Masyarakat perlu membangun kesadaran terhadap keamanan data. Jajak pendapat Litbang ”Kompas” menunjukkan adanya kecenderungan pemahaman individu yang masih lemah terhadap keamanan data pribadi di ruang digital.
Oleh
Arita Nugraheni
·5 menit baca
Kesadaran terhadap keamanan data menjadi penting karena peran masyarakat sebagai pengguna turut menentukan dalam perlindungan data di ranah digital. Kesadaran itu perlu dibangun untuk menangkis kejahatan siber. Namun, kesadaran terhadap keamanan data masyarakat saat ini relatif masih rendah.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas akhir Januari 2022 menunjukkan hampir separuh responden (46,5 persen) tidak tahu dan tidak menyadari aktivitas daring, seperti browsing, belanja, dan aktivitas di media sosial lainnya, merupakan sumber data yang penting. Pengetahuan soal pentingnya data jadi pekerjaan rumah pertama untuk membangun kesadaran terhadap keamanan data.
Ketidaktahuan ini menjadi cermin masih rendahnya kesadaran akan data memengaruhi kesadaran terhadap keamanan data. Hasil jajak pendapat ini turut menunjukkan belum terciptanya masyarakat yang menerapkan protokol keamanan digital. Sebagian besar responden belum menerapkan langkah-langkah pengamanan data, seperti membaca ketentuan keamanan, mengganti kata sandi berkala, dan memeriksa kredibilitas layanan digital, seperti aplikasi.
Sebanyak 22,4 persen responden mengaku tidak membaca syarat dan ketentuan terkait keamanan data saat mengisi data pribadi di sistem atau aplikasi digital. Enam dari sepuluh responden mengaku membaca ketentuan yang diberikan, tetapi hanya dua responden yang benar-benar membaca secara teliti.
Mempelajari syarat dan ketentuan menjadi aspek penting dalam menilai keamanan penyelenggara sistem elektronik (PSE). Co-founder Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) M Novel Ariyadi menyebutkan, pengguna diharapkan tidak menggunakan aplikasi yang berdampak pada kerentanan sistem. Pengguna juga wajib meneliti relevansi izin akses yang diminta oleh sebuah aplikasi (Kompas, 14/9/2021).
Selain kesadaran terhadap data yang relatif rendah, protokol pengamanan akun dengan penggantian kata sandi secara berkala juga belum jadi kebiasaan. Separuh lebih responden (67,9 persen) mengaku tidak pernah mengganti kata sandi di akun-akun digitalnya. Hanya sebagian kecil responden yang mengganti kata sandi secara berkala, itu pun hanya pada akun tertentu.
Sebanyak 22,4 persen responden mengaku tidak membaca syarat dan ketentuan terkait keamanan data saat mengisi data pribadi di sistem atau aplikasi digital. Enam dari sepuluh responden mengaku membaca ketentuan yang diberikan, tetapi hanya dua responden yang benar-benar membaca secara teliti.
Bagaimanapun menerapkan protokol cyber hygiene dengan mengganti kata sandi dibutuhkan untuk meminimalkan peretasan data. Penerapan prinsip pemilihan kata sandi yang kuat dan penerapan otentikasi multifaktor jadi langkah lanjutan yang bisa dilakukan untuk mengamankan data.
Kesadaran publik pada keamanan data juga tergambar dari ketelitian memeriksa setiap aplikasi yang terdapat di gawai. Sejumlah aplikasi diketahui dapat meretas data di gawai untuk disalahgunakan. Sebanyak 59 persen responden menyatakan tak pernah memeriksa keamanan aplikasi yang ada di ponsel pintar miliknya. Hanya sepertiga responden mengecek keamanan aplikasi, itu pun hanya sebagian kecil yang melakukannya secara berkala.
Hasil jajak pendapat ini makin menegaskan masih rendahnya penerapan protokol keamanan data pengguna layanan daring, khususnya di ranah digital. Hal ini menjadi gambaran ke depan terkait pentingnya menumbuhkan kesadaran publik terhadap keamanan digital.
Kejahatan siber
Kesadaran terhadap pentingnya keamanan data ini tidak lepas dari maraknya kejahatan di dunia digital. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) melaporkan, lebih dari 888,7 juta serangan siber terjadi pada Januari hingga Agustus 2021. Pada akhir 2021, jumlahnya mencapai 1,6 miliar serangan siber. BSSN juga melaporkan, 5.574 kasus peretasan terjadi sepanjang 2021. Tiga sektor yang paling banyak mengalami peretasan adalah situs pendidikan tinggi, swasta, dan pemerintah daerah (Kompas, 20/1/2022).
Jajak pendapat juga merekam, kejahatan siber yang berakar dari pencurian data pernah dialami 17,4 persen responden. Kelompok ini mengaku pernah jadi korban penipuan, yakni dengan cara pelaku menggunakan data pribadi mereka. Sementara sebagian kecil responden lain menyampaikan penipuan serupa terjadi pada kerabat dekat mereka. Potret ini menambah catatan buram kejahatan yang berakar dari lemahnya pengamanan data pribadi.
Sepertiga responden dalam jajak pendapat (35,3 persen) berharap pemerintah meningkatkan sistem dan infrastruktur keamanan digital.
Masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap pesan dari seseorang tak dikenal. Pesan dengan link yang mencurigakan berpotensi besar pada jebakan kejahatan siber. Namun, sensitivitas publik terhadap potensi kejahatan digital ini cenderung masih lemah.
Sebanyak 64,5 persen responden mengaku membiarkan jika mereka menghadapi potensi-potensi kejahatan digital ini. Meskipun demikian, sebagian responden lain mengaku melakukan langkah antisipatif. Sebagian responden mengaku memblokir nomor orang tidak dikenal yang mengirim pesan atau menelepon, bahkan sebagian lain cenderung mengambil langkah untuk mengadukannya ke kepolisian.
Selain upaya dari masyarakat, perisai pengamanan data digital membutuhkan kolaborasi dari pemerintah dan penyelenggara sistem elektronik. Sepertiga responden dalam jajak pendapat (35,3 persen) berharap pemerintah meningkatkan sistem dan infrastruktur keamanan digital. Dorongan untuk mengambil langkah tersebut tak bisa dilepaskan dari dugaan peretasan yang menyasar jaringan kementerian/lembaga negara.
Sebagian responden lain juga menyampaikan pemerintah perlu lebih selektif dalam menyeleksi pegawai yang bertugas dalam penataan data digital. Hal ini ditujukan untuk meminimalkan perilaku koruptif penjualan data yang dilakukan oknum internal.
Perlindungan data
Publik juga berharap adanya penguatan regulasi terkait penyelenggara sistem elektronik. Sepertiga responden berharap pemerintah menerapkan sanksi tegas bagi penyelenggara sistem elektronik yang tidak bertanggung jawab. Sanksi tegas dalam bentuk denda yang memberatkan bisa menjadi pilihan untuk memberikan efek jera.
Dorongan pada penyelenggara sistem elektronik yang bertanggung jawab ini senada dengan pendapat dari empat dari sepuluh responden yang tidak yakin aplikasi atau situs web yang digunakan akan menjaga kerahasiaan data pengguna.
Pada akhirnya, jajak pendapat menangkap harapan agar pemerintah segera merampungkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Bersama dengan revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU Keamanan Ketahanan Siber, percepatan pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi diharapkan akan memperkuat payung hukum keamanan data digital.
Tentu, sebelum infrastruktur regulasi itu ada dan menjadi jaminan perlindungan, kesadaran pribadi setiap pengguna terhadap pentingnya keamanan data digital harus diperkuat. Kesadaran publik akan pentingnya keamanan data merupakan perisai utama untuk menangkal kejahatan siber.