dan beralih ke jalan lain.
Di sisi lain, rantai bisnis usaha sampah terlalu panjang, yakni pemulung-lapak-pengepul-perusahaan cacah plastik-lalu ke perusahaan biji plasik. Pihak yang secara struktur berada di atas pemulung relatif tidak bermasalah jika terjadi fluktuasi harga. Sebab, mereka selalu mendapat marjin dari setiap transaksi.
”Bagi pemulung, ketika harga komoditas jatuh, akan langsung berdampak terhadap kehidupan mereka,” ujarnya.
Berangkat dari gambaran di Kampung Sawah, Agus menawarkan beberapa solusi untuk pemberdayaan pemulung. Pertama, mengembalikan pemulung ke kampung halaman. Solusi ini membutuhkan kesiapan pemerintah daerah dan multipihak untuk menyediakan lapangan pekerjaan ketika di kampung.
Selanjutnya, pemulung tetap berkegiatan di kota-kota besar, tetapi disediakan tempat khusus oleh pemerintah dibantu swasta. Selama ini, kata Agus, pemulung tinggal di tanah garapan yang tak jelas pemiliknya atau menempati tanah milik negara. Mereka rentan digusur dan dicap sebagai pemukim ilegal.
Setelah menempatkan pemulung di lokasi tertentu, langkah selanjutnya adalah membangun usaha limbah sampah yang terorganisasi. Akses keuangan untuk pemulung diperkuat dengan membentuk koperasi. Dengan demikian, mereka bisa keluar dari jerat rentenir.