Gelandangan Belum Optimal Tertangani
Pencegahan gelandangan agar tidak kembali hidup di jalanan, tak bisa dilakukan dengan satu langkah seragam. Pemetaan atas problematika gelandangan perlu dilakukan lebih detail.
JAKARTA, KOMPAS – Kurang optimalnya negara mengurus sebagian warganya turut melanggengkan keberadaan gelandangan. Warga yang tak memiliki hunian dan tidak punya pekerjaan tetap ini masih terlihat mengais hidup di tengah-tengah padatnya kota besar di Indonesia.
Kementerian Sosial mencatat, pada 2019 ada 15.995 orang gelandangan di Indonesia. Ketiadaan kartu tanda penduduk (KTP) bagi sebagian besar gelandangan membuat mereka juga kehilangan akses sebagai warga negara. Mereka kesulitan mendapatkan bantuan sosial, akses pekerjaan formal, perumahan, hingga fasilitas kesehatan gratis.
Simon alias Penang (45), gelandangan di Kota Medan, Sumatera Utara, mengaku tidak punya KTP. Alhasil, fasilitas dan hak yang bisa didapatkan warga negara tak bisa diaksesnya. Bantuan sosial dari pemerintah selama pandemi Covid-19 tak mampu diraihnya. Begitupun akses ke fasilitas kesehatan.
“Kalau sakit, ya saya beli obat saja di warung,” kata Penang yang sudah 10 tahun menggelandang ini, Kamis (28/1/2021).
Serangan Covid-19 pun meresahkan Penang. Apa daya, ia hanya bisa membentengi diri dengan satu-satunya masker scuba miliknya.
Baca juga : Memulung Nasib di Emperan Toko
Pasangan suami-istri Soleh dan Mak Nur, gelandangan di Jakarta, mengaku pernah didatangi petugas. ”Mereka enggak ngusir sih, cuma minta kami urus KTP dan KK (kartu keluarga). Dokumen-dokumen kami soalnya sudah hilang karena kebakaran beberapa tahun lalu. Mau urus, enggak ada uang,” ujar Mak Nur saat ditemui Senin (25/1/2021).
Tidak adanya dokumen atau surat kependudukan membuat pasangan asal daerah transmigrasi di Lampung itu tidak pernah mendapatkan bantuan sosial, terlebih selama masa pandemi Covid-19. Padahal, pasangan pemulung ini menggelandang sejak pandemi.
Baca juga : Kisah Abadi Gelandangan di Tengah Gemerlap Kota Medan
Peneliti tentang gelandangan dan pengemis, Engkus Kuswarno, mengatakan, adanya gelandangan karena ketidakmampuan negara mengurus sebagian warganya.
"Warga bermasalah berarti ada peran pemerintah yang tidak bisa mengelola dengan baik," ujar guru besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran ini, Rabu (27/1/2021).
Baca juga : Pengembara Jalanan, Penjaga Kebersihan Kota
Menurutnya ada beberapa hal yang luput dari perhatian pemerintah dalam menangani gelandangan. Pelatihan dalam rehabilitasi sosial belum tentu menjamin keberlangsungan hidupnya.
"Mereka (gelandangan) juga homo ekonomikus yang punya kebutuhan. Tidak heran, mereka akan menghitung mana yang lebih menguntungkan. Di jalanan, kebutuhan harian tercukupi ketimbang hasil pelatihan seperti memijat, bengkel, atau lainnya yang sekarang terpukul pandemi," kata Engkus.
Ekonom Institute Development for Economics and Finance (Indef), Media Wahyudi Askar, berpendapat, fenomena gelandangan bukan isu baru. Namun, tingginya jumlah gelandangan ini mendesak pemerintah membuat kebijakan yang tepat sasaran dengan beragam pendekatan.
"Misalnya, untuk menangani mereka yang menjadi gelandangan sebelum pandemi dan setelahnya akan berbeda. Belum lagi terkait usia, antara gelandangan yang masih di usia produktif dan lanjut usia (lansia) juga perlu dibedakan," ucap peneliti isu kemiskinan ini.
Baca juga : Di Emperan Toko, Mereka Menanti Remahan Belas Kasih Warga
Adapun panduan untuk menangani bahkan mencegah masalah kesejahteraan sosial, termasuk gelandangan, sudah disediakan di banyak undang-undang. Pemerintah daerah seperti halnya Pemda DKI Jakarta juga memiliki Peraturan Daerah Provinsi Khusus Ibukota Jakarta Nomor 4 Tahun 2013 tentang Kesejahteraan Sosial.
Peraturan daerah itu, kata Media, dapat menyasar gelandangan dengan syarat harus ada upaya identifikasi untuk menentukan bentuk penanganan. Untuk itu, perlu banyak petugas dinas sosial yang turun ke lapangan untuk mendata sampai merehabilitasi.
"Contoh, gelandangan yang punya dasar pendidikan SD atau SMP setidaknya bisa diajarkan keterampilan berwirausaha. Kalau lansia, mungkin mustahil diajarkan keterampilan," tutur Media.
Ubah pola penanganan
Menteri Sosial Tri Rismaharini, Minggu (31/1/2021), membenarkan perlunya perubahan cara penanganan gelandangan agar mereka tidak kembali lagi ke jalan. Salah satu yang dirancangnya adalah memperluas fungsi 41 balai yang ada di bawah koordinasi Kementerian Sosial.
“Pengentasan untuk gelandangan ini tidak lagi berupa proyek. Tapi harus betul-betul mereka dientas sampai mentas,” kata Risma saat ditemui di Surabaya.
Ia mengatakan, gelandangan dan PMKS yang dibina di 41 balai itu akan mendapatkan pelatihan untuk meningkatkan pendapatan. Misalnya, bikin kursi kafe, beternak lele, atau bertani hidroponik.
Selama mengasah keterampilan di balai, gelandangan dan PMKS bisa mendapatkan pemasukan dari hasil keterampilan yang mereka lakukan. Pemasukan ini menjadi tabungan bagi PMKS bila kelak akan membuka usaha sendiri atau mendapatkan tempat tinggal.
Baca juga : Penanganan Gelandangan Belum Sentuh Akar Persoalan
Terkait administrasi kependudukan, Risma mengatakan, sebagian gelandangan dan PMKS sudah mendapatkan KTP dari dinas dukcapil setempat. “Yang susah itu kalau mereka nggak punya alamat. Disdukcapil nggak bisa cetak KTP,” katanya.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria, kepada Kompas, Minggu (31/1/2021), mengatakan, Pemprov DKI menjalankan beberapa program pelayanan terhadap gelandangan. Pertama, dengan mengoptimalkan program penjangkauan atau penertiban gelandangan melalui Forum Kerjasama Mitra Praja Utama di bidang kesejahteraan sosial. Kedua, melakukan penanganan bersama memulangkan gelandangan di Jakarta ke daerah asal.
"Ketiga, dengan program yang berkelanjuan, Pemprov menumbuhkan kesadaran masyarakat agar tidak berspekulasi datang ke Jakarta ketika tidak ada keterampiln yang memadai, jaminan pekerjaan, jaminan tempat tinggal, dan lainnya, kendati Jakarta bukan kota yang tertutup," jelasnya.
Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial Kabupaten Malang, Retno Tri Damayanti, Senin (25/1/2021), mengatakan, dari hasil operasi, jumlah gepeng di wilayahnya setiap tahun rata-rata 50-100 orang. Sebagian besar menggelandang karena alasan ekonomi. Sedang lainnya akibat masalah keluarga.
“Alasan klise, ekonomi. Sudah mendarah daging. Sebenarnya ada pekerjaan yang bisa mereka lakukan, tetapi kembali lagi kepada mental. Mereka beranggapan ‘Begini saja (di jalan) sudah dapat duit’ mengapa harus kerja. Penghasilan mereka bisa di atas Rp 100.000 per hari,” katanya.
Sejauh ini, di Kabupaten Malang belum ada shelter yang digunakan untuk menampung gelandangan dan pengemis. Mereka yang terjaring razia dirujuk ke Balai Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyandang PMKS milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur di Sidoarjo.
Kementerian Sosial dan pemda juga merintis program Desaku Menanti di sejumlah kota. Salah satunya di Dusun Baran, Desa Tlogowaru, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Kampung yang mengambil tema kampung topeng ini diresmikan tahun 2018 ini dihuni 35 keluarga yang merupakan eks gelandangan, pengemis, dan PMKS lain.
Awalnya, Kampung Topeng Desaku Menanti diproyeksikan sebagai tempat tujuan wisata. Apa daya, pandemi memukul sektor pariwisata sehingga kunjungan wisata ke lokasi ini juga merosot tajam.
”Situasi ini membuat satu-dua dari mereka terkadang kembali ke jalan. Lebih karena situasi,” kata Pembina Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) Insan Sejahtera—yang mendampingi Kampung Topeng Desaku Menanti—Sri Wahyuningtyas.
Kepala Dinas Sosial Pemerintah Kota Medan Endar Sutan Lubis mengatakan, jika gelandangan dan pengemis tidak punya keluarga, kata Endar, pemerintah akan melakukan pembinaan di panti tuna yang dikelola Pemprov Sumatera Utara maupun Kementerian Sosial. Namun, sebagian besar gelandangan memilih langsung keluar panti. Petugas pun tidak bisa memaksa mereka tetap tinggal di panti.
“Banyak gelandangan yang mengaku tidak punya keluarga dan tidak punya KTP. Setelah dicek, ternyata mereka punya rumah, KTP, dan keluarga di kampung halamannya. Namun, mereka memilih hidup di Medan untuk mendapat penghasilan yang lebih baik,” kata Endar.
Persoalan lain yang dihadapi Pemko Medan adalah terbatasnya petugas yang memantau aktivitas gelandangan dan pengemis di Kota Medan. Dinas Sosial Pemko Medan hanya punya satu tim patroli dengan 15 orang personel.
(WER/ETA/GER/SON)