Potensi tenaga surya di Indonesia mencapai 207.800 megawatt peak, tetapi pemanfaatannya masih sangat minim. Diperlukan skema insentif agar minat masyarakat memasang PLTS atap bisa meningkat.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Pemerintah mendorong dunia industri dan pemerintah pusat dan daerah memanfaatkan atap bangunan dan gedung yang mereka miliki dengan memasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di atasnya.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengakui, skema jual beli listrik untuk pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS atap yang ada saat ini dianggap kurang menarik. Perlu insentif tambahan untuk menarik minat masyarakat menggunakan PLTS atap di Indonesia.
Program gerakan nasional sejuta surya atap belum menggembirakan hasilnya.
PLTS atap, selain mendukung program pemerintah mengurangi emisi gas rumah kaca, juga dapat menghemat pembayaran rekening listrik pelanggan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Pelanggan dapat menjual kelebihan tenaga listrik dari PLTS atap kepada PLN dengan skema ekspor-impor daya listrik. Namun, aturan yang ada hanya membatasi 65 persen untuk ekspor daya listrik dari PLTS atap ke sistem PLN.
”Ketentuan (pembatasan 65 persen) tersebut dianggap disinsentif terhadap pelanggan yang menggunakan PLTS atap. Oleh karena itu, kami berencana memperbaiki aturan tersebut agar lebih menarik minat masyarakat memasang PLTS atap,” ujar Direktur Energi Baru dan Terbarukan pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Harris Yahya dalam webinar, Rabu (16/9/2020).
Harris mengakui, pertumbuhan kapasitas terpasang PLTS atap di Indonesia kurang menggembirakan. Hingga semester I-2020, baru sebesar 11,5 megawatt (MW) yang terpasang di 2.346 rumah pelanggan. Padahal, program gerakan nasional sejuta surya atap yang diluncurkan sejak 2017 menargetkan kapasitas terpasang PLTS atap sudah mencapai orde gigawatt atau sekurangnya 1.000 MW sebelum 2020.
Selain regulasi yang pro terhadap pengembangan PLTS atap, skema pendanaan yang terjangkau juga dapat menjadi perangsang pertumbuhan.
Vietnam tampak memiliki perkembangan sangat pesat dalam membangun pembangkit listrik tenaga surya dibandingkan negara lain, apalagi dibandingkan dengan Indonesia yang jauh tertinggal. Ini dipresentasikan Direktur Riset Indef Berly Martawardaya yang juga dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 30 Maret 2020.
”Untuk mempercepat pertumbuhan PLTS atap, beberapa kebijakan yang disiapkan adalah pembangunan di lahan bekas tambang, pembangunan PLTS terapung, dan pembangunan PLTS di wilayah-wilayah terpencil untuk mendorong pusat pertumbuhan ekonomi baru,” ucap Harris.
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Andhika Prastawa menambahkan, masih ada peluang besar untuk meningkatkan pertumbuhan kapasitas terpasang PLTS atap di Indonesia. Selain regulasi yang pro terhadap pengembangan PLTS atap, skema pendanaan yang terjangkau juga dapat menjadi perangsang pertumbuhan. Oleh karena itu, kerja sama yang baik antara pemerintah, badan usaha, PLN, dan publik sangat diperlukan.
”Percepatan pertumbuhan PLTS atap bisa dilakukan lewat pemberian insentif dari pemerintah. Selain itu, perlu juga penyediaan pembiayaan berskala makro maupun mikro, serta kebijakan yang mempermudah pemasangan PLTS atap,” kata Andhika.
Badan usaha swasta yang turut berpartisipasi mendorong pertumbuhan PLTS atap di Indonesia adalah PT Xurya Daya Indonesia, perusahaan rintisan sektor energi yang berdiri sejak 2018. Perusahaan ini memelopori metode pembiayaan dengan uang muka nol rupiah untuk pemasangan PLTS atap. Tahun ini, kapasitas terpasang PLTS atap yang digarap Xurya Daya Indonesia mencapai sembilan kali lipat dibanding tahun lalu.
”Kami berkomitmen mendukung program gerakan nasional sejuta surya. Tanggung jawab mendorong pengoptimalan energi terbarukan di Indonesia bukan hanya milik pemerintah, tetapi juga sektor swasta,” ujar Managing Director Xurya Daya Indonesia Eka Himawan.
Tanggung jawab mendorong pengoptimalan energi terbarukan di Indonesia bukan hanya milik pemerintah, tetapi juga sektor swasta.
Panel-panel sel surya pada pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Sengkol, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kamis (29/8/2019). Penggunaan PLTS Sengkol serta dua PLTS lain, yakni PLTS Selong dan PLTS Pringgabaya di Lombok Timur yang masing-masing berkapasitas 5 megawatt, merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam mendorong pemanfaatan energi terbarukan untuk pembangkit listrik Indonesia.
Salah satu industri yang turut memasang PLTS atap adalah PT Softex Indonesia yang berlokasi di Sidoarjo, Jawa Timur. Perusahaan tersebut sedang menuntaskan pemasangan PLTS atap berkapasitas 630 kilowatt peak (kWp). PLTS atap tersebut diproyeksikan dapat menghemat pemakaian listrik hingga 887.992 kilowatt jam (kWh) per tahun.
”Selain mengurangi emisi gas rumah kaca, program PLTS atap di perusahaan kami juga dapat menghemat biaya pembayaran tagihan listrik hingga 10 persen setiap bulan,” kata Sustainability Project Leader PT Softex Indonesia Honey Liwe.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, penambahan kapasitas terpasang PLTS ditargetkan mencapai 2.089 MW. Adapun menurut data Kementerian ESDM, potensi PLTS di Indonesia mencapai 207.800 megawatt peak (MWp).