Serangan digital kerap ditujukan kepada siapa saja yang mengkritik kebijakan pemerintah, terutama media dan wartawan. Negara melalui aparat penegak hukum punya tanggung jawab untuk mengusutnya.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peretasan terhadap sejumlah media siber atau media daring bukan sekadar bentuk vandalisme digital. Lebih dari itu, tindakan tersebut merupakan ancaman terhadap kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi. Dugaan sementara, peretasan ini terkait sikap kritis media tersebut tentang penanganan Covid-19.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) mencatat paling tidak empat media siber mengalami peretasan hampir bersamaan akhir pekan lalu. Dua media daring sudah menyampaikan laporan secara resmi, yaitu Tirto.id dan Tempo.co.
Situs web tirto.id diretas pada 20-21 Agustus 2020. Pelaku beberapa kali menghapus atau mengubah artikel berita berjudul ”Soal Obat Corona: Kepentingan BIN dan TNI Melangkahi Disiplin Sains”. Kondisi ini berulang meski tim Tirto.id mengunggah ulang berita tersebut. Total ada delapan berita terkait pembuatan obat Covid-19 yang diubah pelaku.
Pada 21 Agustus 2020, tampilan situs berita Tempo.co dirusak dua kali pada pukul 00.00 hingga 02.30. Pelaku menyerang situs web (website defacement) dengan cara mengubah tampilan visual situs atau halaman web. Pelaku juga berupaya menghapus seluruh basis data pemberitaan.
Dua media daring lainnya yang juga mengalami peretasan, kata Sekretaris Jenderal AMSI Wahyu Dhyatmika, belum memberikan laporan secara resmi. Namun, yang jelas kedua media tersebut juga mengalami peretasan seperti Tirto.id dan Tempo.co.
”Kami mengecam keras modus-modus penyerangan seperti ini. Meretas media daring juga sama dengan menutup akses publik. Sesuai prinsip kebebasan pers, akses publik terhadap platform (berita) tidak boleh dibatasi,” kata Wahyu dalam jumpa pers Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Melawan Peretasan yang dilakukan secara daring, Senin (24/8/2020).
Jika kondisi tersebut dibiarkan, kata Wahyu, akan menyebabkan iklim ketakutan untuk menulis secara kritis dan terbuka. Apalagi pernah wartawan mengalami doxing (penyebarluasan data pribadi di dunia maya) karena tulisannya yang kritis. Kasus peretasan tersebut juga dikhawatirkan akan mendorong swasensor di ruang redaksi karena media tidak berani bersikap kritis.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Abdul Manan menilai peretasan tersebut sebagai upaya meredam sikap kritis media. Salah satu indikasi, media-media yang disasar merupakan media yang selama ini menyajikan berita-berita yang kritis. ”Serangan digital ini seperti memberi peringatan pada media untuk berhenti kritis,” katanya.
Semakin masif
Menurut catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YKBHI), serangan siber atau serangan digital semakin masif terjadi dua tahun terakhir, yang menguat satu tahun terakhir. Data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet), pada Mei-Juni 2020 terdapat 23 kasus serangan digital kepada media, wartawan, dan aktivis.
”Bersamaan dengan serangan pada media dan wartawan, juga terjadi serangan pada masyarakat sipil, seperti pada akademisi, dokter, mahasiswa, juga lembaga swadaya masyarakat. Jika pemerintah tidak bertindak, sikap pemerintah menikmati ini,” kata Era Purnamasari, Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI.
Berdasarkan catatan KKJ, serangan digital kerap ditujukan kepada siapa saja yang mengkritik kebijakan pemerintah. Salah satunya, pada 19 Agustus lalu, akun media sosial Twitter milik Pandu Riono, epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, diretas. Selama ini Pandu sering mengkritik penanganan pandemi Covid-19, termasuk menyoroti penelitian Universitas Airlangga dengan BIN dan TNI yang diklaim sebagai obat Covid-19 pertama di dunia.
Berdasarkan hasil kajian Amnesty Internasional terhadap kecenderungan peretasan di dunia sejak 2010, kata Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid, ada peran negara dalam kasus-kasus peretasan warga. Hasil kajian Universitas Toronto, serangan digital juga terdeteksi di Indonesia.
”Bisa jadi (yang terjadi) di Indonesia mencerminkan pola yang sama, bisa dilakukan pemerintah, atau kelompok di luar pemerintah tetapi mempunyai asosiasi dengan pemerintah, atau melibatkan kelompok kriminal. Seluruhnya mensyaratkan peran negara untuk membongkarnya,” katanya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin mengatakan, ada dua pelanggaran dalam peretasan tersebut. Pertama, melanggar Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Pers karena menghalangi aktivitas dan kerja jurnalistik. Kedua, melanggar Pasal 32 dan 35 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Media yang bersangkutan melaporkan peretasan tersebut ke kepolisian dan juga ke Kementerian Komunikasi dan Informatika. Namun, Era menyarankan media menggunakan UU Pers saat melaporkan kasusnya. ”Saya tidak yakin (akan diproses) kalau menggunakan UU ITE,” katanya.