Politisasi Ketubuhan Perempuan
Masa depan bangsa Indonesia tidak hanya tentang kecukupan sandang dan pangan, tetapi juga jaminan rasa aman dan terlindungi dari kejahatan kemanusiaan yang paling merendahkan martabat.
Untuk kesekian kali terlihat upaya mencegah kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak (laki dan perempuan) sulit untuk ditempuh karena kendala politik. Di tangan politisi, isu kemanusiaan pun bisa dijadikan komoditas.
Propaganda dilakukan dengan mencerabut istilah ”consensual sex” dari konteksnya dalam literatur studi perempuan dan secara sepihak diberi makna politis. Istilah buatan itu digunakan untuk menyerang upaya melindungi masyarakat dari kejahatan seksual. Termasuk terhadap Universitas Indonesia yang melakukan kegiatan literasi hukum dan sosial untuk melindungi mahasiswanya sendiri.
Dikeluarkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari Prolegnas DPR adalah hasil politisasi semacam itu, dan mengindikasikan darurat Pancasila (Franz Magnis-Suseno, Kompas, 25/9/2020). Tulisan ini bertujuan menganalisis kebutuhan hukum untuk menghentikan kekerasan seksual dan menguji apakah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual memenuhi tiga persyaratan hukum yang baik secara filosofis, hukum, dan sosiologis.
Baca juga: Keluar dari Darurat Pancasila
Di tangan politisi, isu kemanusiaan pun bisa dijadikan komoditas.
Tindak kekerasan seksual adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan kejahatan kesusilaan karena mengancam nyawa, di antaranya korban meninggal, cacat, trauma berat, termasuk keinginan bunuh diri. Sejarah dunia mencatat Perang Dunia II atau konflik bersenjata di wilayah mana pun diwarnai penyiksaan seksual terhadap perempuan.
Sejarah Indonesia mencatat kejahatan ini di masa pendudukan Jepang, seputar kemerdekaan, peristiwa 1965, dan kerusuhan Mei 1998. Kekerasan seksual juga terjadi pada masa damai, termasuk masa pandemi saat ini.
Dalam konflik bersenjata atau kerusuhan, perempuan dan anak mengalami penyiksaan seksual dari pihak lawan dengan tujuan melemahkan kekuatan musuh. Dalam peristiwa 1998 banyak perempuan keturunan Tionghoa di Jakarta, Solo, dan Surabaya mati, cacat seumur hidup karena genitalnya dirusak dengan benda tajam/tumpul, diperkosa bergiliran, sebagian dibunuh (TGPF, 1998). Kejahatan ini tertutup rapat, tidak tercatat, baru diketahui publik puluhan tahun kemudian setelah ada upaya pencarian ilmiah sejarah.
Negara tak belajar dari bangsa lain, Jerman misalnya, yang mengakui kejahatan kemanusiaan dan membangun memorialisasi di banyak tempat agar generasi muda tak mengulanginya: ”Mea Culpa”. Negara berutang pada para korban, dan calon korban yang tiap hari bertambah. Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah pelunasan yang sudah sangat lama dinanti.
Filosofis
Bagian paling esensial dalam proses perumusan hukum adalah bertanya kepada rakyat, apakah yang mereka alami. Dalam hal kedaruratan, dibutuhkan perlindungan hukum seperti apa? Prioritas isu hukum di DPR menjadi pusat perhatian publik, akuntabilitasnya dipertaruhkan. Jangan sampai DPR memprioritaskan rancangan hukum yang tidak dibutuhkan, tetapi mengesampingkan hukum paling mendesak.
Baca Juga: Demi UU Penghapusan Kekerasan Seksual, Korban Mulai Bersuara
Pertanyaan esensial berikutnya, mengapa hukum yang ada sekarang tak melindungi korban sehingga harus ada reformasi hukum? Pertama, kekerasan seksual dipandang hanya sebatas kejahatan kesusilaan dalam KUHP.
Bagian paling esensial dalam proses perumusan hukum adalah bertanya kepada rakyat, apakah yang mereka alami.
Kedua, definisi kekerasan seksual KUHP tak dapat mengakomodasi kompleksitas unsur-unsurnya, yaitu: (1) tindakan seksual (fisik, verbal, nonverbal), yang dilakukan secara (2) tak diinginkan (unwanted), (3) tanpa persetujuan (consent), dengan (4) pemaksaan (coercion) atau (5) pemanfaatan relasi kuasa, (6) menimbulkan kesengsaraan/penderitaan korban.
Ketiga, hukum acara (KUHAP) membebankan pembuktian pada korban, dan umumnya tak bisa dipenuhi, karena adanya stigma, rasa takut pada pelaku, atau reviktimisasi aparat penegak hukum. Korban baru berani melapor lama sesudahnya dan bukti fisik sudah hilang.
Hukum
Perumusan hukum harus melalui proses yang benar secara hukum. Pada prinsipnya harus didahului pembuatan naskah akademik. Terdapat sejumlah tes seperti ROCCIPI dan RIA (Regulatory Impact Analysis) untuk menemukan permasalahan dan dampak sosial dari hukum. Naskah akademik didasarkan pada penelitian dan assessment yang berkualitas dan validitasnya teruji.
Berbagai pasal dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual didasarkan pada ribuan kasus kekerasan setiap tahun yang dilaporkan ke Komnas Perempuan dan berbagai lembaga bantuan hukum, rumah aman, yang tersebar di seluruh Tanah Air. Laporan didapat dari para korban, keluarganya, pendamping korban, lembaga penanganan; dan sebagiannya menjadi kasus publik jika dibawa ke pengadilan.
Perumusan hukum harus melalui proses yang benar secara hukum. Pada prinsipnya harus didahului pembuatan naskah akademik.
Berbagai kasus publik itu dianalisis, didiskusikan terbuka, atau jadi bahan kuliah di fakultas hukum. Terdapat 75 fakultas hukum di Indonesia yang memiliki mata kuliah ”Gender dan Hukum”. Para dosennya melakukan penelitian, advokasi dan pendampingan korban. Dari berbagai kegiatan akademik dan advokasi ini dilahirkan naskah akademik, dan dilakukan berbagai tes terhadapnya.
Baca juga: Jalan Panjang Membangun Narasi Keragaman Jender
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dirancang sebagai lex specialis, tindak pidana khusus yang lebih memberi akses keadilan kepada korban, termasuk korban kekerasan berlapis, karena ia penyandang disabilitas, di bawah umur, dan perempuan miskin. Perumusan setiap pasalnya jelas, hampir tidak terbuka ruang bagi interpretasi pasal karet.
Memuat upaya preventif, kuratif, dan pemulihan; mengatur semua penegak hukum terkait harus mendapatkan pelatihan dan memiliki pengetahuan hukum berperspektif jender, serta larangan melakukan reviktimiasi terhadap korban.
Sosiologis
Dalam dua jam terdapat tiga korban kekerasan seksual di Indonesia (Komnas Perempuan, 2019). Dari 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan, terdapat 4.898 kasus kekerasan seksual, terdiri dari 2.807 kasus ranah domestik dan 2.091 kasus ranah komunitas. Selama masa pandemi terjadi 461 kasus, yaitu 258 kasus domestik dan 203 kasus publik (Komnas Perempuan, 2020).
Anak-anak menjadi korban kekerasan seksual di tempat yang dianggap aman, seperti rumah, sekolah, kampus, bahkan seputar rumah ibadah. Pelakunya adalah orang terdekat korban yang seharusnya menjaga mereka. Korban anak tercatat 770 dalam kasus incest (Komnas Perempuan, 2020). Di antara 123 korban anak, 21 kasus terjadi di sekolah dan pelakunya guru (KPAI, 2019). Kampus juga bukan ruang yang steril dari kekerasan seksual. Terdapat 174 kasus di 79 kampus di 29 provinsi. Korbannya 93 persen mahasiswi, umumnya tak melapor (Jakarta Post, 2019).
Kampus juga bukan ruang yang steril dari kekerasan seksual.
Reformasi hukum
Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual didesakkan Sidang Rakyat yang dipelopori anak-anak muda mewakili ratusan organisasi masyarakat Indonesia Timur, Tengah, dan Barat dari Aceh sampai Papua. Peserta sidang yang memberi kesaksian adalah penyintas, pendamping korban, tokoh berbagai agama, aktivis, dan akademisi.
Baca Juga: Ditunggu, Komitmen DPR untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Mereka memberi kesaksian tentang berbagai jenis kekerasan seksual. Pelakunya diidentifikasi sebagai orang dengan relasi kuasa terhadap korban, seperti ayah terhadap anak, dosen terhadap mahasiswa, guru terhadap murid, atasan terhadap bawahan di tempat kerja, petugas rumah aman yang seharusnya melindungi.
Banyak korban tidak mengerti bahwa yang terjadi terhadap dirinya adalah kekerasan seksual, karena mereka buta terhadap literasi soal ketubuhan dan seksualitas, tidak pernah ada pendidikan tentang hal itu, dan buta hukum.
Negara harus hadir untuk menuntaskan ribuan kasus setiap tahun dan kasus baru setiap hari. Negara juga harus melindungi kita semua dari mereka yang menentang RUU ini, kelompok dengan tafsir misoginis (pembenci perempuan).
Tujuan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah menghentikan kekerasan seksual dan menjerakan pelaku agar tidak ada korban lain.
Masa depan bangsa Indonesia tidak hanya tentang kecukupan sandang dan pangan, tetapi juga jaminan rasa aman dan terlindungi dari kejahatan kemanusiaan yang paling merendahkan martabat.
Sulistyowati Irianto, Co-founder Kuliah Gender dan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.