Mensos: Pengentasan Gelandangan Tidak Lagi Berupa Proyek
Menteri Sosial Tri Rismaharini mempunya sejumlah rencana untuk menangani gelandangan di Indonesia. Simak wawancaranya.
Oleh
Agnes Swetta Pandia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengentasan gelandangan menjadi salah satu agenda Kementerian Sosial. Berdasarkan data Kemensos tahun 2019, tercatat 15.995 gelandangan di seluruh Indonesia. Dua daerah dengan jumlah gelandangan terbanyak adalah Jawa Timur dan Sumatera Utara. Di ibu kota DKI Jakarta, gelandangan pun masih marak ditemui.
Kepada Kompas, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Minggu (31/1/2021), menjelaskan sejumlah hal terkait langkah Kemensos menangani persoalan ini.
Kompas (K) : Bagaimana upaya menangani gelandangan agar mereka tidak kembali ke jalan?
Risma (R) : Harus ada perubahan mendasar.
Yang saya lihat, pemulung di Jakarta itu bekerja dari malam sampai pagi. Jadi, kalau dibilang mereka malas, ya enggak. Mereka cari uang, berangkat malam, nanti pulang pukul 4-5 pagi. Pagi tidur. Makanya, kalau mereka kecapekan, ya tidur di mana saja.
K : Mereka punya tempat tinggal?
R : Enggak punya. Saya matur (mengatakan kepada) Pak Presiden, nanti ada balai-balai kami—ada 41 balai di beberapa tempat, terutama kota besar—saya kasih rumah susun. Mereka yang enggak mempunyai rumah bisa tinggal di situ sambil kita treatment.
Kami juga mendapat dua rusun dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) di Bekasi dan Pasar Rebo. Itu untuk menampung yang homeless. Kalau dia (gelandangan) sudah begitu, dia ada di suatu tempat, mendapat treatment agar ada peningkatan pendapatan.
Di balai, mereka ya tetep mulung. Saya sudah mengambil sampah dari beberapa kementerian, nanti mereka pilah. Mereka mulung. Yang tua-tua masih mulung. Namun, mulung cuma beberapa waktu, lalu kami ajari beternak lele, merawat sayuran, hidroponik, ayam petelor. Hasilnya dijual dan untuk mereka. Nanti, mereka enggak perlu mikir makan karena kami sediakan makan tiga kali sehari.
Ke depan, kami juga akan membuat rusun serupa di penyangga kota-kota besar agar enggak semua ke Jakarta. Ini untuk menahan laju urbanisasi.
K : Mereka mau tinggal selamanya di kota ataukah ada yang mau pulang kampung?
R : Ya, kalau minta pulang kampung, ya kami antar pulang kampung. Kemarin, ada yang minta pulang kampung, ya kami antar pulang.
Barangkali, kalau mereka sudah mempunyai uang, bisa mengarah ke pulang kampung. Sebab, uang (yang terkumpul selama pelatihan di balai) relatif utuh.
K : Apakah gelandangan juga mendapatkan bantuan sosial di masa pandemi Covid-19 karena mereka enggak mempunyai dokumen?
R : Kemarin, ada yang bisa mendapat kartu identitas. Kami bekerja sama dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setempat. Di situ diadakan perekaman data. Mereka yang dulu sudah rekam data, tinggal cetak KTP.
Ini semua akan kami lakukan di kota besar. Akan kami fasilitasi.
Bulan Februari, ada 156 orang (yang mengurus perekaman data), yang bisa cetak KTP 50-an orang.
Yang lain enggak mempunyai alamat, itu repot karena di dukcapil enggak bisa memproses untuk bikin KTP. Kami mau titipkan alamat mereka di tempat bos lapak di kampung pemulung, tetapi harus akses ke ketua RT dan RW. Cuma RT-RW mau atau enggak?
K : Bagimana langkah Ibu agar kebijakan ini tidak berubah kalau ganti pemerintahan?
R : Kalau tahun depan, mereka ada rumah dari Kementerian PUPR, mereka sudah di situ. Kalau ini berhasil, yang lain pasti kepingin. Masak pemerintahan enggak meneruskan?
Akan banyak rusun dibangun.
Balai yang ada juga akan diperkuat sebagai balai pelatihan. Mereka akan dibekali (keterampilan). Kami bisa buka bengkel di balai dan mereka bisa bekerja di situ. Sebentar lagi juga kami buka sentra kuliner untuk 30 orang. Kalau ada pendapatan, mereka bisa mempunyai tabungan untuk someday mempunyai rumah sendiri.
Balai itu bukan saja untuk gelandangan, melainkan juga untuk pemulung, korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), anak jalanan, dan warga lansia telantar.
K : Gelandangan di Indonesia itu banyakkah?
R : Enggak banyak sebetulnya. Yang banyak itu gelandangan psikotik.