Yang betul-betul gawat adalah apabila sistem hukum dan perpolitikan bertentangan dengan Pancasila.
Oleh
Franz Magnis-Suseno
·4 menit baca
Dalam tulisannya di harian ini, 7 September, Yasraf A Piliang mengangkat isu ”Darurat Pancasila” yang menjadi pokok bahasan suatu Forum Guru Besar ITB. Pancasila darurat: ”Kehidupan sosial-politik … kian keras, sangar, bengis, vulgar, kriminal dan korup”.
Bahwa demokrasi kita jauh dari memuaskan, bahwa partai-partai politik tidak bermutu, bahwa DPRD-DPRD dan bahkan DPR dipandang sebagai rawan korupsi: itu sulit disangkal dan itu serius. Akan tetapi, ”darurat Pancasila”? Apa tidak berlebihan? Kapan dalam sejarah Indonesia dan di mana di dunia para politisi tidak suka vulgar dan bengis? Justru karena itu kontrol demokratis perlu.
Sebenarnya bukannya (seperti ditulis) ”nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kebijaksanaan, permusyawaratan dan keadilan ... diganti ... materialisme, anti-Tuhan, keserakahan, ketakpedulian, individualisme dan egoisme”, melainkan, meskipun nilai-nilai itu terus-menerus ditrompetkan, kelakuan para politisi tidak sesuai.
Sekadar pertanyaan: ”Anti-Tuhan” maksudnya apa? Yang saya lihat: ada orang beragama membawa diri dengan cara yang justru membuat banyak orang merasa, lebih baik tak ber-Tuhan daripada ber-Tuhan seperti mereka itu.
Yang betul-betul gawat adalah apabila sistem hukum dan perpolitikan bertentangan dengan Pancasila. Kalau 1.500 orang eks-Gafatar yang bercocok tanam ramah lingkungan diserang oleh massa beringas 5.000 orang, rumah, sepeda motor dan harta lain milik mereka dibakar, dan tak satu pun dari bandit-bandit itu dihukum oleh pengadilan.
Kalau mahasiswa Papua yang marah karena orang Papua diejek sebagai monyet malah dihukum sendiri. Kalau undang-undang tentang kekerasan seksual sejak bertahun-tahun tidak juga disahkan DPR. Itulah darurat Pancasila.
Yang betul-betul gawat adalah apabila sistem hukum dan perpolitikan bertentangan dengan Pancasila.
Individualisme
Tak capai kita mendengar keluhan bahwa reformasi menggantikan kekeluargaan, gotong royong, musyawarah dengan individualisme. Padahal, 60 tahun lalu, Prof Koentjaraningrat sudah menulis bahwa praktik-praktik gotong royong sudah mati (kecuali dalam hal kesripahan).
Apa mengherankan? Indonesia sejak sebelum Proklamasi sudah mau menjadi negara modern: Dengan sistem pendidikan yang fokus pada prestasi dan peringkat individual siswa (sikap sosial anak pintar yang membantu temannya dalam ujian malah dihukum). Sekurang-kurangnya 80 persen bread winner kita hanya bisa hidup kalau mempunyai tempat kerja individual—sekurang-kurangnya gerobak dorong di jalan.
Mencari pekerjaan saja harus bersaing. Di Indonesia pun berlaku apa yang berlaku hampir di seluruh dunia: kalau tak punya duit, kau tak ada. Di mana di dunia modern ini masih ada tempat gotong royong dan musyawarah?
Budaya kota dengan fokus pada keluarga, dengan lingkungan sahabat yang dipilih (bukan lagi otomatis tetangga) tidak sama dengan individualisme. Apalagi sisa-sisa kesosialan tradisional sudah dibunuh oleh 32 tahun Orde Baru yang memanfaatkannya dengan sinis demi pembetonan kekuasaan diri dan keluarganya.
Rasanya kita tidak akan menyelamatkan kemanusiaan kita dengan kembali ke pola-pola sosial pra-modern, tetapi hanya dengan memastikan bahwa hak-hak asasi manusia tidak pernah bisa diremehkan lagi—terima kasih MPR pilihan rakyat 1999 yang memasukkannya ke dalam UUD kita—bahwa kebijakan pembangunan secara konsisten berfokus pada penghapusan kemiskinan, dan bahwa para pemegang senjata tidak pernah lagi diizinkan mendapat posisi di mana mereka dengan impunitas bisa mengabaikan tatanan hukum. Salam Marsinah!
Demokrasi
Untuk keluar dari ”darurat Pancasila” itu, Forum Guru Besar (FGB) ITB mengusulkan MPR sekali lagi mengamendemen UUD 1945 dan membatalkan pemilihan langsung (presiden?) oleh rakyat, mengembalikan fungsi MPR dan ”memberikan fungsi proporsional pada kaum agamawan, cendekiawan, TNI, sultan/pemangku adat dan kaum profesional”.
Usulan yang sulit dimengerti. Apa para guru besar mau mencabut kembali hak rakyat untuk sendiri menentukan siapa yang memimpinnya? Lagi-lagi kecurigaan ”kelas feodal” terhadap orang biasa? Bukankah semua, (semua!), pemilihan umum bebas sampai sekarang, 1955, kemudian 1999 dan seterusnya, membuktikan kematangan demokratis masyarakat kita?
Bukankah semua pemilihan itu berlangsung tertib, damai, tanpa ada orang dibunuh?
MPR ditingkatkan? Inggih monggo. Hanya perlu diingat: sebelum MPR pilihan rakyat 1999—MPR yang justru mempertahankan Pancasila—semua MPR tidak lebih dari lembaga rubberstamp (tukang stempel) yang diangkat seenaknya oleh penguasa.
”Peran proporsional agamawan, cendekiawan, TNI, sultan/pemangku adat”? Atas dasar apa? Adakah contoh satu pun bahwa perpolitikan menjadi lebih bermutu apabila agamawan dilibatkan?
Apalagi kaum cendekia: sejarah, termasuk sejarah Indonesia, penuh dengan cendekiawan yang menjual diri pada penguasa: La trahison des clercs. Dan juga apakah FGB ITB serius mau melibatkan kembali para sultan dan pemangku adat yang sejak 75 tahun—tidak tanpa alasan—tak diberi kedudukan dalam sistem politik Indonesia Merdeka?
Darurat Pancasila kiranya tidak akan diatasi dengan suatu re-feodalisasi, melainkan dengan secara konsekuen dan konsisten meneruskan garis demokratis yang diwujudkan oleh MPR pilihan rakyat pertama kita.
(Franz Magnis-Suseno, Guru Besar Purnawaktu Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara)