Kultur apa pun bisa beradaptasi. Lihat Korea, India, apalagi China. China, yang 50 tahun lalu dianggap bakal terpuruk untuk seterusnya, tiba-tiba muncul sebagai raksasa ekonomi pada abad ke-21.
Oleh
Jean Couteau
·4 menit baca
Beberapa waktu yang lalu, Indonesia dilanda gelombang demonstrasi sebagai respons terhadap apa yang disebut omnibus law, rancangan undang-undang yang bertujuan menggalakkan investasi.
Ya, setelah memprioritaskan infrastruktur dan melakukan reformasi birokrasi, pemerintah berasumsi bahwa salah satu kendala pada lajunya membangunan adalah kekakuan undang-undang ketenagakerjaan. Lepas dari soal benar atau salah, diprovokasi atau tidak, begitu diumumkan, terjadi kericuhan! Masalah ekonomi serta-merta menjadi politik. Seru, kan!
Namun, kini—maaf, seribu kali maaf—bagaimana seandainya kunci, atau kendala terbesar bagi pembangunan tidak terletak pada ekonomi, apalagi pada politik, tetapi pada ”kultur”. Wah, saya sudah membayangkan kerutan dahi pembaca: ”Kurang asem, si Jean yang bule ini”.
Memang! Saya bukan Mochtar Lubis, si pemvonis karakter Indonesia, dan saya sendiri membenci orang bule yang ”tukang menggurui” dengan kata :”Harus begini, jangan begitu, di dalam bahasa Inggris, atau, lebih parah, dalam ’Melayu Pasar’, yaitu bahasa para ’jongos Inneren tempo doeloe’.
Ya, saya tidak mau diduga begitu, tetapi, kalau dipikir-pikir, bagaimana kalau salah satu kendala utama pembangunan memang terletak pada kultur?
Memikirkan ini, saya teringat suatu diskusi, beberapa bulan yang lalu, dengan seorang konsultan bisnis asing yang mempunyai pengalaman panjang di Indonesia. Ketika saya bertanya apa kendala utama untuk pembangunan Indonesia, dia menjawab kontan: problem utamanya terletak pada mekanisme pengambilan keputusan.
Wah! Keputusan apa pun rumit didiskusikan, dan sulit keluar, katanya. ”Lalu, setelah keluar, lebih sulit lagi diimplementasikan karena harus mempertimbangkan macam-macam faktor di luar bisnis yang bersangkutan dan tidak bisa dipercepat. Jadi, telat di sini, telat di situ, keputusan sulit mencapai lapis-lapis manajemen bawah dan operasional produksi. Akibatnya, produktivitas rendah dan tak mampu bersaing.”
Menarik, kan? Ketika saya meminta si bule cerdas untuk lebih terperinci, dia membeberkan sejumlah kendala kira-kira seperti berikut: sikap kelewat hormat terhadap status yang menghambat tukar-menukar opini secara terbuka nan setara; jaringan-jaringan di jajaran perusahaan yang memaksakan manajer/mandor untuk senantiasa melakukan negosiasi alot; posisi yang tak mungkin tersentuh dan loyalitas yang memblokir pelaksanaan keputusan. Menurut dia, suburnya nepotisme dan korupsi berkelindan dengan semua hal di atas ini.
Kita melihat conundrum-nya (kontradiksi mutlak): semua ini merupakan manifestasi modern dari laku sehari-hari yang paling diagungkan pada kebudayaan Jawa dan Indonesia pada umumnya. Hal itu, di antaranya, berbahasa halus, satya wacana, sumeleh, pasrah, tenggang rasa, dan tepa selira, yaitu laku-laku njawani yang melandasi harmoni dan hening batin yang didambakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Apakah memang harus diubah, melihat bahwa ideal njawani ini mungkin bertentangan dengan sikap yang dituntut dalam ekonomi modern, yaitu gamblang berbicara, gesit, tak pandang status dan keyakinan, setara perihal jender, dan lain-lain. Hal-hal yang semuanya berpadu-satu membangkitkan dinamika usaha, kompetensi, dan efisiensi?
Lalu, di dalam konteks ini dan secara konkret, harus bagaimana bersikap soal lajunya pembangunan yang menjadi pemicu awal tulisan ini? Apakah kita sebaiknya menerima situasi yang selama ini berlaku, dengan membiarkan dinamika ekonomi dibebani warisan kultural yang sebagian kurang produktif di atas? Lalu mengharapkan munculnya secara spontan perilaku modern yang lebih efisien, apa pun waktu yang dibutuhkan untuk itu.
Atau, apakah harus proaktif di dalam bidang pendidikan dan pada tahap pengelolaan kultur bisnis (perusahaan)? Misalnya dengan melakukan brain-storming, diskusi kelompok, atau teknik intervensi psikologi sosial lainnya yang bertujuan menimbulkan kesadaran dan, ujung-ujungnya, menghasilkan perubahan perilaku ekonomi yang diharapkan?
Orang Indonesialah yang harus mengambil keputusan-keputusan itu. Sebaiknya tanpa prasangka sinis/skeptis terhadap kemampuan bangsa sendiri. Ketahuilah bahwa kultur-kultur apa pun bisa beradaptasi. Lihat Korea, India, apalagi China. Siapa yang dapat menduga bahwa China, yang 50 tahun lalu dianggap bakal terpuruk untuk seterusnya, tiba-tiba muncul sebagai raksasa ekonomi pada abad ke-21.
Bahkan orang Jawa, ya orang Jawa yang pernah dikirim sebagai buruh kontrak ke Kaledonia Baru, kini pun membentuk salah satu komponen paling tangguh kelas menengahnya di sana. Semua ini tergantung jitunya tindakan-tindakan yang diambil.
Oleh karena itu, tinggal mengharapkan Pemerintah Indonesia mampu mengambil tindakan-tindakan jitu ini tanpa perlu memperlemah posisi tawar-menawar kaum buruh. Tanpa juga melepaskan dambaan harmoni sosial dan batiniah. Semoga.