Bagaimana agar proses belajar tetap terjadi meski jarak jauh, hal itu yang seharusnya menjadi pijakan kebijakan di masa pandemi ini, dan bagaimana anak-anak yang rentan tak semakin tertinggal.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Permasalahan pembelajaran jarak jauh sejak awal pandemi Covid-19 masih terkendala ketiadaan gawai atau laptop, akses internet, hingga tarif paket data yang mahal.
Keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengalokasikan anggaran sebesar Rp 7,2 triliun untuk subsidi pulsa dan kuota internet bagi guru, dosen, siswa, dan mahasiswa untuk empat bulan ke depan patut diapresiasi. Paling tidak, subsidi ini bisa membantu mengatasi masalah mahalnya paket data untuk pembelajaran dalam jaringan (daring) hingga akhir tahun ini.
Ada dua catatan terkait kebijakan ini. Pertama, harus dipastikan subsidi tersebut tepat sasaran. Tentu tidak semua guru, dosen, siswa, dan mahasiswa yang berjumlah lebih dari 55,7 juta orang itu butuh subsidi. Ada yang mampu secara ekonomi dan ada yang tidak membutuhkan karena tidak memiliki gawai, bahkan daerahnya belum terjangkau layanan internet.
Kedua, lagi-lagi kebijakan ini hanya untuk mendukung pembelajaran daring. Mulai dari penyediaan platform belajar relaksasi dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk subsidi pulsa bagi guru dan siswa.
Pembelajaran jarak jauh di masa pandemi ini juga dilakukan secara luring atau di luar jaringan di sejumlah sekolah. Ini dilakukan karena siswa tidak memiliki gawai atau tinggal di daerah yang belum terjangkau layanan internet, seperti di sejumlah daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Belum ada data berapa jumlah siswa yang mengikuti pembelajaran luring. Mengacu pada data sekolah di Kemendikbud, 40.779 atau sekitar 18 persen sekolah dasar dan menengah tidak memiliki akses internet dan 7.552 atau sekitar 3 persen sekolah belum terpasangi fasilitas listrik. Data perencanaan digitalisasi nasional pun menyebutkan, 7.904 desa/kelurahan belum terjangkau layanan internet.
Pembelajaran luring juga bukan tanpa kendala. Guru tak selalu mudah mengunjungi siswa. Selain terkait protokol kesehatan, beberapa terkendala kondisi geografis yang tidak mudah diakses. Bahkan, berdasarkan survei Wahana Visi Indonesia, ada siswa yang tidak dapat mengikuti pembelajaran daring dan juga luring.
Ada 40.779 atau sekitar 18 persen sekolah dasar dan menengah tidak memiliki akses internet serta 7.552 atau sekitar 3 persen sekolah belum terpasang fasilitas listrik.
Namun, harus diakui, perhatian kita cenderung pada pembelajaran daring. Penggunaan diksi pembelajaran jarak jauh, disadari atau tidak, mengarahkan kita pada pembelajaran menggunakan alat bantu teknologi digital.
Kita seolah melupakan makna belajar yang sesungguhnya, pembelajaran yang membuat siswa mendapatkan pengetahuan dengan bantuan guru. Program Belajar di Rumah melalui TVRI dan RRI memang membantu siswa mendapatkan materi pelajaran. Namun, sejatinya siswa belum belajar karena bantuan guru tetap diperlukan untuk mengolah informasi tersebut menjadi pengetahuan.
Bagaimana agar proses belajar tetap terjadi meski jarak jauh, itu yang seharusnya menjadi pijakan kebijakan di masa pandemi ini dan bagaimana anak-anak yang rentan tidak semakin tertinggal. Tak ada solusi tunggal mengatasi soal ini mengingat kondisi masyarakat yang beragam dan wilayah yang amat luas. Solusi itu juga harus adil bagi semua kelompok.