PSIS Semarang Merintis Keajaiban Ketiga
Dalam perjalanannya, PSIS Semarang tergolong kurang diunggulkan dibanding klub dari kota besar lainnya. Walau bukan favorit, PSIS nyatanya pernah dua kali membuat keajaiban dengan menjadi juara.
Setiap kali menjejakkan kaki di Stadion Citarum yang terletak di kawasan timur Kota Semarang, Jawa Tengah, memori indah Budiawan Hendratno (60) bersemi berulang kali. Stadion Citarum memang tidak bisa terpisahkan dari masa lalu PSIS Semarang. Budiawan yang dulu merupakan bek sayap kiri PSIS punya kenangan indah dengan stadion tersebut karena pernah merasakan manisnya gelar juara Perserikatan 1987.
Sebelum Stadion Jatidiri selesai dibangun, PSIS menggunakan Stadion Citarum sebagai markas tim sejak 1985. Mulanya, Stadion Citarum hanyalah lapangan terbuka biasa. Barulah pada 1983, pembangunan stadion dimulai dengan menambahkan tribune beserta fasilitas lainnya seperti lampu.
Baca juga : Persib Bandung, Penjaga Marwah ”Bumi Pasundan”
Kondisi Stadion Citarum saat ini sudah mulai memudar dibandingkan dengan ketika masih menjadi markas PSIS di era Perserikatan. Atap tribune di beberapa bagiannya sudah bocor. Cat stadion, terutama di tribune Timur, mulai kusam dan perlu perawatan lebih lanjut. Sampah bekas dibakar menumpuk di bawah tribune hingga membuat tembok menjadi hitam. Tanaman liar merambat di antara kursi-kursi penonton.
Pada 2019, Pemerintah Kota Semarang sempat merenovasi Stadion Citarum, termasuk mengganti rumput alami dengan sintetis. Setelah berpindah kandang ke Stadion Jatidiri, Stadion Citarum lebih sering digunakan sebagai lapangan latihan PSIS.
Aura kebesaran PSIS saat merengkuh gelar Perserikatan 1987 nyaris tidak terasa di Stadion Citarum. Padahal, di sanalah awal mula kejayaan PSIS terbangun. Sepanjang keikutsertaannya dalam liga sepak bola kasta tertinggi Indonesia, PSIS pernah dua kali merengkuh gelar juara, yaitu Liga Perserikatan musim 1986-1987 dan Liga Indonesia 1998-1999.
Menurut Budiawan, pemain-pemain yang memperkuat PSIS kala itu hampir pasti pernah mengawali karier di Stadion Citarum dengan memperkuat klub-klub lokal peserta kompetisi internal PSIS. Budiawan adalah salah satu contohnya. Ia mengawali karier dengan memperkuat tim lokal Pemuda Mrican Complex (PMC) hingga akhirnya dipanggil untuk bergabung dengan PSIS yunior dan berlanjut ke senior.
Baca juga : Pasang Surut Pelayaran PSM Makassar
Di usia senjanya, pun, Budiawan sesekali menyempatkan diri datang ke Stadion Citarum untuk bermain sepak bola sembari mengenang masa-masa kejayaan PSIS dulu. ”Saya dan teman-teman digembleng di klub-klub amatir (peserta kompetisi internal PSIS). Gelar juara 1987 itu prosesnya cukup panjang, sejak tiga hingga lima tahun sebelumnya,” kata Budiawan ditemui di Stadion Citarum, Sabtu (8/7/2023).
Meski sudah mempersiapkan tim sejak lama, keberhasilan PSIS menjuarai Liga Perserikatan tetap dianggap sebagai sebuah hal yang ajaib. Sebab, PSIS mampu mematahkan prediksi yang memfavoritkan klub-klub besar seperti Persija Jakarta dan Persebaya Surabaya untuk menjadi juara.
Terlebih lagi kemenangan PSIS di laga final diraih atas Persebaya. Sejak babak grup hingga enam besar, PSIS belum pernah menang atas tim dari ”Kota Pahlawan” tersebut. Di babak grup, PSIS takluk 0-2 saat bertandang ke markas Persebaya. Ketika ganti bertindak sebagai tuan rumah, PSIS hanya mampu bermain imbang 0-0.
Di babak enam besar pun PSIS juga belum berhasil memetik kemenangan atas Persebaya. Kedua tim bermain imbang 1-1. Ribut Waidi menjadi pahlawan PSIS lewat gol penyama kedudukannya setelah Persebaya sempat unggul melalui Budi Johanis.
Baca juga : Tim ”Laskar Mataram”, PSIM Yogyakarta, Enggan Terus Terbenam
Di babak enam besar, Persebaya lolos ke final setelah menempati peringkat pertama grup. Adapun PSIS di peringkat kedua. Dua tim teratas bertemu di final yang berlangsung di Stadion Utama Senayan.
Kali ini, Syaiful Amri menjadi pahlawan PSIS berkat gol semata wayangnya. Ia mengukir sejarah dengan kakinya karena berhasil membawa PSIS juara Indonesia untuk pertama kali sejak berdiri pada 1932. Kemenangan yang dinanti PSIS atas Persebaya hadir di panggung yang begitu sempurna.
”Laskar Mahesa Jenar” kembali mewujudkan keajaiban dengan merengkuh gelar juara pada era Liga Indonesia 1999. Seperti pada 1987, lawan PSIS di final adalah Persebaya. Skornya pun identik, 1-0. Pemain yang dijuluki ”Maradona dari Purwodadi”, Tugiyo, menentukan kemenangan melalui gol di menit akhir laga.
Mantan kiper PSIS, I Komang Putra, mengatakan, timnya kala itu dipandang sebelah mata. Namun berkat status tim ”kuda hitam” itulah para pemain PSIS bisa tampil tanpa beban. Menurut Komang, ia dan rekan-rekannya tidak memandang siapa lawan. Satu hal yang ada dalam benak para pemain adalah setiap laga harus diibaratkan sebagai final.
Waktu itu yang diperhitungkan Persija dan Persebaya. Kami nothing to lose.PSIS modalnya kekompakan. Tidak ada pemain berlabel bintang di tim saat itu. Makanya kami bukan favorit juara.
”Waktu itu yang diperhitungkan Persija dan Persebaya. Kami nothing to lose. PSIS modalnya kekompakan. Tidak ada pemain berlabel bintang di tim saat itu. Makanya kami bukan favorit juara,” kata Komang.
Baca Juga: Perjuangan Abadi Persebaya Surabaya
Mantan pemain Arseto Solo itu mengakui ada andil Stadion Citarum dalam jalan PSIS menjadi juara. Setelah beberapa tahun digunakan sejak pertama kali diresmikan, kondisi lapangan Stadion Citarum sebenarnya jauh dari ideal. Saat hujan, laju bola tidak mulus karena sistem drainase lapangan kurang baik. Tidak dinyana, keadaan lapangan yang ala kadarnya itu justru yang mampu menempa PSIS menjadi tim yang kuat bertarung dalam kondisi lapangan seperti apapun.
Masa kegelapan
Awan mendung sempat menaungi perjalanan PSIS setelah juara 1999. ”Laskar Mahesa Jenar” tercatat dalam sejarah sebagai klub pertama di Indonesia yang turun kasta ke Divisi Satu setahun setelah menjuarai Divisi Utama. Namun, PSIS hanya perlu satu musim untuk kembali ke kasta teratas. Selain masalah pendanaan, Komang mengutarakan ada faktor lain yang menyebabkan kemerosotan prestasi PSIS dalam waktu yang relatif singkat.
”Euforianya (juara) membuat kami terlalu lengah. Di samping itu, banyak pemain kunci keluar karena direkrut klub-klub lain,” ucap Komang.
Baca Juga: ”Bajul Ijo” Menjaga Marwah Perserikatan
PSIS kembali terdegradasi pada era Liga Super Indonesia 2008. Dari sini masa kegelapan PSIS dimulai. Selama sembilan tahun, 2008-2017, PSIS berkutat di kasta kedua Liga Indonesia. Kebangkitan PSIS dimulai pada 2018 dengan keberhasilan promosi ke Liga 1. Akhir era kegelapan tiba. PSIS perlahan bertransformasi menjadi klub profesional yang mengikuti perkembangan industri sepak bola modern.
Untuk tempat tinggal pemain, PSIS membangun mess pada 2015. Lokasi mess yang dekat dengan Stadion Jatidiri memudahkan pemain dalam berlatih. PT Mahesa Jenar Semarang yang menaungi PSIS juga telah memiliki dua lapangan latihan, yaitu Lapangan Mardi Soenarto di Banyumanik yang dibangun pada 2021 dan Lapangan Wisesa di Mranggen pada 2022. Aset tersebut sangat berguna untuk keberlanjutan latihan tim. Apalagi PSIS baru saja kehilangan hak atas pengelolaan Stadion Citarum.
”Kami tidak masalah (kehilangan hak pengelolaan Stadion Citarum) karena sudah punya lapangan sendiri. Cuma memang kalau mau berlatih itu agak jauh lokasinya,” kata Chief Executive Officer PSIS, Alamsyah Satyanegara Sukawijaya atau Yoyok Sukawi.
Menurut rencana, PSIS akan membangun dua lapangan latihan lagi di kawasan Perumahan Candigolf, Kota Semarang. Tidak hanya lapangan latihan, manajemen PSIS juga bakal melengkapinya dengan kantor dan toko resmi klub. Dalam waktu beberapa tahun ke depan, sebagian besar kegiatan klub akan dipusatkan di lahan seluas 14 hektar tersebut.
Yoyok mengakui PSIS masih sulit berprestasi kendati sudah kembali ke kasta teratas sepak bola sejak 2017. Itu karena manajemen tengah berfokus membentuk pondasi yang kuat melalui pembangunan infrastruktur dasar klub. Selain membangun lapangan latihan, PSIS berencana mengikuti lelang atas hak pengelolaan Stadion Jatidiri bila Pemerintah Provinsi Jawa Tengah membuka kesempatan. Bila terwujud, pergerakan manajemen untuk mengoptimalkan pemasukan klub juga bakal lebih gencar.
Baca juga : Tekad Persis Solo Menuju Usia Seabad
”Kami tidak mau seperti dulu tahun 1999. Setelah juara tapi setahun berikutnya degradasi. Itu terjadi karena kami tidak punya fondasi yang kuat. Memang dulu kami bisa juara, tapi tidak punya mes, tempat latihan, dan perusahaan. Jadi, ya, begitu, hanya instan semata,” tuturnya.
Setelah semua kebutuhan dasar klub tersedia, Yoyok yakin PSIS akan kembali menunjukkan siapa mereka sebenarnya sekaligus mewujudkan keajaiban ketiga. Kini dari Stadion Jatidiri, PSIS berupaya memulihkan jati dirinya sebagai klub dengan tradisi juara. Yoh iso yoh!