ASEAN sebagai pusat ekonomi Asia Tenggara dan Asia Pasifik bersama para mitra eksternal ASEAN memiliki tantangan bersama untuk menghidupkan dan mengupayakan berjalannya rantai pasok regional yang efektif.
Oleh
BEGINDA PAKPAHAN
·4 menit baca
Asia Tenggara menjadi pusat persaingan pengaruh dari negara-negara besar di tengah masa pandemi Covid-19. ASEAN sebagai organisasi regional yang mewadahi negara-negara di kawasan ini menghadapi pelbagai tantangan nyata pada masa pandemi.
Tantangan tersebut adalah, pertama, ASEAN berupaya mendorong kerja sama regional untuk penanganan krisis kesehatan di Asia Tenggara akibat dari pandemi Covid-19. ASEAN bekerja sama dengan negara-negara mitra eksternalnya, seperti Jepang, China, dan Korea Selatan, dan negara mitra ASEAN lainnya, dalam rangka manajemen kesiapan dan kedaruratan bagi kesehatan publik; pemenuhan alat-alat kesehatan untuk orang terinfeksi Covid-19; penyediaan alat pelindung diri; dan upaya kerja sama dan akses setara bagi vaksin Covid-19 saat ditemukan nanti.
Namun, tatanan global dan kerja sama internasional mengalami pelemahan karena penguatan politik nasionalisme di sejumlah negara. Contohnya adalah nasionalisme vaksin. Negara-negara maju berupaya menemukan vaksin Covid-19, memproduksinya, dan menjaga pasokannya bagi warga negara mereka masing-masing.
Kompetisi di antara negara-negara besar untuk mendapatkan vaksin Covid-19 meningkat signifikan dan meruncing di seluruh dunia.
Faktanya, tatanan global dan kerja sama internasional—contohnya Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI), WHO, The Vaccine Alliance, dan Gavi yang menginisiasi dan memimpin Covid-19 global access/COVAX—belum bisa memberikan jaminan ketersediaan dan akses vaksin Covid-19 bagi negara-negara berkembang dan tertinggal, termasuk bagi negara-negara anggota ASEAN.
Kedua, ASEAN perlu menjaga perdamaian dan stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara. Persaingan negara-negara besar di Asia Tenggara meningkat beberapa waktu terakhir. Peningkatan rivalitas di antara negara besar di Laut China Selatan menjadi isu utama yang berdampak signifikan terhadap kelangsungan perdamaian dan stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara, khususnya, dan Indo-Pasifik pada umumnya.
Asia Tenggara menjadi ajang kompetisi bagi negara-negara besar dalam rangka memperluas pengaruh dan membangun aliansi kekuatan mereka di seluruh kawasan. Tujuan negara-negara besar adalah agar unggul dalam persaingan regional. Lebih khusus, negara-negara ASEAN menjadi sasaran dari negara-negara besar yang tengah bersaing dalam rangka perluasan pengaruh mereka di kawasan.
Tujuan negara-negara besar adalah agar unggul dalam persaingan regional.
Perubahan situasi geopolitik di Asia Tenggara memberikan risiko yang signifikan bagi negara-negara anggota ASEAN karena jika tidak hati-hati negara-negara ASEAN dapat terjebak dan terpecah-belah di dalam kompetisi yang sedang meruncing tersebut. Harapannya, ASEAN bisa menjaga independensinya, netralitasnya, sentralitasnya, dan persatuannya dalam merespons perubahan geopolitik yang sedang terjadi di Asia Tenggara dan Indo-Pasifik.
Ketiga, pelambatan ekonomi dan ancaman resesi ekonomi regional di Asia Tenggara. Pandemi Covid-19 membuat negara-negara ASEAN melakukan pembatasan sosial dan menutup negara mereka dalam rangka memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Seluruh aktivitas perdagangan, pariwisata, dan perindustrian ditutup sementara oleh negara-negara ASEAN.
Konsekuensinya, Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam laporannya, Developing Asia Outlook, September 2020, memproyeksikan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Asia Tenggara (ASEAN) mengalami penurunan sebesar 3,8 persen pada 2020. Lebih lanjut, ADB menjelaskan bahwa mayoritas pertumbuhan PDB negara-negara ASEAN mengalami kontraksi, kecuali tiga negara, yakni Vietnam (1,8 persen), Brunei Darussalam (1,4 persen), dan Myanmar (1,8 persen). Saat ini, negara-negara ASEAN sedang berupaya menangani krisis kesehatan dan memitigasi pelambatan ekonomi dan dampak sosial ekonomi bagi rakyatnya.
Proteksionisme
Keempat, peningkatan proteksionisme ekonomi dan pelemahan kerja sama internasional menjadi tantangan berikutnya bagi ASEAN. Perdagangan internasional memerlukan rantai pasok global yang bekerja dan terkoneksi dengan baik. Namun, rantai pasok tersebut sedang mengalami gangguan karena penutupan batas wilayah (lockdown), pembatasan pergerakan barang/jasa, dan peningkatan proteksionisme dari mayoritas negara di dunia.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memproyeksikan perdagangan dunia tahun 2020 mengalami penurunan antara 13 persen hingga 32 persen. ASEAN sebagai pusat ekonomi Asia Tenggara dan Asia Pasifik bersama para mitra eksternal ASEAN memiliki tantangan bersama untuk menghidupkan dan mengupayakan berjalannya rantai pasok regional yang efektif.
Saat ini, negara-negara ASEAN sedang berupaya menangani krisis kesehatan dan memitigasi pelambatan ekonomi dan dampak sosial ekonomi bagi rakyatnya.
Kelima, ASEAN perlu memitigasi beragam dampak dari pelbagai kompetisi negara-negara besar yang muncul dan berkembang di tengah pandemi Covid-19, yaitu menghangatnya perang dagang terkini antara Amerika Serikat (AS) dan China; keputusan WTO atas persaingan dagang antara AS dan China terkait pemberlakuan tarif yang dapat memicu tensi antara AS dan WTO; dan AS keluar dari keanggotaannya di WHO karena peningkatan tensi antara AS dan China.
Harapannya, ASEAN fokus pada kerja sama regional yang fleksibel dalam rangka menjawab pelbagai tantangannya di tengah ketidakpastian hubungan internasional dan dunia.
Beginda Pakpahan, Analis Politik dan Ekonomi Global dengan PhD dari University of Edinburgh, Inggris.