Wisata 730 Warsa Surabaya
Surabaya, Jawa Timur, menjadikan Piala Dunia U-17 Indonesia kurun 10-21 November 2023 di Stadion Gelora Bung Tomo sebagai promosi kekayaan pariwisata dan budaya terutama aspek kesejarahan.
Aksi pendukung tim U-17 Indonesia dari tribune selatan Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya, Jawa Timur, Senin (13/11/2023), ketika tim kesayangan menyamakan skor 1-1 melawan Panama di Piala Dunia U-17 2023. Surabaya termasuk tuan rumah penyelenggara Piala Dunia U-17 bersama Jakarta, Bandung, dan Solo.
Mereka datang seperti gelombang. Beribu-ribu orang menyerbu Surabaya, Jawa Timur, untuk Piala Dunia U-17 pada kurun 10-21 November 2023. Dengan bus-bus dari enam pemberangkatan, mereka menuju Stadion Gelora Bung Tomo di Surabaya Barat.
Mereka memakai jersei Indonesia untuk mendukung tim sepak bola U-17 menjalani laga penyisihan Grup A. Seperti laskar rakyat semesta, mereka mendukung tim ”Garuda Muda” yang sedang melawan musuhnya, yakni Ekuador (10 November), Panama (13 November), dan Maroko (16 November).
Terbersit peristiwa Pertempuran Surabaya yang memuncak pada 10 November 1945 dan kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan. Tak salah dan tak berlebihan jika Surabaya diberi kehormatan menjadi panggung perjuangan perdana Indonesia di turnamen sepak bola remaja terakbar sejagad. Ada semangat keberanian tanpa batas yang diharapkan mendorong Garuda Muda terbang sejauh mungkin di turnamen.
Baca juga : Suporter Indonesia dari Terminal ke ”Kurva” Selatan
Pada Jumat (10/11/2023) dini hari, Fadilah dan Faturahman, dua sahabat karib dari Cilegon, Banten, sudah tiba di Stadiun Surabaya Pasar Turi. Mereka bergegas menuju hotel yang sudah dipesan di dekat Balai Kota Surabaya untuk menitipkan barang.
Selepas pukul 08.00, keduanya sedang berfoto dengan instalasi suro lan boyo yang mengapit bola besar untuk Piala Dunia U-17 di trotoar balai kota, tepi Jalan Walikota Mustajab. Mereka kemudian melihat dan mengikuti meski dari jauh upacara Hari Pahlawan di balai kota itu.
”Tadi pagi, sebelum ke sini, saya sempat lari, tidak jauh, menikmati Kalimas dan kawasan bersejarah di sini,” kata Fadilah.
Ia dan sahabatnya memilih menginap di dekat balai kota yang merupakan kawasan cagar budaya. Untuk menonton laga sepak bola, balai kota termasuk dalam enam lokasi pemberangkatan bus menuju stadion.
Baca juga : Piala Dunia U-17, Kesempatan Surabaya Kenalkan Wisata Sejarah
Mengajukan cuti
Faturahman mengatakan, mereka telah mengajukan cuti sepekan demi menonton tiga laga penyisihan Indonesia U-17. Jeda 2-3 hari antarlaga dimanfaatkan oleh mereka untuk berwisata di Surabaya dan obyek-obyek sasaran di Jatim, antara lain, Bromo-Tengger-Semeru, Mojokerto Raya, Malang Raya, dan Madura.
Tidak lengkap mampir ke Surabaya tanpa ke kawasan heritage-nya.
”Kami sudah pesan hotel dan pindah-pindah biar merasakan lebih kurang akomodasi di Surabaya atau daerah lain,” kata Faturahman.
Baca juga : Nuansa Warna 730 Warsa Surabaya
Petugas bidang dekorasi Dinas Lingkungan Hidup Kota Surabaya memasang bola di dekat kaki patung Boyo yang melengkapi hiasan bertema Piala Dunia U-17 di depan Balai Kota Surabaya, Rabu (25/10/2023).
Penonton lainnya, Imam Widodo dan keluarga dari Semarang, Jawa Tengah, juga berada di Surabaya untuk menonton tiga laga penyisihan Indonesia. Namun, mereka tidak menginap, melainkan berperjalanan lewat Tol Trans-Jawa karena Semarang-Surabaya bisa ditempuh 4-5 jam.
”Berangkat pagi, sampai di Surabaya tengah hari terus lanjut naik shuttle bus ke stadion. Pulang ke Semarang gantian menyetir dengan anak,” kata Widodo saat ditemui di Stadion Gelora Bung Tomo pada Senin (13/11/2023).
Sebelum berganti naik bus antarjemput, mereka mampir untuk wisata kuline, misalnya rujak cingur di kawasan Genteng, nasi campur di kawasan Tambak Bayan, atau jajan ke kawasan Peneleh, sambil menikmati lanskap Surabaya. ”Tadi sebelum ke sini, kami mampir ke Peneleh lihat rumah kelahiran Bung Karno dan rumah HOS Tjokroaminoto,” ujar Widodo.
Ia dan keluarga merasa senang karena dapat menikmati pelesiran yang seolah komplet. Selain mendukung tim Indonesia U-17, mereka juga dapat menikmati kuliner khas dan lansekap serta narasi masa lalu Surabaya.
Baca juga : Surabaya, Kota Kampung yang Terus Menjaga Ciri Khasnya
Cagar budaya
Secara terpisah, Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga serta Pariwisata Kota Surabaya Wiwiek Widayati mengatakan, Piala Dunia U-17 menjadi momentum bagi ibu kota Jatim untuk mengenalkan potensi pariwisata termasuk kawasan bersejarah.
”Tidak lengkap mampir ke Surabaya tanpa ke kawasan heritage-nya,” ujar Wiwiek. Terdapat lebih dari 500 bangunan, struktur, benda, situs, koridor, dan kawasan cagar budaya yang dapat dinikmati oleh para pelancong ke Surabaya.
Baca juga : Menjelajah Atmosfer Asia, Timur Tengah, hingga Eropa di Kota Tua Surabaya
Kawasan cagar budaya, misalnya, berada di Bubutan, yakni Alun-alun Contong, Baliwerti, Kawatan, Kraton, Praban, dan Tumenggungan. Lalu, di Genteng ada Jagalan, Ketabang, Lawang Seketeng, Pandean, Peneleh, dan Tunjungan. Di Krembangan ada kota lama atau Europeesche Champ dan Niaga. Ada juga Kampung Arab (Arabische Champ) dan Kampung Pecinan (Chinesche Champ) di Pabean Cantian; Ampel Gubah di Semampir; Kawasan Simokerto, Keputran, Darmo, dan Surabayan di Tegalsari; dan Bodri di Wonokromo.
Selain itu, bertebaran pula bangunan cagar budaya yang bernilai sejarah serta sejumlah museum untuk memperkaya khazanah pengetahuan pengunjung. Misalnya, rumah lahir Koesno atau Soekarno, HOS Tjokroaminoto, Roeslan Abdul Gani, rumah tinggal lalu makam WR Soepratman, Museum Olahraga, Museum Pendidikan, Benteng Kedungcowek, Pelabuhan Rakyat Kalimas, dan kompleks militer.
Baca juga : Menjaga Kelenturan, Mencegah Kelunturan
Direktur Eksekutif Begandring Soerabaia Nanang Purwono mengatakan, kekayaan sejarah Surabaya terentang amat panjang sejak era klasik atau masa peradaban kerajaan Hindu-Buddha. ”Melihat Surabaya adalah menelusuri perjalanan ratusan tahun sejak adanya Kampung Curabhaya yang diyakini mencakup Peneleh saat ini,” ujarnya.
Nanang mengingatkan, Surabaya bukan berasal dari kata sura dan baya dan termanifestasi dalam logo hiu dan buaya mengapit Tugu Pahlawan pada lambang pemerintah kota. Surabaya adalah pergeseran toponimi dari Curabhaya, desa atau kawasan di tepian sungai yang mengelola penyeberangan (naditira pradeca).
Nama ”Curabhaya” disebutkan di dalam Prasasti Canggu atau Trowulan I pada 7 Juli 1358 oleh Raja Majapahit Hayam Wuruk. Di logam bertulis itu tercatat Curabhaya, Bkul (Bungkul), dan Gsang (Pagesangan) yang adalah desa-desa penyedia jasa penyeberangan sungai dengan perahu atau rakit yang di masa kini disebut tambangan. Curabhaya, dalam khazanah Jawa, menjadi sura ing baya atau berani menghadapi bahaya.
Baca juga : Menoleh ke Peneleh
Menurut sejarawan Hindia-Belanda, mendiang GH von Faber, Curabhaya merupakan penghargaan Kertanegara, Raja Singhasari, atas jasa-jasa para jawara dalam menumpas pemberontakan Kanuruhan. Pada 1270, Kertanegara mengizinkan pendirian kampung para jawara pemberani itu di tepi sungai besar dan diyakini Faber dinamai Curabhaya.
Bagi pemerintah, Surabaya telah ada sejak peristiwa pengusiran tentara Tartar oleh laskar Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit, 31 Mei 1293. Peristiwa itu dianggap heroik dan menjadi dasar penetapan legislatif dan eksekutif sebagai hari jadi Surabaya sejak Maret 1975. Sebelumnya, ulang tahun kota ini dikaitkan dengan status Surabaya sebagai resort gemeente sejak 1 April 1906.
Dengan beragam kekayaan termasuk sejarah dan narasi, memang tidak lengkap datang ke Surabaya tanpa menikmati wisata heritage. Jangan sekadar menonton Piala Dunia U-17 karena sejarah Surabaya sebenarnya juga melegenda dan mendunia.