Pesatnya perkembangan ”fintech” dan munculnya wacana neobank memperlihatkan mendesaknya kebutuhan agar institusi perbankan semakin memperhatikan kenyamanan nasabah dalam menggunakan layanan.
Oleh
YOSEA ISKANDAR
·4 menit baca
Kenyamanan dalam menggunakan aplikasi keuangan digital membuat financial technology (fintech) menjadi cepat populer. Fintech berhasil menembus pasar layanan sistem pembayaran dan pendanaan yang sebelumnya dikuasai perbankan dengan tawaran lebih cepat, murah, mudah.
Di tengah migrasi nasabah perbankan ke fintech, berembus wacana baru bernama neobank, yaitu perusahaan yang memiliki izin beroperasi sebagai bank, tetapi sepenuhnya dijalankan secara digital. Dengan teknologinya, neobank tidak membutuhkan kantor cabang ataupun anjungan tunai (ATM) sendiri.
Sekalipun saat ini pendirian di Indonesia belum dimungkinkan secara peraturan, neobank dapat menimbulkan ancaman bagi perbankan konvensional. Apakah neobank akan menggantikan peran perbankan di masa depan? Belum tentu, tergantung kesiapan bank menghadapi tantangan.
Di tengah migrasi nasabah perbankan ke fintech, berembus wacana baru bernama neobank.
Menghimpun dana
UU Perbankan mendefinisikan bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali ke masyarakat. Sesuai fungsi intermediasinya, bank diharapkan dapat mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat dan memahami apa yang masyarakat inginkan. Hal ini penting agar keberadaan bank tetap relevan.
Kesuksesan fintech menunjukkan bahwa masyarakat membutuhkan kenyamanan dalam bertransaksi keuangan. Oleh karena itu bank harus dapat mengatasi customer pain points atau masalah yang sering mendera nasabah saat menggunakan layanan, seperti birokrasi, dokumentasi, dan komunikasi.
Kerumitan birokrasi sering menghambat kelancaran proses layanan. Pengambilan keputusan berjenjang yang diterapkan organisasi besar juga dapat mengakibatkan layanan jadi lama. Keterbatasan wewenang suatu kantor cabang, misalnya, dapat membuat suatu permohonan sederhana nasabah tidak terpenuhi. Bisa jadi karena permohonan tersebut belum diatur dalam prosedur baku atau karena panjangnya proses persetujuan hingga ke kantor pusat.
Dokumentasi dapat membawa masalah tersendiri. Untuk membuka rekening, contohnya, ada setumpuk dokumen yang harus dibaca, diisi, dan ditandatangani nasabah.
Selanjutnya adalah masalah terkait komunikasi, seperti terjadinya perbedaan interpretasi antara apa yang ditawarkan bank dan yang diharapkan nasabah. Cara penyampaian dan sarana komunikasi memang dapat menimbulkan kesalahpahaman. Seperti juga halnya dengan ketidaksesuaian antara produk yang ditawarkan dan profil nasabah.
Inovasi teknologi
Tidak ada jalan lain, untuk tetap relevan, bank harus berinovasi dengan memanfaatkan teknologi. Misalnya, digitalisasi untuk memangkas birokrasi dan dokumentasi.
Demikian pula dengan peningkatan kemampuan data analytics untuk mengolah data nasabah agar bisa menyediakan produk yang tepat. Saat ini, beberapa bank telah bertransformasi sehingga mampu memberikan layanan aplikasi digital dengan baik.
Memang tidak semudah membalik telapak tangan. Selain prinsip kehati-hatian yang harus selalu diperhatikan, proses digitalisasi juga memiliki tantangan. Baik karena faktor internal maupun eksternal.
Faktor internal seperti keberadaan sistem operasi lama yang masih digunakan. Sistem ini belum tentu mampu mendukung berbagai inovasi dan pengembangan aplikasi baru yang dibutuhkan. Modernisasi sistem perlu dilakukan agar proses digitalisasi berjalan.
Modernisasi sistem perlu dilakukan agar proses digitalisasi berjalan.
Faktor eksternal, di antaranya, adalah tersedianya ekosistem digital. Ekosistem untuk mendukung aplikasi perbankan digital agar nasabah dapat menikmati layanan optimal. Bank perlu berkolaborasi dengan pihak ketiga melalui application programming interface (API). API memungkinkan terciptanya ekosistem yang menghubungkan aplikasi bank dengan penyedia layanan lain.
Tingkat literasi keuangan digital adalah faktor eksternal lain. Untuk menikmati layanan perbankan digital, nasabah diharapkan dapat mempelajari dan memahami sendiri berbagai fitur yang tersedia. Dengan demikian, bank harus menyediakan aplikasi yang user-friendly, memudahkan nasabah untuk berinteraksi dan memanfaatkan layanan yang ditawarkan.
Waspada penipuan
Terkait dengan literasi, fraud atau penipuan yang memanfaatkan kelengahan nasabah juga perlu diperhatikan. Nasabah perlu waspada dan lebih berhati-hati dalam bertransaksi digital. Terutama dengan masih gencarnya berbagai upaya penipuan berupa phishing dan social engineering. Pelaku kejahatan ”mama minta OTP” biasanya menghubungi nasabah meminta kode rahasia dengan mengaku sebagai petugas bank.
Untuk mengatasinya, bank perlu terus-menerus mengedukasi nasabah sekaligus meningkatkan kemampuan mendeteksi potensi kejahatan siber. Meski demikian, upaya penegakan hukum oleh pihak berwenang atas berbagai bentuk penyalahgunaan data nasabah juga amat dibutuhkan.
Pesatnya perkembangan fintech dan munculnya wacana neobank memperlihatkan mendesaknya kebutuhan agar institusi perbankan semakin memperhatikan kenyamanan nasabah dalam menggunakan layanan. Kegagalan memenuhinya adalah ancaman bagi perbankan di masa depan.
Sebaliknya, jika bank berhasil melakukan transformasi dan memanfaatkan teknologi, neobank dapat menjadi mitra yang memperkaya ragam pilihan nasabah. Industri perbankan akan terus bertumbuh, sementara nasabah dapat menikmati layanan perbankan dengan optimal.
Yosea Iskandar, Head of Legal and Corporate Secretariat PT Bank DBS Indonesia