Kisah yang Tak Betah Jadi Kata-kata
Itu juga membuktikan bahwa kisah-kisah pada buku selalu tak betah berlama-lama menjadi sekadar kata-kata, ia juga membutuhkan realitas (konkret) yang membuatnya terus berdenyut di dalam nadi kita masing-masing.
Aku ingin mengenang Bapak lagi. Banyak hal yang harus kusampaikan tentang lelaki sederhana itu kepadamu. Dia cuma petani yang coba melompat-lompat dari pematang sawah untuk menyusuri Sungai Ijogading jadi nelayan; sesekali juga coba turut memelopori mendalami manajemen koperasi dengan mendirikan koperasi unit desa; tetapi lebih sering menjadi penembang kisah-kisah klasik dan sedikit menjadi seorang balian. Kalau anak-anak tetangga sering menangis sampai menjerit-jerit di malam hari, biasanya Bapak yang menjadi penyembuhnya.
Hal paling melekat dalam hidupku sampai kini, Bapak memperkenalkan epos-epos seperti Mahabharata dan Ramayana, sebelum aku benar-benar bisa membaca. Ia sama sekali tak berpretensi bahwa kedua epos ini bagian dari kitab suci Weda, yang dikelompokkan dalam Weda Smerti; yakni kisah-kisah yang dikumpulkan berdasarkan ingatan.
Barangkali lantaran itulah kedua kitab ini lebih mudah diterima berdasarkan penuturan atau dipertunjukkan sebagai kisah epik tentang perjuangan manusia merunut jalan kemanusiaannya. Belum lagi kalau kau ingat, Mahabharata dan Ramayana dikelompokkan sebagai Weda Smerti Itihasa, yang artinya ”sesungguhnya kejadian itu begitu nyatanya”. Keduanya, mendekati kisah-kisah sejarah yang menggambarkan kehidupan keagamaan, sosial, dan politik di masa klasik.
Kalau kau kemudian mengenal kisah-kisah di dalamnya secara lisan atau menontonnya sebagai seni pertunjukan, berarti kau sesungguhnya telah mendekati ”asal mula”.
Bukankah pada awalnya kedua epos itu melekat dalam ingatan para pujangga, yang diperkirakan jauh sebelum abad ke-4 SM? Sebelum benar-benar ditulis oleh Maharsi Vyasa (Mahabharata) dan Maharsi Walmiki (Ramayana), kisah-kisah ini hidup secara lisan di antara para pertapa dan pengelana yang mencari kesejatian hidup.
Bukan tidak mungkin juga ia dimainkan secara imajinatif, sebagaimana Pramoedya Ananta Toer mengisahkan tetralogi Pulau Buru kepada para tahanan politik, sebelum benar-benar menuliskannya. Pramoedya mengisi waktunya di pembuangan dengan bercerita untuk terus memelihara harapan untuk hidup. Rasa kemanusiaan yang ”dibunuh” oleh kekuatan rezim, coba terus ia pelihara dan tebarkan kepada para sesama tahanan.
Kini kau bisa menarik garis penting dari kedua epos besar itu. Bahwa jauh sebelum kita bersungut-sungut memasuki apa yang disebut dengan lintas media storytelling, atau dongeng-dongeng yang melampaui batas kata-katanya, Ramayana dan Mahabharata sudah memulainya berabad-abad silam.
Sebelum bisa mengeja kata-kata, aku sudah menonton wayang ke berbagai pelosok desa, seperti juga sudah kuceritakan kepadamu pada waktu-waktu yang lalu. Kisah dan karakter wayang itu hidup dalam diriku, sebelum di kemudian hari aku membaca kisahnya dari tangan Nyoman S Pendit atau Romo Sindhunata.
Sebelum itu, sebenarnya aku mengenal kisah ini dari RA Kosasih dalam bentuk komik yang asyik. Meski kau harus tahu, tahun 1970-1980-an ”mengudap komik” dianggap tabu. Kau dianggap pemalas dan sibuk di dunia bacaan, sehingga lupa membantu Bapak di sawah. Tetapi aku sembunyi-sembunyi menyewa komik dari tetangga, hanya karena ingin lebih ”me-nyata-kan” kisah-kisah yang sebenarnya telah hidup dalam ingatanku itu.
Baca juga: Misi Kejujuran pada Tubuh
Ketika kemudian Ramayana dan Mahabharata menjelma ke dalam berbagai platform, seperti wayang kulit, wayang orang, film, serial televisi, komik, sandiwara radio, kartun, dan bahkan games, aku tidak kaget. Bahkan, ketika situs kejadian perang Bharatayuda menjadi destinasi wisata ziarah di negara bagian Haryana, India Utara, aku juga menganggapnya sebagai bagian dari kekayaan sastra.
Sejak diturunkan dari bahasa Sanskerta, sastra tidak cuma berarti teks yang mengandung ajaran-ajaran tentang moralitas kemanusiaan, tetapi lebih-lebih adalah juga pengetahuan. Artinya, sastra jauh lebih luas dari sekadar buku teks tentang sebuah cerita. Ia berisi segala macam bentuk ilmu pengetahuan yang dibutuhkan dalam kehidupan manusia.
Apakah kau pernah mendengar kitab bernama Manawa Dharmasastra? Ini salah satu kitab penting yang ditulis oleh Bhagawan Bhrigu yang berisi tentang hukum-hukum dalam agama Hindu. Pada masa Majapahit, kitab ini lebih dikenal sebagai Manupadesa, yang posisinya amat penting sebagai dasar-dasar pemerintahan oleh raja-raja Hindu di masa itu.
Seseorang yang memiliki kemampuan menguasai ilmu pengetahuan tinggi biasanya disebut ”nyastra”, artinya ia memiliki kemampuan sastra (pengetahuan) yang kuat. Di Bali kita juga mengenal istilah undagi, seseorang yang punya kemampuan arsitektur, sastra, dan seni yang mumpuni.
Sekadar menyebut contoh, kau pasti kenal seseorang bernama I Gusti Nyoman Lempad, seorang undagi yang membangun sebagian Puri Ubud Bali. Lempad juga seorang pemahat dan pelukis yang namanya melambung di dunia. Selain itu, Sehari-hari, Lempad adalah seorang pemuka agama, yang kata-katanya diikuti oleh umatnya.
Jadi ketika belakangan kau mengenal kisah-kisah Pokemon atau The Simpsons yang diterjemahkan ke dalam berbagai platform, sungguh itu bukan sesuatu yang baru. Kau harus lebih banyak membuka-buka tradisi, lalu mengambil serpih-serpih yang bermanfaat di dalamnya.
Baca juga: Buah Imajinasi Jatuh di Kolong Panggung
Bahkan, ketika seorang Inggris bernama Nigel Bullough tahun 1989 memulai perjalanan melacak jejak desa-desa yang disebutkan dalam Negara Kertagama, ia sadar bahwa ilmu itu seperti sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu.
Ketika menyaksikan Kurusetra menjelma menjadi tempat ziarah yang dikunjungi jutaan manusia setiap tahun, ia sadar sangat mungkin apa yang disebutkan dalam Negara Kertagama sebagaimana ditulis Mpu Prapanca, bisa dijelmakan menjadi destinasi wisata sejarah yang indah.
Tidak kurang dari 20 tahun, Bullough menyusur daerah-daerah di Jawa Timur dimulai dari kota Mahapahit (sekarang Trowulan di Mojokerto), kemudian mengikuti jejak raja Hayamwuruk mengunjungi desa-desa seperti Canggu, Bubat, Panggih, Sooko, Japan, Bangsal dan seterusnya. Ia menemukan fakta-fakta menarik, yang kemudian ia tuangkan dalam bukunya Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca.
Buku ini tak hanya membuktikan bahwa apa yang ditulis Prapanca menjadi peninggalan yang amat berharga dalam dunia sejarah klasik kita, tetapi juga memberi bukti bahwa realitas sastra tak sebatas teks.
Sesungguhnya realitas yang ditulis seorang sastrawan hampir selalu nir tekstual. Ia selalu menjadi kisah-kisah yang seolah tak betah sekadar menjadi kata-kata. Kisah-kisah itu terus berkelana mengisi ingatan publik dari generasi ke generasi.
Dalam sejarah modern, kau bisa mengunjungi tempat-tempat seperti Dostoevsky Memorial Museum di kota Saint Petersburg, Rusia. Sastrawan yang terkenal dengan kisah seperti The Brothers Karamazov dan Crime and Punishment itu, seolah-olah tetap hidup di hati publik dunia.
Baca juga: Drupadi Terkapar di Jalanan Kota
Ketika dalam suatu kesempatan menginap di hotel Radisson Sonya Saint Petersburg beberapa tahun lalu, aku menyaksikan perpustakaan kecil di lobi hotel. Di situ antara lain dipajang dua buku yang telah aku sebutkan tadi. Perpustakaan kecil itulah yang kemudian menuntunku menuju Kuznechny Pereulok, kawasan di mana dulu Dostoevsky pernah tinggal.
Jangan kira gratis, kau harus merogoh kocek dan menyerahkan beberapa Euro agar bisa berkunjung ke rumah Dostoevsky dan harus siap mengantre. Di rumahnya, kau bisa melihat mesin tulis tua, ruangan kerja, atau kertas-kertas yang pernah digunakan Dosto dalam bekerja. Dari sana kita akan belajar tentang kehidupan nyata dari seorang sastrawan besar.
Pemandangan sama bisa kau lihat di Museum Sastra Yoon Dongju, di kota Seoul, Korea Selatan. Di sini tak hanya kertas-kertas yang berisi puisi-puisi Dongju yang kau baca di dinding, tetapi juga sebuah sumur tua di halaman belakang di mana dahulu Dongju suka berdiam seorang diri.
Museum ini menjadi lebih berarti karena jalan hidup Dongju yang keras. Ia salah satu penyair modern Korea yang menentang keras pendudukan tentara Jepang di Korea. Syair-syairnya dianggap berbahaya, sehingga ia bahkan ditangkap dan dipenjarakan di Jepang.
Fakta-fakta sejarah ini, semakin jelas menunjukkan kepada kita bahwa sastra tak sekadar jatuh sebatas teks (buku). Ia sebenarnya terdiri dari gugusan nilai, yang apabila kau transformasi ke dalam bentuk-bentuk baru (populer), kau akan mendapatkan nilainya yang abadi di dalam kemasan yang berbeda.
Baca juga: Jalan Lain Merawat Kesedihan
Jika sekarang sedang populer dan banyak orang melakukan transformasi bentuk sastra, yang disebut dengan lintas media storytelling, itu hanyalah updating bentuk untuk menyesuaikan dengan kebutuhan manusia masa kini. Tentu sudah pasti, bentuk-bentuk baru itu akan menjangkau publik yang lebih luas.
Belakangan ada sebutan sandiwara sastra, sastra pariwisata, atau mungkin nanti akan ada games literature. Sekali lagi, itu hanya metode untuk meluaskan publik sastra agar diterima sebagai keniscayaan.
Sastra tak bisa ditolak dalam kehidupan kita, justru karena karakternya yang lentur sebagaimana telah dibuktikan oleh epos besar seperti Mahabharata dan Ramayana. Jadi jikalau kau seorang penulis yang menulis berbagai genre sastra seperti novel, cerpen, puisi, dan drama, tak perlu berkecil hati jika pembacanya “cuma” segelintir.
Berangkat dari segelintir pembaca itulah, kau bisa melakukan eksplorasi yang bisa mengisi indera pencerapan pada manusia: bisa dalam bentuk audio atau bahkan pertunjukan. Bukankah semua jalur itu kini seperti jalan bebas hambatan dengan keniscayaan teknologi?
Produser Mira Lesmana telah menggubah novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata ke dalam berbagai bentuk karya. Kau bisa menonton filmnya, menyaksikan musikalnya, dan kemudian bisa mengunjungi Belitung, tempat di mana setting peristiwanya terjadi.
Baca juga: Anak-anak Pelipur Umur
Boleh jadi kau ”hanya” akan menemukan sekolah bobrok yang dindingnya sudah doyong di sebuah bukit, tetapi bukankah narasi tentang sekolah itu telah hidup di dalam imajinasimu, sebagai sekolah bersejarah bagi anak-anak laskar pelangi?
Itu juga membuktikan bahwa kisah-kisah pada buku selalu tak betah berlama-lama menjadi sekadar kata-kata, ia juga membutuhkan realitas (konkret) yang membuatnya terus berdenyut di dalam nadi kita masing-masing. Begitu bukan? Sebagai seorang pencipta nilai, kau akan sama mulianya dengan seorang penyebar kebaikan dalam agama-agama dunia….