Dalam penanggulangan wabah korona, perlu digalang persatuan dan soliditas komponen bangsa. Namun, rasionalitas ilmiah dan kebebasan berpendapat juga baik untuk terus menjadi perhatian bersama.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Setiap tahun Dewan Pers melakukan survei indeks kebebasan pers di sejumlah kota di Tanah Air. Ini memperlihatkan betapa kita serius terhadap soal kebebasan pers.
Mungkin saja di tengah berbagai permasalahan mendesak dewasa ini, seperti isu terkait pandemi, kebebasan pers bukan sesuatu yang urgen untuk dibahas. Padahal, untuk komunitas global, kebebasan pers selalu menjadi sorotan dan sejumlah lembaga internasional membuat indeks kebebasan pers setiap negara. Memang membaca laporannya kita kadang terheran.
Sejumlah negara, yang menurut pandangan kita kurang bebas persnya, justru berperingkat lebih tinggi daripada kita. Sedikit analisis, meski kontrol pemerintah kuat, tidak ada laporan tindak kekerasan terhadap wartawan. Sebaliknya, meskipun kita memiliki banyak keleluasaan untuk menulis, termasuk mengkritik, masih ada kekerasan kepada wartawan. Masih ada pula aksi kekerasan terhadap wartawan yang belum terungkap. Ini dinilai lebih buruk dibandingkan negara lain.
Dalam perkembangan mutakhir, ada tengara keleluasaan menulis berita di Tanah Air kini terganggu. Selasa (25/8/2020), harian ini melaporkan peretasan yang dialami media daring Tirto.id pada 20-21 Agustus 2020 karena memuat berita tentang obat korona. Berita itu dihapus dan setelah diunggah kembali juga dihapus lagi. Sementara yang dialami Tempo.co lain lagi. Tampilan visual situs atau halaman web diubah. Ada upaya untuk menghapus semua basis data pemberitaan pula.
Terhadap aksi ini, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) mengeluarkan kecaman keras. Penghapusan berita berarti menghilangkan akses publik (atas informasi). Menurut Sekretaris Jenderal AMSI Wahyu Dhyatmika, peretasan akan memunculkan iklim ketakutan untuk menulis secara kritis dan terbuka. Apalagi, sebelum ini, wartawan yang menulis berita kritis mengalami doxing. Data pribadinya disebarkan di dunia maya.
Menurut catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), serangan siber semakin masif terjadi dalam dua tahun terakhir dan menguat setahun terakhir. Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara dalam laporan bulan Mei-Juni 2020 mencatat, ada 23 kasus serangan digital kepada media, wartawan, dan aktivis. Serangan juga dialami warga sipil, seperti akademisi, dokter, mahasiswa, dan aktivis LSM.
Ada desakan agar pemerintah bertindak untuk mengatasi serangan siber mengingat serangan sering ditujukan kepada media atau pihak yang mengkritik kebijakan pemerintah, terutama yang menyangkut penanganan wabah virus korona.
Menurut catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, serangan siber semakin masif terjadi dalam dua tahun terakhir dan menguat setahun terakhir.
Isu kemerdekaan pers menjadi catatan komunitas internasional dan berpengaruh terhadap indeks demokratisasi satu negara. Terpulang kepada kita, apakah ingin dicitrakan sebagai negara otoritarian atau negara demokrasi. Memang komunitas pers tidak menyebut siapa pelaku peretasan, tetapi masyarakat yang maju dalam pemahaman pemberitaan punya insting untuk mengetahui siapa pelaku peretasan.
Kita sepandangan, dalam penanggulangan wabah korona perlu digalang persatuan dan soliditas komponen bangsa. Namun, rasionalitas ilmiah dan kebebasan berpendapat juga baik untuk terus menjadi perhatian kita.