Perjuangan Abadi Persebaya Surabaya
Selama 96 tahun berdiri, Persebaya Surabaya tidak pernah lepas dari perjuangan. Meski mengalami banyak kesukaran di luar lapangan, ”Bajul Ijo” memiliki tradisi juara yang kuat.
Pengantar
Sebelas klub legendaris menjadi saksi jatuh-bangun sepak bola Indonesia bersama PSSI sejak 1930. Kompas menyajikan kisah klub-klub perintis itu untuk tetap eksis hingga visi mereka menatap masa depan dalam rubrik ”Riwayat Klub Perintis”yang terbit setiap Senin mulai edisi 10 Juli hingga 28 Agustus 2023.
Trofi Liga 2 musim 2017 menjadi pusat perhatian di tengah lobi kantor PT Persebaya Indonesia di kawasan Surabaya Town Square, Surabaya, Jawa Timur. Tertulis di alas piala itu, sebuah pesan penting bagi sejarah klub, ”Trofi Perjuangan Persebaya”.
Gelar juara kompetisi kasta kedua di Tanah Air itu terasa lebih dalam maknanya dibandingkan dengan dua trofi Liga Indonesia pada 1996-1997 dan 2004 yang diraih Persebaya. Dua trofi terakhir hanya dipajang di sebuah lemari trofi di sisi pintu masuk kantor klub yang berdiri pada 18 Juni 1927 itu.
”Kenapa trofi Liga 2 lebih spesial dibandingkan gelar (Divisi Utama) Liga Indonesia? Kami menilai piala (Liga 2) itu tanda bukti perjuangan Persebaya tak pernah menyerah. Kami sempat dimatikan oleh federasi ketika terjadi dualisme. Jadi, piala itu adalah fondasi Persebaya modern,” ujar Direktur Media Persebaya Nanang Priyanto di Surabaya, Rabu (21/6/2023) lalu.
Hal serupa diamini kelompok suporter setia Persebaya, Bonek. Kehadiran tim ”tiruan” Persebaya pada medio 2010-an yang diambil dari Persikubar Kutai Barat tidak membuat Bonek mengalihkan dukungan. Setelah sempat berkompetisi di Liga Primer Indonesia, status keanggotaan Persebaya dibekukan PSSI sehingga harus berganti nama menjadi Persebaya 1927 pada 2011.
Baca juga: "Big Four" di Liga Indonesia
Tulus Abadi, salah satu tokoh senior Bonek, mengungkapkan, dalam situasi sulit itu mayoritas Bonek tetap mendukung Persebaya yang sesungguhnya di bawah naungan PT Persebaya Indonesia. Kesetiaan Bonek amat terasa justru ketika Persebaya berada di titik nadir.
Pada 2013 ketika PSSI tidak mengakui keanggotaan Persebaya 1927, yang mengakibatkan tim tidak bisa mengikuti kompetisi di bawah naungan federasi, Bonek tetap mendukung klub yang menjalani ”tur” ke wilayah Jawa Timur. Rangkaian tur untuk menjalani laga ekshibisi itu bertujuan memberikan pesan bahwa Persebaya yang sejati masih ada.
Perlahan upaya PT Persebaya Indonesia yang didukung Bonek untuk mengembalikan hak keanggotaan PSSI menemui jalan terang. Hal itu dimulai dengan kemenangan PT Persebaya Indonesia atas hak paten nama dan logo Persebaya pada 2015. Pada Kongres PSSI 2017 di Bandung, Jawa Barat, Persebaya kembali diakui oleh federasi.
”Persebaya kembali eksis di kompetisi nasional memberikan kebahagiaan yang lebih besar dibandingkan dengan juara Divisi Utama. Kami merasakan kepuasan dari perjuangan kami untuk tetap mendukung Persebaya di titik terendah,” ucap Tulus.
Baca juga: Deru Perlawanan Bonek yang Melintasi Zaman
Setelah menjadi juara Liga 2 pada 2017, tim berjuluk ”Bajul Ijo” itu kembali ke kompetisi kasta tertinggi di Indonesia pada Liga 1 edisi 2018. Mereka menutup musim 2018 di peringkat kelima. Pada musim kedua tampil di Liga 1, Bajul Ijo mengakhiri kompetisi di peringkat kedua.
Meskipun belum pernah menjadi juara Liga 1, Persebaya menjaga konsistensi untuk bersaing di papan atas. Mereka berada di peringkat kelima dan keenam pada dua edisi terakhir Liga 1.
Boikot turnamen Belanda
Perjuangan untuk mempertahankan identitas diri sebagai klub kebanggaan ”arek Suroboyo” telah menjadi nafas Persebaya sejak awal berdiri. Ketika hendak memasuki usia kelima, Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB), cikal bakal Persebaya, ikut dalam gerakan memboikut turnamen sepak bola antarkota, stedenwedstrijden, bentukan Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB).
Pemboikotan itu disebabkan artikel yang ditulis Bekker, yang kemudian menjadi petinggi Soerabajasche Voetbal Bond (SVB), di majalah mingguan berbahasa Belanda d’Orient edisi 2 April 1932. Bekker menulis pesan diskriminatif yang menyebut sepak bola adalah olahraga eksklusif untuk warga Eropa atau kulit putih.
Persebaya kembali eksis di kompetisi nasional memberikan kebahagiaan yang lebih besar dibandingkan dengan juara Divisi Utama. Kami merasakan kepuasan dari perjuangan kami untuk tetap mendukung Persebaya di titik terendah.
Artikel itu direspons oleh Pemimpin Redaksi koran berbahasa Tionghoa, Sin Tit Po, Liem Koen Hian, dalam sebuah artikel tertanggal 14 April 1932, yang menyerukan semua warga Surabaya untuk tidak menyaksikan turnamen itu.
”Gerakan boikot itu semacam bukti bahwa di Surabaya sepak bola sudah sejak lama dianggap bukan sekadar olahraga. Sepak bola adalah gerakan bersama yang menerobos batasan etnis serta latar belakang sosial dan ekonomi,” kata Rojil NB Aji, sejarawan Universitas Negeri Surabaya.
Dua tahun sebelumnya, Persebaya yang dipimpin M Pamuji menjadi salah satu dari tujuh bond yang berkumpul di Yogyakarta untuk membentuk Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia (PSSI), 19 April 1930. Mereka melakukan pertemuan yang digagas Ir Suratin Sosrosugondo sebagai respons terhadap sikap eksklusif yang dicanangkan NIVB.
Federasi bentukan Hindia Belanda itu menjadikan sepak bola hanya khusus dimainkan warga Eropa atau bumiputera yang mengeyam pendidikan di sekolah pemerintah kala itu. PSSI pun menetapkan Persebaya bersama enam klub lain, yaitu Persija Jakarta, Persib Bandung, Persis Solo, PSIM Yogyakarta, PPSM Magelang, dan PSM Madiun, sebagai bond pendiri yang tidak bisa diubah namanya.
Dalam perkembangannya, lanjut Rojil, SIVB juga ikut serta dalam gerakan untuk menyebarkan nasionalisme di akar rumput Surabaya, salah satunya dengan perubahan nama menjadi Persibaja Surabaya pada 1938.
Baca juga: Persebaya Ingin Jaga Kehormatan Gelora Bung Tomo
“Perubahan nama itu menunjukkan pengurus bond ingin meneguhkan identitas sebagai Indonesia,” ujar Rojil, yang merupakan penulis buku Tionghoa Surabaya dalam Sepak Bola (2010).
Hubungan mencair
Pada Kompas edisi 20 April 1980, Achmad Nawir, kapten Hindia Belanda di Piala Dunia 1938, mengatakan, nama Persebaya mulai digunakan pada 1944. Hanya, dalam catatan kompetisi resmi yang tercatat RSSSF, nama Persebaya itu pertama kali digunakan pada Kejuaraan Nasional (Kejurnas) PSSI edisi 1957-1959. Pada empat edisi perdana Kejurnas PSSI, klub kebanggaan Bonek itu menggunakan nama Persibaja.
Kehadiran Nawir sebagai Ketua Persebaya periode 1944-1949 menunjukkan telah cairnya hubungan antara SIVB dan SVB. Selama 23 tahun karier sebagai pemain, Nawir dikenal berkat kiprahnya bersama HBS (Houdt Braef Standt), perkumpulan sepak bola yang berafiliasi dengan SVB.
Trofi tertua yang masih tersimpan di kantor Persebaya saat ini adalah turnamen antarkota atau stedenwedstrijden 1949. Di trofi itu tertulis nama ”PSS/SVB” sebagai juara 1949, untuk mengakhiri dominasi dua edisi pasca-Perang Dunia II yang dikuasai VBO (Voetbalbond Batavia en Omstreken).
Gerakan boikot itu semacam bukti bahwa di Surabaya sepak bola sudah sejak lama dianggap bukan sekadar olahraga. Sepak bola adalah gerakan bersama yang menerobos batasan etnis serta latar belakang sosial dan ekonomi.
SVB pun menjadi kampiun stedenwedstrijden edisi pamungkas pada 1950. Mental juara itu bertahan ketika para pesepak bola di Surabaya membawa panji Persebaya pada dua edisi perdana Kejurnas PSSI.
Persebaya meraih gelar juara Kejurnas PSSI 1951 dan 1952 dengan rekor 100 persen kemenangan. Gelar ganda itu tercatat sebagai masa keemasan Persebaya di era kompetisi yang kemudian dikenal sebagai Perserikatan itu.
Fery Widyatama, penulis buku SIVB: Pasang Surut Sepak Bola Bumiputera di Surabaya 1926-1942 (2023), menyebut dominasi Persebaya di dua edisi awal Kejurnas PSSI tidak lepas dari pengaruh pemain-pemain SVB di akhir dekade 1940-an. ”Tim yang tampil di awal Kejurnas PSSI itu adalah tim yang dihuni pemain-pemain juara,” kata Fery.
Siklus dua dekade
Jika dirunut dengan kelahiran bond, Persebaya menunggu 24 tahun untuk meraih trofi resmi perdana di kompetisi yang dijalankan PSSI. Pada periode 1931 hingga 1943, Persebaya kalah bersaing dengan Persis, Persija, Persib, dan PSIM dalam kompetisi PSSI.
Kemudian, siklus juara dua dekade berlanjut ketika Persebaya baru kembali meraih gelar juara Kejurnas PSSI edisi 1975-1978. Bajul Ijo menumbangkan Persija, 4-3, di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, 28 Januari 1978. Gelar juara yang merupakan kado indah ulang tahun ke-50 Persebaya itu dipastikan berkat sumbangan gol dari Hadi Ismanto (2 gol), Rudy W Keltjes, dan Joko Malis.
Namun, Persebaya hanya membutuhkan waktu kurang dari dua dekade untuk meraih gelar juara Perserikatan musim 1987-1988. Lalu, Persebaya hanya butuh puasa gelar selama sembilan tahun untuk merasakan gelar juara Divisi Utama Liga Indonesia 1996-1997. Musim 2004 menjadi momen terakhir Bajul Ijo menjadi juara di kompetisi kasta tertinggi Indonesia.
Baca juga: Ikhtiar Klub “Legendaris” Mengembalikan Hegemoni
Alhasil, Bajul Ijo telah memasuki dekade kedua puasa trofi gelar juara kasta tertinggi sepak bola nasional memasuki BRI Liga 1 2023-2024. Setelah ”lulus” melewati berbagai aral dalam beberapa tahun terakhir, sudah saatnya Persebaya berjuang untuk kembali berdiri di podium juara. Wani!