Mau ke Mana Ketenagalistrikan Indonesia?
Ke arah manakah ketenagalistrikan Indonesia akan bergerak? Semua pemangku kepentingan, baik pemerintah, PLN, listrik swasta, maupun masyarakat, harus berpikiran terbuka dan berorientasi masa depan dan kemakmuran rakyat.
Mahkamah Konstitusi telah membatalkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang sebagian berprinsip pada akses terbuka penyediaan tenaga listrik, khususnya di usaha pembangkitan dan penjualan tenaga listrik. Pembangkit listrik yang berpartisipasi akan diperlakukan secara setara dan akan saling berkompetisi untuk menjual produk listriknya. Namun, ketentuan ini dinilai akan membawa kepada liberalisasi kelistrikan yang berujung pada kenaikan tarif listrik.
Setelah Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2002 dibatalkan, penggantinya adalah UU No 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Dalam UU ini, badan usaha milik negara (BUMN) mendapat prioritas pertama dalam penyediaan tenaga listrik. Meski demikian, badan usaha milik daerah (BUMD), swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat boleh ikut berpartisipasi.
Baca juga: PLN Diminta Antisipasi Masalah Penghitungan Tagihan Listrik
Akan tetapi, pada kenyataannya, partisipasi listrik swasta semakin meningkat. Bahkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028, partisipasi pembangkit swasta lebih besar daripada BUMN, yang dalam hal ini adalah PLN. Keterbatasan dana PLN dan pemerintah menjadi salah satu alasan untuk terjadinya peningkatan partisipasi listrik swasta.
Akan tetapi, pada kenyataannya, partisipasi listrik swasta semakin meningkat.
Masalah dan tantangan
PLN ditengarai mengalami kesulitan keuangan akibat pandemi Covid-19. Pada April 2020, Institute for Energy Economics and Financial Analysis memprediksi kondisi keuangan PLN akan kacau karena perkiraan pertumbuhan beban yang meleset akibat pandemi.
Bahkan, Direktur Utama PLN pernah menjelaskan bahwa dalam lima tahun terakhir PLN berutang Rp 500 triliun untuk mendukung program 35 GW tanpa modal pendamping. Anggota DPR juga pernah mempertanyakan besarnya pinjaman PLN yang mencapai Rp 694 triliun.
Baca juga: PLN Sebut Kondisi Keuangan Terjaga Baik dan Mampu Bayar Utang
Gambaran di atas menunjukkan bahwa partisipasi dari luar pemerintah dan PLN masih sangat dibutuhkan dalam penyediaan tenaga listrik. Namun, kritik terhadap listrik swasta tetap kuat, terutama karena skema kontrak kerja sama antara PLN dan listrik swasta dalam bentuk take or pay.
Dalam skema ini, PLN harus tetap membayar pihak listrik swasta meskipun tidak menggunakan listrik dari pihak swasta itu, dengan alasan untuk memastikan pengembalian dana investasi. Dengan skema ini, praktis PLN harus memprioritaskan listrik swasta dalam pengoperasian pembangkit listrik.
Kontrak take or pay tidak hanya dilakukan antara PLN dan listrik swasta, tetapi juga antara PLN dan penyedia gas alam. Kontrak yang bersifat membatasi ini akhirnya menambah kesulitan PLN dalam mengoptimalkan operasi sistem kelistrikan. Tak hanya itu, batasan juga datang dari tarif listrik yang kadang kurang mencerminkan biaya pokok pembangkitan.
Meskipun peraturan menteri tentang penyesuaian tarif atau tariff adjustment telah tersedia, tidak mudah bagi PLN untuk melakukan penyesuaian tarif. Di tengah impitan kontrak listrik swasta, kontrak gas, dan tarif listrik, penolong bagi PLN adalah subsidi dan kompensasi dari pemerintah. Sayangnya, pencairan dana ini kadang terlambat, yang membuat seret arus kas PLN.
Baca juga: PLN Dapat PMN Rp 5 Triliun untuk Bangun Jaringan dan Listrik Desa
Keterbatasan dana yang dimiliki membuat PLN mengalami kesulitan dalam penyediaan dana investasi pengembangan fasilitas kelistrikan. Akhirnya, ketergantungan pada listrik swasta akan semakin meningkat.
Akhirnya, ketergantungan pada listrik swasta akan semakin meningkat.
Di sisi energi primer, Indonesia diperkirakan akan mengalami defisit energi. Indonesia bukanlah negara yang melimpah dengan energi fosil, seperti minyak bumi, gas alam, dan batubara. Setengah dari kebutuhan minyak diperoleh dari impor. Celakanya, meskipun bukan negara kaya gas dan batubara, secara besar-besaran Indonesia mengekspor komoditas ini ke luar negeri.
Di tengah peliknya masalah ketenagalistrikan, tantangan datang ketika kita dihadapkan pada era energi terbarukan. Entah karena cadangan energi fosil yang menipis atau karena tekanan negara-negara maju, era itu pasti akan datang. Tekanan itu sudah mulai terasa dengan sulitnya mendapatkan dana investasi untuk pembangunan pembangkit listrik berbasis energi fosil.
Baca juga: Insentif untuk Merangsang Pertumbuhan PLTS Atap
Meskipun bersifat rendah karbon dan berkelanjutan, beberapa energi terbarukan seperti energi matahari dan angin bersifat fluktuatif dan terputus-putus (intermittent). Hal ini menyebabkan operator sistem kelistrikan harus tetap menyediakan pembangkit cadangan untuk mengompensasi ketidakpastian luaran energi terbarukan. Akibatnya, biaya pokok penyediaan berpotensi naik. Terlebih, teknologi yang masih relatif baru juga berkontribusi pada mahalnya energi terbarukan.
Ruang-ruang inovasi
Target konsumsi listrik yang meleset di tengah pandemi Covid-19 dapat menjadi momentum untuk melakukan konversi dari penggunaan langsung energi primer, seperti minyak dan gas, menjadi penggunaan energi sekunder, yaitu listrik. Penggunaan kompor listrik, dispenser, penanak nasi, dan kendaraan listrik harus mulai dibudayakan.
Untuk itu, batas daya listrik di rumah-rumah harus mulai dinaikkan agar dapat memasok kebutuhan alat-alat listrik itu. Dengan demikian, konsumsi listrik masyarakat akan meningkat, sebaliknya konsumsi minyak dan gas menurun.
Konversi dari penggunaan energi primer ke listrik bukan hanya untuk kepentingan sesaat akibat pandemi, tetapi juga dalam rangka menyambut era energi terbarukan. Pada saatnya nanti, orang akan menanak nasi dengan energi angin atau mengendarai kendaraan listrik menggunakan energi aliran air melalui perantara listrik.
Baca juga: Apa Kabar Mobil Listrik Nasional
Selain untuk menurunkan konsumsi BBM, baterai yang ada di kendaraan listrik berfungsi juga untuk menyimpan listrik dari sumber energi terbarukan dan pada akhirnya akan dapat memperkecil dampak ketidakpastian energi terbarukan, bahkan bisa mengefisienkan sistem kelistrikan.
Konversi dari penggunaan energi primer ke listrik bukan hanya untuk kepentingan sesaat akibat pandemi, tetapi juga dalam rangka menyambut era energi terbarukan.
Ke depan, semua orang bisa menjadi bagian dari penyediaan tenaga listrik melalui pembangkit listrik tenaga surya atap dan penyimpan energi yang ada di kendaraan listrik. Pelanggan listrik tidak hanya menjadi konsumen, tetapi menjadi konsumen sekaligus produsen listrik. Karena itu, peran pembangkit listrik swasta skala perumahan atau perkantoran akan meningkat.
Dengan demikian, desentralisasi penyediaan tenaga listrik akan menguat. Tidak hanya rumah dan kantor, desentralisasi juga bisa muncul dari kelebihan listrik industri non-PLN, baik BUMN maupun swasta. Kerja sama dengan pihak lain memungkinkan PLN menyediakan listrik dengan modal minimalis, seperti perusahaan ojek daring yang menyediakan jasa antar jemput tanpa harus memiliki aset sepeda motor atau mobil.
Tugas terberat PLN adalah melakukan pengaturan partisipasi semua penyedia tenaga listrik. Pengaturan tidak hanya dilakukan di tingkat transmisi, tetapi juga di tingkat distribusi karena pembangkit listrik kecil dan menengah berada di tingkat distribusi.
Jika pengaturan dilakukan dengan baik, pengoperasian optimal akan tercapai. Apalagi, jika tarif jual-beli listrik bisa dibuat dinamis, pengaturan menuju efisiensi akan lebih mudah tercapai. Untuk melakukan pengaturan di sektor ketenagalistrikan, digitalisasi menjadi suatu keharusan.
Karena itu, alat ukur di sisi pelanggan harus mulai beralih ke alat ukur cerdas. Selain itu, jangkauan fasilitas komunikasi digital juga harus semakin meluas yang dapat meliputi sebagian besar pelanggan PLN.
Ketidakpastian pasokan energi terbarukan membutuhkan pendamping berupa pembangkit listrik konvensional dengan respons cepat. Pilihan yang tepat untuk pembangkit jenis ini adalah pembangkit tenaga listrik berbahan bakar gas. Karena itu, keberlanjutan ketersediaan gas alam dalam negeri menjadi sangat penting.
Karena itu, keberlanjutan ketersediaan gas alam dalam negeri menjadi sangat penting.
Tidak hanya itu, keterkaitan penggunaan gas dan produksi listrik menjadi kian rumit karena penggunaan gas akan sangat fluktuatif, padahal kontrak penyediaan gas umumnya dalam bentuk take or pay dengan volume tertentu.
Salah satu cara mengoptimalkan penggunaan gas adalah dengan menggabungkan perusahaan gas dan perusahaan listrik sehingga tarik ulur kepentingan di antara kedua perusahaan ini dapat diredam. Penggabungan kedua jenis perusahaan energi ini sudah umum di negara lain, seperti Australia dan Inggris.
Agar menjadi perusahaan yang sehat, PLN sebagai BUMN utama penopang sektor ketenagalistrikan harus diberi kesempatan untuk memiliki keuangan yang tidak hanya cukup untuk operasionalisasi, tetapi juga untuk investasi pengembangan fasilitas kelistrikan yang semakin lama semakin bertambah besar.
Untuk itu, tarif listrik sebaiknya disesuaikan dengan nilai keekonomiannya dan penyesuaian tarif listrik perlu dilaksanakan secara jujur dan konsisten, baik ketika tarif naik maupun turun. Selain itu, mekanisme subsidi listrik bagi masyarakat yang kurang mampu dapat diubah dari subsidi produk menjadi subsidi langsung ke masyarakat penerima.
Orientasi masa depan
Di tengah problematika yang ada saat ini, perubahan dan tantangan akan terus terjadi. Isu defisit energi dan dekarbonisasi akan semakin menguat yang berimbas pada desentralisasi dan digitalisasi.
Ke arah manakah ketenagalistrikan Indonesia akan bergerak? Apakah perundang-undangan yang ada sudah mampu menjawab perubahan dan tantangan yang akan datang? Apakah SDM dan teknologi kita sudah siap? Semua pemangku kepentingan, baik pemerintah, PLN, listrik swasta, maupun masyarakat, harus berpikiran terbuka dan berorientasi masa depan. Yang pasti, semua harus bermuara pada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Rony Seto Wibowo, Dosen Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember; Anggota Dewan Pakar MKI.