Ada Apa dalam Sate Lilit?
Sate tak sekadar racikan kuliner yang lezat, tetapi juga mengandung aura ”kedewataan” yang seharusnya memengaruhi watakmu kelak. Setidaknya, sifat-sifat kemanusiaan seperti persaudaraan yang rekat dan sikap toleran.
Hari ini jika kau memesan nasi campur Bali di Warung Wardani, kau akan mendapatkan seporsi masakan berisi ayam sisit, dendeng balado, udang tepung, kerupuk kulit ayam, telur pindang, sayur kacang panjang, dan yang paling menonjol dua batang sate. Sate yang pertama bernama sate lilit dan kedua sate asem.
Jangan khawatir, semua sate dan menu lainnya berbasis daging ayam. Sejak warung-warung makanan serupa menjamur pada akhir tahun 1980-an di Denpasar, maka sejak itu era komodifikasi sate telah dimulai.
Sebelum era itu, sate tak pernah diperjualbelikan. Ia dimasak secara khusus dalam satu prosesi adat oleh warga banjar secara bersama-sama untuk kepentingan ritual. Prosesi memasak sate, terutama sate lilit, melibatkan unsur-unsur sosial, religiositas dan estetis, yang mengharuskan anggota banjar menguasainya secara terampil.
Dalam satu proses mebat, memasak bersama di banjar selalu dipimpin oleh seorang mancagera. Mancagera tak hanya bertindak sebagai chef dalam pengertian modern, tetapi juga seseorang yang menguasai ilmu agama dan tatanan sosial masyarakat.
Seorang mancagera ibarat seorang komandan lapangan yang akan mendistribusikan seluruh pekerjaan memasak kepada warga banjar, sejak merajang bumbu, memotong hewan, meracik makanan, dan kemudian memilah-milahnya.
Mebat hampir selalu dimulai sejak matahari belum terbit, ditandai dengan suara talenan yang berdentam-dentam. Terkadang diselingi suara riuh obrolan dan tertawa nakal para anggota banjar. Jika ada yang belum mendapatkan kopi dan jajanan di pagi itu, mancagera bisa memanggil para perempuan untuk menyuguhkannya.
Baca juga: Mak Erot dan Sindrom Maskulinitas
Biasanya, seluruh makanan, seperti beberapa jenis lawar dan sate, dipilah dalam dua bagian besar: mangge teben dan mangge luhur. Artinya, porsi-porsi makanan yang telah diletakkan dalam aledan (alas dari daun kelapa atau rumbia) diperuntukkan kepada dewata (luhur atau hulu) dan warga banjar (teben atau hilir) yang turut mebat.
Terkadang pula pihak keluarga yang memiliki upacara meminta kepada mancagera agar menyisihkan mangge teben untuk kepentingan mejotan. Mejotan tak lain bingkisan khusus yang dikirim kepada para pamong adat dan tetangga terdekat, termasuk yang berbeda agama dengan tetap memperhatikan unsur-unsur kehalalannya.
Kalau aku punya upacara di rumah, Bapak selalu mengirimkan makanan kepada nyame selam, saudara-saudara kami yang beragama Islam di Desa Banyubiru, kira-kira 5 kilometer ke arah barat kampungku.
Membuat tusuk sate saja belum bisa, ini kok sudah berani membawa perempuan ke rumah.
Masakan inti dari mebat adalah lawar dan sate. Khusus untuk sate, sering kali menjadi bahan olok-olok saat proses mebat berlangsung. Biasanya anak-anak muda yang baru memasuki komunitas banjar, karena dianggap dewasa atau sudah menikah, belum memiliki keterampilan melilit sate.
Tak jarang, jika sate-sate yang sedang dipanggang di atas bara tiba-tiba pecah dan jatuh, anak-anak muda selalu jadi kambing hitam. Mereka terkadang dituduh belum layak menjadi anggota banjar, karena belum bisa melilit sate dengan benar. Namun, semuanya disampaikan dalam nada guyonan yang kental dan penuh persaudaraan.
Bapak di kampung kebetulan seorang mancagera. Ia sering bilang kepada keponakannya, biasanya yang baru menikah, ”Ngae katik gen konden bisa, ne suba ngabe nak luh mulih”. Membuat tusuk sate saja belum bisa, ini kok sudah berani membawa perempuan ke rumah.
Baca juga: Kisah yang Tak Betah Jadi Kata-kata
Ejekan ini menjadi semacam nasihat untuk melecut anak-anak muda belajar mencintai dan kemudian mewarisi tradisi para leluhur. Membuat katik atau tusuk sate bukan perkara mudah meski terlihat sederhana. Mengubah sebatang bambu menjadi bilah-bilah tusuk sate yang halus dan memiliki bentuk estetik, seperti gada, membutuhkan latihan untuk mengasah keterampilan.
Mengapa gada? Bentuk gada mengacu kepada salah satu senjata dari sembilan dewata yang menjaga penjuru mata angin, yakni Dewa Brahma yang menjaga arah selatan. Gada memiliki bentuk mengembung pada bagian atasnya dan kemudian menirus pada bagian bawah.
Kira-kira jika dibayangkan mirip dengan sate lilit yang selama ini kau kenal di Warung Wardani itu. Kalau dalam kisah pewayangan, dua tokoh paling lihai memainkan gada tak lain Bima dan Baladewa.
Baca juga: Misi Kejujuran pada Tubuh
Selain secara simbolik sebagai senjata dari Dewa Brahma, sate lilit juga berasal dari kata makilit, sebuah perlambang persaudaraan yang rekat dan utuh, tak bisa dipisah-pisahkan lagi. Dalam sate lilit terdapat adonan seperti daging yang dicincang, base genep, santan kelapa atau terkadang pula diberi kelapa parut.
Teknik merekatkan pada tangkai bambu dengan cara dililit; tangkai sate diputar berlawanan dengan arah lilitan adonan sate. Dengan cara itu, serat-serat daging dan kelapa akan melilit tangkai bambu secara berputar. Teknik ini membuat daya rekat adonan kuat sehingga pada saat dipanggang tidak mudah terlepas.
Asal kau tahu, pemanggangan sate membuat kadar airnya menurun dan terkadang membuat daya rekatnya menurun pula. Oleh sebab itulah, sate yang direkatkan dengan cara dikepal-kepal akan mudah terlepas dari tangkainya. Inilah yang sering kali menjadi bahan guyonan di antara sesama warga banjar, seperti dilakukan Bapak dulu.
Kau harus hati-hati pula, teknik mengepal selain mudah pecah dan jatuh, juga membuat sate terkesan besar dan tebal. Tidak terlalu indah dipandang mata. Ketebalan itu juga membuatnya menjadi sate yang gosong di luar, tetapi mentah bagian dalamnya. Enggak enak kan kalau disantap?
Sate lilit hanya salah satu jenis sate yang dulu menjadi perangkat ritual dan kemudian mengalami komodifikasi sehingga berubah menjadi kuliner yang seksi.
Jenis sate lain yang tak kalah populernya adalah sate asem. Jangan bayangkan, sate asem terbuat dari buah asem Jawa yang asem itu. Sate asem sesungguhnya sate daging babi yang dimanfaatkan sebagai sarana ritual. Selain sate lilit, sate nyuh, dan lawar, persembahan untuk mangge teben dan mangge luhur, juga diisi dengan sate asem.
Baca juga: Buah Imajinasi Jatuh di Kolong Panggung
Cara membuat sate asem jauh lebih sederhana dibandingkan sate lilit. Kau cukup menusuk-nusuk daging dalam satu tangkai bambu yang tajam lalu diberi bumbu dan dipanggang sampai matang.
Di warung-warung komersial yang menjajakan nasi campur Bali, seperti Warung Wardani di Denpasar atau Warung Bu Mangku di Ubud, sate asem telah mengalami penyesuaian. Mereka tidak lagi membuat sate asem dengan daging babi, tetapi daging ayam atau sapi.
Rasanya memang asem-asem asin dan pedas, itu tak lain dari paduan base genep dan sedikit buah tomat dan cabe besar. Selain itu, di sudut-sudut kota sejak akhir tahun 1980-an mulai merebak pedagang sate asem, biasanya menggunakan daging babi atau ikan tenggiri.
Bukan berarti jika kau menemukan para penjual sate di jalan-jalan di penjuru Tanah Air, itu berkembang dari sate ritual di Bali. Konon, penjual sate mulai mengisi jalan-jalan di sejumlah kota di Indonesia sejak masa kolonialisme dahulu, terutama di Pulau Jawa.
Sate ini biasanya dibuat dari daging kambing, ayam, sapi, atau kerbau. Bumbunya sangat sederhana, bisa menggunakan bumbu kacang atau bumbu kecap. Sejak dulu, kau bisa makan sate menggunakan nasi atau lontong atau juga ketupat. Ah, sama sedapnya kok….
Di daerah Panjer, Kota Denpasar, sejak dulu aku langganan membeli sate ikan tenggiri dengan ketupat serta sambal pedas ala Bali. Sate ini benar-benar mampu mengobati kerinduan lidahku pada masakan otentik dari Bali. Mau coba?
Sate lilit sebenarnya hanya bagian kecil dari satu jenis sate khas Bali yang disebut sate renteng atau sate gayah. Sate gayah dianggap perlambang pemuliaan terhadap kemahakuasaan Tuhan dengan membuat sembilan jenis sate sesuai dengan kosmologi Hindu Bali.
Para dewata, seperti Brahma, Wisnu, Siwa, Rudra, Mahadewa, dan empat dewa lainnya, menempati sembilan arah mata angin, yang menjaga keseimbangan semesta dengan berbagai senjata.
Selain Brahma yang memiliki senjata gada, Wisnu memiliki senjata cakra, dan Siwa bersenjatakan padma. Kau akan melihat keindahan sate dari lemak, kulit, dan jeroan babi berbentuk cakra, padma, atau bentuk-bentuk senjata dewata lainnya, yang kemudian ditancapkan di atas potongan gedebong pohon pisang.
Kehadirannya yang menyembul di tengah sarana upacara lainnya membuatnya tampak seperti sebuah gunung, simbol semadi dari alam semesta. ”Sate gayah itu simbol dari gunung, yang menjadi representasi kemahaesaan Tuhan,” kata Dr I Ketut Sumadi, dosen Universitas Hindu Indonesia (Unhi) di Denpasar.
Dengan begitu, sate sebenarnya berakar pada ritual yang diciptakan para ”seniman” di banjar untuk memuja kebesaran Tuhan. Membuat sate gayah, membutuhkan kemampuan ekstra yang harus ditekuni selama bertahun-tahun.
Tidak saja soal tangkainya yang rumit, memotong dagingnya juga membutuhkan rasa estetis yang biasanya hanya dimiliki oleh para pemuka adat. Beruntung Bapak dulu salah seorang yang bisa membuat sate gayah.
”Sate gayah hanya dibuat saat-saat upacara saja, tidak dibuat sembarangan,” tambah Sumadi. Ia kemudian berkesimpulan, sebelum komodifikasi yang dilakukan oleh warung-warung nasi campur Bali, sate lilit misalnya, kata Sumadi, hanya dimasak pada saat hari raya Galungan atau upacara-upacara manusa yadnya, seperti nyambutin (tiga bulanan bayi).
”Sekarang warung-warung itu membuat kita setiap hari bisa menikmati sate. Dan rasanya seperti setiap hari ada hari raya,” kata penulis budaya Gde Aryantha Soethama suatu hari.
Masa-masa awal tahun 1990-an, aku sering berkeliling ke desa-desa bersama Aryantha mencari warung-warung kagetan yang menjual makanan bermenu Bali. Biasanya warung-warung ini dikelola oleh para ibu untuk menopang kehidupan rumah tangga di desa.
Jadi, kalau sekarang banyak orang, mungkin termasuk dirimu, doyan mengudap sate lilit atau sate asem, sudah barang pasti karena sate ini memang istimewa. Ia diturunkan langsung dari senjata para dewa penghuni kahyangan.
Artinya, satu gigitan sate lilit cukup menjadi representasi pengagungan terhadap sifat-sifat kedewataan. Bahwa kau dan aku berada dalam satu barisan untuk bersama-sama merayakan dan merasakan kebesaran Tuhan.
Oleh sebab itu, sate tak sekadar racikan kuliner yang lezat, tetapi juga mengandung aura ”kedewataan”, yang seharusnya memengaruhi watakmu kelak. Setidaknya, sifat-sifat kemanusiaan, seperti persaudaraan yang rekat, sikap toleran yang dilandasi relasi sosial yang setara, serta jiwa kebersamaan dalam mewujudkan sebuah tujuan, akan mengisi ruang kesadaran baru di dalam dirimu.
Dengan begitu, sate sebenarnya berakar pada ritual yang diciptakan para ’seniman’ di banjar untuk memuja kebesaran Tuhan.
Semua sifat yang bertumpu pada perikemanusiaan itu didasari oleh keinginan mempersembahkan sesuatu yang mulia kepada Sang Pemberi Hidup, Tuhan Yang Maha Pencipta.
Jadi, kalau hari-hari ini kau mengudap sate lilit, dengan atau tanpa ketupat, rasakanlah elemen-elemen keluhuran yang teracik di dalamnya. Pelan-pelan kau bisa merasakan aroma harum base genep, sensasi serat dagingnya yang lembut, dan tekstur kelapa dalam balutan aroma santan yang kental. Semua itu ibarat kelimpahan rasa syukur yang kita terima dari kemurahan semesta. Yum…. Rasanya hidup ini akan selalu damai dan bahagia….