Di Old Trafford, terlihat jelas bagaimana seharusnya gaya bermain MU. Mirisnya gaya itu dicontohkan oleh tim lawan.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·5 menit baca
Permainan ofensif yang agresif dan reaktif, serta berbasis penguasaan bola, seolah semakin menjauh dari Manchester United. Masalahnya tidak hanya itu, pendekatan pragmatis Manajer Erik ten Hag yang bergaya langsung dan mengandalkan transisi serangan balik juga terbilang tanggung. Mereka terjebak dalam krisis identitas.
Bibit masalah tersebut terpampang dalam hasil imbang antara tuan rumah MU versus Tottenham Hotspur 2-2 di Stadion Old Trafford, pada Senin (15/1/2024) dini hari WIB. Tim tamu justru menunjukkan gaya bermain intens dan lebih dominan, sesuatu yang sempat diharapkan para pendukung MU terhadap Ten Hag.
Saya suka melihat Spurs bermain, menghibur. MU sulit ditonton. Tidak ada kombinasi dan pola yang jelas. Kami (pendukung) berharap permainan intens, tempo cepat, dan berbasis penguasaan. Kami juga berharap Ten Hag bisa lebih dari skema serangan balik.
”Saya suka melihat Spurs bermain, menghibur. MU sulit ditonton. Tidak ada kombinasi dan pola yang jelas. Kami (pendukung) berharap permainan intens, tempo cepat, dan berbasis penguasaan. Kami juga berharap Ten Hag bisa lebih dari skema serangan balik,” ujar mantan kapten MU, Gary Neville, dalam siniarnya.
Manajer Spurs Ange Postecoglou seperti mencontohkan bagaimana seharusnya MU bermain. Spurs mendominasi dalam percobaan tembakan 16-8 dan penguasaan bola 63,7 persen. Adapun tuan rumah minim kreasi peluang dan hanya berpangku pada efisiensi. Mereka mencetak sepasang gol dari dua tembakan ke gawang.
MU nyaris hanya mengandalkan penyerang sayap Alejandro Garnacho dan Marcus Rashford untuk memecah jebakan off-side. Hal itu berhasil di paruh pertama. Mereka bisa unggul 2-1, tetapi bisa diantisipasi Spurs seusai turun minum. Problem kreasi peluang dan minim ide kembali melanda MU, seperti terjadi sepanjang musim.
Neville menilai, identitas bermain MU masih samar. Mereka jelas bukan tim yang mengandalkan tekanan tinggi dan berbasis penguasaan, seperti Spurs. Saat bersamaan, mereka terlalu banyak menyisakan ruang di belakang untuk disebut tim pragmatis. Ruang itu yang membuat MU hilang keunggulan dua kali versus Spurs.
Identitas bermain MU sebenarnya bisa terlihat jelas dari statistik. Rerata penguasaan bola mereka hanya 52 persen, berada di peringkat ke-9. Saat bersamaan, mereka mencatat kontribusi umpan panjang terbanyak dibandingkan dengan umpan total (13,2 persen) di antara tim 10 besar, setelah West Ham United (17 persen).
Artinya, prioritas Ten Hag bukan penguasaan dan kreasi peluang dari bawah, tetapi lebih spekulatif dengan umpan-umpan panjang langsung ke area lawan. Masalahnya, itu kurang efektif. Dari data The Analyst, MU hanya mencatat 22,39 expected goals (xG) dari permainan terbuka, lebih rendah ketimbang tim papan bawah Brentford.
Sependapat dengan Neville, gelandang legendaris MU, Roy Keane, juga khawatir dengan performa tim keseluruhan setelah separuh musim berlalu. ”Jelas ada masalah di MU. Anda tidak tahu apa yang bisa didapatkan dari mereka. Kurang kualitas, kontrol, dan kepercayaan di dalam skuad,” ujarnya kepada Sky Sports.
Mencontoh Liverpool
Penguasaan bola bukan segalanya tanpa gol. Namun, sudah rahasia umum di Liga Inggris, peluang menang akan naik drastis jika mampu mendominasi penguasaan. Sebab, itu tidak hanya berguna untuk lebih banyak mengontrol permainan, tetapi juga membatasi kesempatan lawan untuk berkreasi.
Lihat saja klasemen papan atas liga saat ini. Lima tim teratas mencatat penguasaan bola lebih dari 55 persen. Tiga tim calon kuat juara di musim ini lebih dominan lagi dalam mengontrol permainan, yaitu Manchester City (64,1 persen), Arsenal (60,3 persen) dan Liverpool (60,2 persen). Spurs membuntuti dengan 59,3 persen.
Bukan kebetulan, tiga tim dengan penguasaan terbanyak itu juga tercatat memiliki pertahanan terbaik. Mereka kecolongan kualitas peluang lawan atau expected goals against (xGA) paling rendah di liga. Tentunya hal itu turut dipengaruhi formasi pertahanan yang tetap siaga saat penguasaan dan kualitas pemain.
Secara ide bermain, MU sebenarnya paling dekat dengan Liverpool. Kedua tim sama-sama sering mengandalkan umpan panjang dan transisi. Berbeda dengan tim-tim papan atas lain yang lebih bertumpu dengan umpan-umpan pendek di ruang sempit. Bedanya, Liverpool punya dua opsi menciptakan peluang yang lebih baik.
Dengan gegenpressing ala Manajer Juergen Klopp, Liverpool sering kali merebut bola di separuh pertahanan lawan. Hal itu memungkinkan mereka lebih cepat sampai ke gawang lawan, juga mengurangi risiko di pertahanan sendiri. MU sering kali kecolongan, membiarkan tim lawan masuk ke sepertiga akhir dan berujung fatal.
Liverpool juga bisa mengombinasikan permainan sabar dan transisi cepat saat bersamaan. Mereka membuka ruang dengan kombinasi umpan di pertahanan. Saat lawan terpancing dan ada ruang terbuka, mereka baru mengirimkan umpan panjang ke area lawan. Adapun MU lebih cepat kehilangan bola dan lambat merebut kembali.
Ten Hag sempat berkata di November lalu, tidak bisa mengulang gaya ofensif seperti di Ajax untuk MU. Para pemain ”Setan Merah” memiliki kelebihan yang beda, lebih cocok untuk bermain langsung dan tanpa basis penguasan bola. Itu yang membuat sang manajer mengambil jalan pintas bermain lebih pragmatis.
Namun, alasan tersebut bisa dimentahkan dalam laga malam itu. Spurs musim lalu juga bermain pragmatis di bawah Manajer Antonio Conte. Lalu, permainan mereka berubah drastis di era Postecoglou. Sang manajer mewujudkan permainan ofensif hanya dengan satu jendela transfer. Ten Hag sudah 18 bulan di MU.
Menurut Neville, masa depan Ten Hag semakin abu-abu seiring dengan hadirnya pemilik baru. ”Saya pikir pemilik baru ingin datang dan melihat permainan yang elektrik dan menghibur. Jika tidak bisa mengembangkan gaya main dari saat ini, (nasib) Ten Hag sangat rentan. Tanpa gaya main jelas, Anda akan kesulitan,” ujarnya. (AP/REUTERS)