Alih-alih menjadi turnamen tenis putri pengujung tahun yang meriah, Final WTA 2023 menjadi ajang yang mengecewakan bagi petenis. Angin kencang dan permukaan lapangan yang tak rata menyulitkan petenis untuk tampil baik.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Bermain dalam olahraga outdoor, petenis profesional harus selalu beradaptasi dengan lingkungan di mana pun mereka bertanding. Dalam turnamen Final WTA di Cancun, Meksiko, pada 31 Oktober-5 November, petenis-petenis putri elite harus berjuang menghadapi cuaca tak ideal yang menguji mental mereka.
Laga antara tunggal putri nomor satu dunia, Aryna Sabalenka, dan Elena Rybakina, Kamis (2/11/2023) malam waktu setempat atau Jumat siang WIB, berkali-kali ditunda karena hujan deras yang diiringi angin kencang. Saat angin dan hujan terjadi pada pukul 23.40, wasit pertandingan dan direktur turnamen akhirnya memutuskan menunda laga tersebut hingga keesokan harinya, mulai pukul 15.00. Pertandingan dihentikan saat Rybakina unggul 5-3 setelah kehilangan set pertama dengan skor 2-6.
Sejak pertandingan dimulai pukul 20.35 hingga diputuskan dilanjutkan pada Jumat, Rybakina dan Sabalenka berada di lapangan sambil bolak-balik ke ruang ganti, karena hujan, selama tiga jam. Padahal, durasi pertandingan tersebut hanya 1 jam 20 menit.
Pada satu momen, saat Rybakina mendapat giliran servis pada set pertama, angin bertiup sangat kencang. Juara Wimbledon 2022 itu, bahkan, kesulitan mendapat ketinggian dan arah yang tepat saat melambungkan bola untuk melakukan pukulan pertama.
Dengan sangat hati-hati, Rybakina memelankan kecepatan servisnya agar bola jatuh di area servis lawan. Akan tetapi, bola melayang terbawa angin hngga jatuh di luar area servis Sabalenka. ”Ini gila,” kata Rybakina sambil tersenyum, yang akhirnya membuat double fault pada gim itu,
Kedua petenis itu benar-benar kesulitan dalam mengontrol bola. Kualitas pertandingan ini pun berada di bawah enam pertemuan sebelumnya Sabalenka dan Rybakina, termasuk saat bersaing dalam final Grand Slam Australia Terbuka, pada Januari, yang dimenangi Sabalenka.
Padahal, pertemuan Rybakina dan Sabalenka di Cancun adalah laga penting. Kedua petenis berebut satu tiket semifinal tersisa dari persaingan Grup Bacalar. Mereka memperebutkan posisi kedua grup di bawah semifinalis lainnya, Jessica Pegula, yang tak terkalahkan dalam tiga pertandingan. Kemenangan ketiga Pegula didapat atas Maria Sakkari, 6-3, 6-2, sebelum pertandingan Rybakina melawan Sabalenka.
Sesuai peraturan, hanya dua peringkat teratas setiap grup yang berhak tampil di semifinal. Semifinalis pertama dari grup Grup Chetumal adalah Iga Swiatek. Adapun satu jatah lainnya ditentukan berdasarkan hasil pertandingan terakhir grup tersebut, Sabtu waktu Indonesia, yaitu antara Swiatek dan Ons Jabeur serta Coco melawan Marketa Vondrousova.
Pertandingan Rybakina melawan Sabalenka dan petenis lain dalam turnamen dengan hadiah total Rp 142,8 miliar itu seharusnya menjadi puncak persaingan kompetisi tenis WTA pada 2023. Apalagi, pesertanya adalah delapan petenis terbaik di tunggal dan ganda berdasarkan performa mereka sepanjang tahun.
Namun, sejak sebelum menginjakkan kaki di lapangan untuk bertanding, petenis menyadari bahwa mereka akan menghadapi tantangan cuaca cukup ekstrem. Jika pada Final WTA 2021 di kota lainnya di Meksiko, Guadalajara, tantangan yang dihadapi adalah ketinggian lokasi yang membuat tipisnya kadar oksigen, kali ini petenis menghadapi angin kencang.
Ini karena The Estadio Paradisus, stadion yang dibangun khusus untuk Final WTA, hanya berjarak 500 meter dari Laut Karibia pada satu sisi dan Laguna Nicupte pada sisi lain. Pada waktu tertentu, bermain di stadion yang hanya berkapasitas 4.000 penonton itu bagai bermain tenis di tengah badai.
Tak hanya faktor alam, yang memang tak dapat dikendalikan manusia, petenis juga harus beradaptasi dengan kondisi lapangan yang tak ideal. Kualitas permukaan lapangan, dinilai mereka dan pelatihnya, begitu buruk untuk turnamen sebesar Final WTA.
Permukaan lapangan yang tak konsisten membuat petenis kesulitan untuk menebak pantulan bola. Mereka, juga, pasti merasa khawatir cedera.
”Permukaan lapangan yang tak konsisten membuat petenis kesulitan untuk menebak pantulan bola. Mereka, juga, pasti merasa khawatir cedera,” kata pelatih Sabalenka, Anton Dubrov, dalam The Athletics.
Juru bicara Swiatek, Paula Wolecka, menyampaikan pendapat dari empat kali juara Grand Slam tersebut tentang lapangan. ”Iga mengatakan, kondisinya jauh dari ideal. Dia sebenarnya ingin berdiskusi dengan WTA, tetapi pada saat ini, Iga harus fokus pada performanya dan mencoba beradaptasi sebaik mungkin,” ujar Wolecka.
Sabalenka, bahkan, menyebut bahwa WTA tak menghormati para petenis dengan penyelenggaraan yang buruk. Apalagi, WTA baru menentukan Cancun sebagai tuan rumah Final WTA 2023 pada September hingga stadion dibangun dalam waktu singkat. Petenis baru bisa menggunakan lapangan pertandingan untuk latihan sehari sebelum turnamen dimulai.
Pendeknya persiapan penyelenggaraan Final WTA menjadi salah satu protes petenis putri yang disampaikan secara tertulis pada WTA, awal Oktober, di sela turnamen WTA 1000 Beijing. Mereka yang lolos ke Final WTA tiba di Cancun sepekan sebelum turnamen, tetapi hanya bisa berlatih di lapangan latihan.
Kondisi yang tak ideal di stadion memang telah diantisipasi setiap peserta, tetapi pada praktiknya tetaplah tak mudah. Coco, yang tinggal di Florida, Amerika Serikat, dan telah terbiasa bermain tenis dalam cuaca berangin kencang pun kesulitan. Sebelum melawan Vondrousova pada pertandingan terakhir di grup, Coco sekali menang dan sekali kalah.
”Bertanding dalam kondisi seperti ini bukanlah soal teknik dan taktik, melainkan tentang ketangguhan mental. Kita harus bisa menerima setiap kesalahan yang dilakukan dan memanfaatkan setiap peluang tipis yang diperoleh,” kata Swiatek. (AP/AFP)