Bukan tanpa alasan Jose Mourinho dipandang sebagai Guttmann modern. Mourinho kembali harus menghadapi ”kutukannya”, yaitu musim ketiga yang buruk, ditandai dengan hasil buruk bertubi-tubi AS Roma, terakhir dari Genoa.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·5 menit baca
Menjalani musim ketiga bersama AS Roma, pelatih Jose Mourinho mulai menunjukkan gejala ”penyakit” lamanya. Jika tak segera diatasi, bukan tak mungkin sejarah berulang untuk kesekian kalinya: Mourinho didepak atau pergi atas keinginan sendiri.
Pelatih asal Portugal itu bak dikutuk. Ia seperti kehilangan sihir dan performa tim asuhannya pun akan memburuk pada atau setelah musim ketiganya menangani tim sepak bola. Gejala kambuhnya penyakit musim ketiga Mourinho itu kian tampak saat AS Roma bertamu ke Genoa pada laga Liga Italia di Stadion Luigi Ferrari, Jumat (29/9/2023) dini hari WIB. Roma takluk 1-4.
Kekalahan itu memperburuk perjalanan Roma pada awal musim ini. Dengan hanya meraih satu kemenangan dalam enam laga, Roma kini terjerembap di peringkat ke-16 klasemen sementara Liga Italia. Tim ”Serigala”, julukan AS Roma, kini hanya terpaut dua poin dari zona degradasi.
Kekalahan dari Genoa juga menandai titik terendah Roma sepanjang ditangani Mourinho. Pada enam laga awal di musim pertamanya bersama Mourinho, 2021 lalu, Roma setidaknya bisa meraih empat kemenangan dalam enam laga di Liga Italia. Hasil serupa ditorehkan Mourinho dengan jumlah pertandingan yang sama pada musim berikutnya.
Padahal, pada laga melawan Genoa, kemarin, Mourinho menurunkan pemain terbaiknya. Romelu Lukaku, Lorenzo Pellegrini, dan Paulo Dybala tampil sejak menit pertama. Di lini tengah, Leandro Paredes dan Bryan Cristante juga dimainkan sejak sepak mula. Mourinho tidak punya alasan atas kekalahan telak di Genoa, jika dilihat dari materi pemain.
Roma memang dihantui masalah cedera beberapa pemain, seperti Tammy Abraham, Marash Kumbulla, Renato Sanches, dan Chris Smalling. Terbaru, Diego Llorente juga mengalami gangguan otot saat melawan Genoa. Namun, Mourinho enggan menjadikan masalah cedera itu, khususnya di lini belakang, sebagai sumber lemahnya soliditas tim.
Pertahanan Roma memang terlihat menyedihkan karena telah kebobolan 13 gol dalam enam laga. Musim lalu, butuh waktu hingga 15 pertandingan atau sampai pertengahan November bagi Roma untuk kebobolan dengan jumlah gol yang sama. Musim ini, ”I Giallorossi” alias ”Si Kuning-Merah” pun baru mencatatkan satu nirbobol, yaitu saat mereka menang 7-0 atas Empoli.
”Ini merupakan awal musim terburuk saya sebagai pelatih. Namun, saya rasa Roma belum pernah tampil di dua final Eropa berturut-turut (sebelum musim lalu),” ucap Mourinho selepas kekalahan dari Genoa.
Kendati mengakui musim ketiganya di Roma tak berjalan mulus, Mourinho juga seolah ingin menegaskan pencapaian dua musim pertamanya yang juga bersejarah. Pelatih berusia 60 tahun ini merujuk pada keberhasilan Roma menjuarai Liga Konferensi Eropa musim 2021-2022 dan menjadi runner-up Liga Europa 2022-2023.
Serupa Guttmann
Bela Guttmann, mantan pelatih Benfica, AC Milan, dan Porto, pernah mengutarakan alasan mengapa tahun ketiga bukan tahun yang mudah bagi seorang pelatih. Guttmann, salah satu pelatih legendaris periode pasca-Perang Dunia II, tidak pernah melatih lebih dari tiga tahun untuk satu klub.
”Tahun ketiga adalah tahun yang fatal,” tutur Guttmann yang meraih sembilan trofi dalam lima kompetisi berbeda, dua di antaranya Piala Champions (kini Liga Champions Eropa), dikutip The Guardian.
Bagi Guttmann, dua musim sudah lebih dari cukup bagi para pemain untuk bosan dengan tuntutan pelatih. Pemain pun, menurut Guttmann, cenderung berpuas diri. Di saat sama, lawan sudah mulai mengenal strategi tim itu dan membangun perlawanan.
Mourinho, barangkali, dapat dipandang sebagai Guttmann modern. Sejak melatih Benfica (2000), Uniao de Leiria (2001 hingga 2002), hingga Tottenham Hotspur (2019 sampai 2021), dia seolah hanya punya masa batas waktu maksimal tiga musim untuk satu klub.
Ini merupakan awal musim terburuk saya sebagai pelatih. (Jose Mourinho)
Memang tak semua klub yang dilatih Mourinho memburuk pada musim ketiga. Namun, mengalami dua musim gemilang sebelum akhirnya terpuruk pada musim ketiga juga bukanlah pengalaman asing bagi Mourinho.
Musim ketiganya di Manchester United, Chelsea, dan Real Madrid, bisa menjadi contoh. Mourinho mampu membangkitkan tim pada dua tahun pertamanya di Manchester United. Dia bahkan mempersembahkan tiga trofi, termasuk satu gelar juara Liga Europa 2016-2017.
Begitu juga dengan periode keduanya di Chelsea. Dia mengantarkan ”Si Biru” meraih gelar juara Liga Inggris musim 2014-2015. Namun, Mourinho dipecat Chelsea dan Manchester United pada awal musim ketiga setelah situasi internal tim mulai bergejolak.
Di Real Madrid, Mourinho memang tidak dipecat setelah mempersembahkan tiga trofi. Namun, dia memulai perselisihan dengan kiper utama sekaligus legenda Real, Iker Casillas. Alhasil, tidak ada pilihan bagi Mourinho selain hengkang pada musim panas 2013.
Situasi di Roma berbeda. Pelatih yang telah menangani 10 klub di Eropa ini tidak menimbulkan ketegangan di ruang ganti. Namun, banyak pemain, yang telah bersamanya sejak awal, kini mulai menunjukkan tanda kebosanan.
Rui Patricio, kiper yang bertanggung jawab atas beberapa gol yang bersarang di gawang Roma pada musim ini, tidak terlihat seperti pada musim lalu. Adapun bek Chris Smalling belum kembali pada performa terbaiknya dan kini cedera. Sementara penampilan Gianluca Mancini selalu naik-turun.
Dengan kondisi tersebut, muncul tanda tanya tentang kesanggupan Mourinho membalikkan keadaan di Roma. Apalagi, Roma tengah berjuang untuk mencapai posisi empat besar klasemen Liga Italia dan lolos ke Liga Champions.
Apa yang terjadi pada Roma bisa jadi merupakan penyakit lama Mourinho yang kambuh kembali. Lorenzo Pellegrini dan kawan-kawan akan kembali beraksi di Liga Italia pada Minggu (1/10/2023), yaitu melawan Frosinone di Stadion Olimpico, Roma.
Mourinho berjanji akan bekerja keras untuk ”mengobati” penyakitnya itu dengan meraih tiga poin dan mengubah keadaan pada laga Roma selanjutnya. Jika tidak, dengan melihat rekam jejak Mourinho selama ini, bukan tidak mungkin penyakit kambuhannya itu bisa berujung pada akhir kebersamaannya dengan Roma. (REUTERS)