Saya tidak biasa minum jamu. Memang, saya sejak dulu mengagumi ibu-ibu yang berkeliling Jawa dan Bali menawarkan jamu. Saya kagum dengan sikap tabah mereka.
Oleh
Jean Couteau
·3 menit baca
Saya tidak biasa minum jamu. Memang, saya sejak dulu mengagumi ibu-ibu yang berkeliling Jawa dan Bali menawarkan jamu. Saya kagum dengan sikap tabah mereka. Hanya sesekali saya mencoba dagangannya, itu terasa cukup, apa pun jamunya.
Tetapi kali ini, lain: saya diantar dua botol. Dan siapa gerangan pengirimnya? Pasangan suami istri yang melambangkan di benakku keindahan pasangan tahun 1960-an: Adriaan dan Runi Palar. Mereka berdua dan kami, suami istri, berteman agak lama. Mereka ramah, murah senyum, dan, ya, boleh dikata cukup berhasil!
Dikirimi dua botol jamu dengan Grab, tidak mungkin saya tak mencobanya! Mesti sopan dong!
Sembari bertanya: apa gerangan khasiatnya? Apalagi, sebagai orang yang sudah menua, bukankah tenaga saya yang diintai sang Covid hendaknya ditopang aneka obat kuat. Nasib!
Wah! Baru ditegukan pertama, bukan jamu lagi yang terasa di ujung lidah, tetapi sesuatu antara rasa minuman liquor Grande Chartreuse dan jamu beneran.... Pekatnya jamu hilang.... Eh eh, gurih! Agaknya yang dikirim ke saya ini ialah calon ”minuman sosial” baru, khas Indonesia, yang mampu memenuhi selera lidah saya yang, mau tidak mau, tetap Perancis itu. Hebat, kan!
Jamu tradisional saat ini banyak diserbu warga untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya.
Satu jam kemudian saya sudah di rumah Adriaan dan Runi, rumah berpredikat museum perhiasan di kawasan Ubud: saya ingin tahu bagaimana mereka sampai terpikir membuat jamu gurih itu.
Rahasianya sederhana: Adriaan dan Runi bukan tipe orang yang suka nongkrong merundung di hadapan petaka. Usahanya tutup? Tidak apa! ”Kami harus kreatif,” kata Adriaan, ”dan peluang datang kalau dicari.” Dia tidak menambahi pernyataannya itu dengan informasi bahwa dia sudah berumur 84 tahun.
”Awalnya ide jamu ini”, katanya, ”datang dari Jokowi. Dulu dia minum jamu sekali sehari, dan sekarang, menurut pengakuannya, sampai tiga kali. Mendengarnya, saya tergugah, bukankah bahannya mudah didapatkan di Indonesia!”
Tercenung sesaat, dia lalu menambahkan, kian bersemangat: ”Coba berpikir, Pak Jean, kita ngimpor suplemen energizer dari luar negeri, sedangkan kita memproduksi bermacam-macam bahan energizer di negeri kita sendiri. Itulah yang memicu saya membuat jamu”.
Betapa indah menyaksikan si tua Adriaan ini menjelma menjadi muda dengan perkataannya! Bisa jadi dia memang ingin mengulang semangat masa mudanya, 45 tahun lalu, ketika, dengan Runi, mereka membangun bisnis perhiasan di sebuah workshop kecil di Bandung.
”Runi sudah tumbuh dengan jamu sejak kecil di Jawa,” ujar Adriaan lagi. ”Di Jawa, para pria berangkat ke sawah dini hari, bisa bertahan sampai magrib, karena disertakan jamu saat makan siang”, tambahnya seolah mendambakan masa lalu.
Namun, tiba-tiba dia berseru rada marah, ”Dokter-dokter kerap kongkalikong dengan farmasi besar. Kenapa mereka menganjurkan suplemen impor luar negeri, sedangkan kami sebenarnya sudah ada bahan energizer di negeri sendiri.”
Adriaan berdiam sebentar. ”Dua bulan lalu, saya membeli kunyit, kayu manis, dan aneka bahan lainnya. Lalu tiap hari kami meracik, tiap hari mendapat kombinasi jamu lainnya. Ditambah kayu manis atau jahe. Dinilai Runi, lalu dikurangi pekat seperlunya. Sedikit demi sedikit, lahirlah, ya, jamu yang bukan jamu, energizer yang enak di rasa. Yang saya sebut Curcumania.”
Petugas membuat jamu pokak di Dapur Umum yang dibangun di Taman Surya, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (19/3/2020) Untuk menjaga kesehatan dan meningkatkan imun tubuh di tengah wabah Covid-19, Pemkot Surabaya mendirikan posko dapur umum sebagai tempat pembuatan jamu tradisional pokak dan telur rebus yang akan dibagikan kepada warga.
Curcumania. Wah! Enak di rasa, hebat di nama! Jangan-jangan, selain dilanda demam Covid, Bali dilanda demam Curcumania.
Semoga peristiwa penciptaan Curcumania membawa hikmah. Pertama perihal umur: biarpun hadir di tubuh, umur tak harus hadir dalam semangat. Apa pun yang terjadi, ada PSBB atau tidak, kita harus berjuang, tak boleh takluk. Biar nasib menimpa, kita selalu bebas dalam cara menanggapinya.
Kedua, dan tak kalah pentingnya, perihal ekonomi: betapa pun besarnya keuntungan diraih dari globalisasi, globalisasi itu tak pantas membawa ketergantungan terlalu besar terhadap negeri-negeri jauh.
Kenapa harus orang tua yang mengingatkan kita pada hal sesederhana ini?