Persib Bandung, Penjaga Marwah ”Bumi Pasundan”
Berawal dari lambang perlawanan terhadap diskriminasi pemerintah kolonial, kini Persib Bandung menjadi kebanggaan yang menyatukan Jawa Barat. ”Si Maung Bandung” menjadi penjaga marwah ”Bumi Pasundan”.
Semangat ingin jumpa idola, terutama penyerang Persib Bandung asal Brasil, Ciro Alves, membuat Regi Hidayat (33) dan istrinya, Tri Widiastuti (33), melupakan rasa letih seusai menempuh perjalanan sepeda motor dari Depok, Jawa Barat, ke Bandung. Mata sayu mereka karena belum tidur terbelalak saat mobil hitam mewah yang membawa Alves tiba di Graha Persib, Jumat (14/7/2023) sekitar pukul 16.00.
Karena buru-buru, Alves langsung menerobos kerumunan puluhan suporter Persib alias ”bobotoh”. Dengan bantuan kenalannya, Regi memasukkan Tri ke dalam Graha Persib. Tri pun menunaikan keinginan mendapatkan tanda tangan Alves dan berfoto bersama mantan pemain tim Brasil U-20 tersebut. ”Alhamdulillah, ngidam istri saya terpenuhi,” kata Regi lega.
Biasanya, Regi dan Tri bersama kedua anak mereka nonton langsung kalau Persib main di sekitar Depok, seperti di Stadion Pakansari, Bogor. Karena Tri sedang ngidam saat hamil tiga minggu anak ketiga mereka, Regi berjuang membawa Tri yang sangat ingin menonton langsung Persib di Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Bandung.
Regi dan Tri bertolak menggunakan sepeda motor dari Depok pada Jumat sekitar pukul 03.00 dan tiba di Bandung sekitar pukul 09.00. Ia belum sempat tidur, tetapi itu tidak menyurutkan semangat Regi dan Tri untuk bergabung dengan bobotoh lain yang menunggu pemain berkumpul di Graha Persib sebelum menjamu Dewa United di GBLA pukul 19.00.
Perjuangan Regi dan Tri adalah bentuk cinta mati mereka kepada Persib. Itu sesuai falsafah di antara bobotoh, yakni ”Persib Aing, Kumaha Aing” atau ”Persib Saya, Terserah Saya”. Itu adalah kiasan puncak cinta bobotoh kepada Persib.
”Kecintaan kami kepada Persib diturunkan oleh orangtua dan kakek-nenek. Kecintaan itu membentuk loyalitas dan fanatisme. Itulah kenapa saya dan istri rela menempuh perjalanan jauh dari Depok ke Bandung demi menonton langsung Persib, padahal istri sedang hamil muda,” ujar Regi.
Perlawanan orang Sunda
Penulis buku Maenbal, Sejarah Sepak Bola di Bandung Tahun 1900-1950 yang terbit tahun 2022, Atep Kurnia (44), menjelaskan, sepak bola pertama kali diperkenalkan di Bandung oleh orang-orang Eropa, terutama oleh para pekerja jawatan kereta api. Hal itu ditandai dengan berdirinya tiga klub perintis milik orang-orang Eropa.
Munculnya banyak klub sepak bola yang terbagi dalam tiga kategori, yakni klub-klub orang Eropa, bumiputra, dan keturunan China memicu berdirinya sejumlah perserikatan sepak bola atau bond. Klub-klub bumiputra berada dalam naungan Bandoengsch Inlandsch Voetbal Bond (BIVB) pada 1919 dan Nationaal Voetbal Bond (NVB) pada 1922.
Baca juga : Tim ”Laskar Mataram”, PSIM Yogyakarta, Enggan Terus Terbenam
Persib membawa semangat perlawanan terhadap politik diskriminatif atau pengelompokan sosial oleh pemerintah kolonial.
Sumpah Pemuda di Batavia/Jakarta pada 27-28 Oktober 1928 kian membangkitkan semangat nasionalisme masyarakat bumiputra, termasuk di dunia sepak bola Bandung. Itu melatarbelakangi berdirinya Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond atau BIVB versi baru pada 1928.
Karena desakan banyak pihak, BIVB dan NVB sempat bersatu menjadi Persatoean Sepak Raga Kebangsaan Bandoeng (PSKB) pada 13 Mei 1932. Akan tetapi, karena perbedaan pandangan, PSKB akhirnya terpecah menjadi Perkoempoelan Sepak Raga Indonesia Bandoeng (PSIB) pada 4 September 1932 dan NVB baru pada 11 September 1932.
Demi memperkuat legitimasi perserikatan bumiputra untuk memiliki lapangan sendiri atau setidaknya menyewa lapangan Sport Park Tegallega yang baru dibuka pada 9 September 1933, PSIB dan NVB baru kembali didesak bersatu. Dalam laporan surat kabar berbahasa Sunda, Sipatahoenan, pada 19 Maret 1934, PSIB dan NVB baru melakukan rapat di Institut Karangkaputran, Jalan Kepatihan, Bandung pada 18 Maret 1934.
Dari rapat itu terbentuk organisasi gabungan bernama Persatoean Sepak Raga Indonesia Bandoeng yang kelak menjadi Persatuan Sepak Bola Indonesia Bandung atau Persib. Namun, dalam laman resminya, manajemen menyatakan Persib lahir 14 Maret 1933.
Baca juga : Perjuangan Abadi Persebaya Surabaya
Terlepas dari itu, menurut Atep, Persib membawa semangat perlawanan terhadap politik diskriminatif atau pengelompokkan sosial oleh pemerintah kolonial. Sama dengan lapisan kehidupan lainnya, klub-klub ataupun bond bumiputra berada di level terendah dibanding kelompok bangsa Eropa dan keturunan China.
Sampai 1930, klub-klub bumiputra tidak memiliki lapangan sendiri dan tidak bisa bermain di lapangan milik orang Eropa. ”Karena itu, Persib langsung dicintai oleh masyarakat bumiputra, terutama penutur bahasa Sunda atau Tatar Sunda yang tersebar bukan hanya di Bandung, melainkan di seluruh Jawa Barat hingga sebagian Banten,” ujar Atep.
Modal eksistensi
Besarnya kecintaan terhadap Persib tergambar dalam hasil analisis lembaga pemeringkatan klub berdasarkan interaksi di media sosial, Global Football Digital Benchmark. Per Januari 2022, Persib berada di urutan ke-21 dunia dengan total interaksi mencapai 21 juta, terbesar dari Facebook yang mencapai 9 juta.
Persib tercatat sebagai klub Asia paling populer di media sosial. Bahkan, ”Si Maung Bandung” unggul atas sejumlah klub besar dunia, seperti klub Argentina, Boca Juniors, di urutan ke-22 (20 juta); klub Italia, AS Roma, ke-25 (19 juta); dan klub Belanda, Ajax Amsterdam, ke-28 (18 juta).
Baca juga : Tekad Persis Solo Menuju Usia Seabad
Dukungan besar fans menjadi sumber energi yang turut membawa Persib menjelma sebagai salah satu klub tersukses di Indonesia, antara lain lima gelar kompetisi Perserikatan (1937, 1961, 1986, 1989/90, dan 1993/94) dan dua gelar Liga Indonesia (1994/95 dan 2014). Bersama Persija Jakarta dan PSM Makassar, Persib menjadi klub Perserikatan yang belum pernah terdegradasi dari kasta tertinggi di era Liga Indonesia.
Bobotoh adalah pemain ke-12 yang memberikan dampak besar untuk kejayaan Persib di akhir 1980-an hingga awal 1990-an. Usai Persib kalah adu penalti 1-2 (2-2) dari PSMS Medan dalam final Perserikatan 1985 di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, yang bersejarah dengan jumlah penonton mencapai 150.000 orang atau terbesar sepanjang sejarah Indonesia, bobotoh tidak pernah berpaling.
Kesetiaan bobotoh membantu Persib bangkit untuk menang 1-0 atas Perseman Manokwari dalam final Perserikatan 1986 di stadion yang sama yang dipenuhi sedikitnya 100.000 orang. ”Saya rasa kecintaan, kesetiaan, dan kreativitas bobotoh adalah modal utama yang membantu Persib bisa terus menjaga eksistensinya hingga sekarang,” tutur libero Persib 1978-1993, Adeng Hudaya (66).
Tidak terpisahkan
Mang Aep (52), penjual kupat tahu di Stadion Siliwangi sejak 1987, menuturkan, walau muncul banyak klub baru di Jawa Barat, kecintaan terhadap Persib tidak pernah luntur. Terbukti, saat Persib juara Perserikatan 1989/90 dan 1993/94, serta juara Liga Indonesia 1994/95, nyaris semua warga Bandung berpesta merayakan kemenangan tersebut.
”Ketika Bandung Raya juara Liga Indonesia 1995/96, yang merayakan hanya pemain, keluarga pemain, dan pengurus klub,” kenang Mang Aep.
Baca juga :”Trendsetter” Itu Bernama Persebaya
Kesetiaan ataupun loyalitas bobotoh membuat Persib tidak pernah kesepiaan saat bermain tandang. Hampir di semua kota, khususnya di Bogor, Jakarta, dan Tangerang ada pendukung organik ”Si Pangeran Biru”. ”Bukan hanya di Indonesia, bobotoh juga tersebar di luar negeri, seperti di Jepang dan Thailand,” kata salah satu pendiri kelompok suporter Viking Persib Club sekaligus mantan dirigen Viking 1993-2018, Mulyana alias Yana Umar (48).
Persib dan bobotoh adalah dua elemen yang tidak bisa dipisahkan. Meski ada aksi boikot nonton langsung Persib oleh sejumlah suporter karena sistem penjualan tiket daring yang dimulai sejak musim lalu, bobotoh tetap mengadakan nonton bareng di luar stadion.
Manajemen mengakui, dukungan besar bobotoh adalah salah satu faktor penting tatkala Persib memasuki era profesional yang ditandai terbentuknya PT Persib Bandung Bermartabat (PT PBB) pada 20 Agustus 2009. Media Officer Persib Jatnika Sadili menyampaikan, animo besar itu menjadi citra positif yang menimbulkan kepercayaan dari banyak sponsor.
Baca juga : Kreativitas Persis Solo Menyelami Kultur Pop
”Persib punya sejarah panjang dengan usia hampir satu abad. Persib pasti punya tantangan-tantangan yang ada karena kultur yang terbentuk selama puluhan tahun. Di era sepak bola modern dan profesional ini, Persib terus melakukan transformasi di semua hal dan akan terus dilakukan dengan terobosan serta inovasi untuk memperkuat faktor-faktor fundamental. Persib sebagai klub sepak bola akan dan harus hidup untuk selama-lamanya," ujar Deputi CEO PT PBB Teddy Tjahjono.
Kalau dahulu Persib dicintai karena menjadi lambang perlawanan terhadap diskriminasi pemerintah kolonial, kini Persib menjadi kebanggaan yang menyatukan Jawa Barat, ”Si Maung Bandung” yang menjaga marwah ”Bumi Pasundan”. Sampai muncul metafora, orang Jawa Barat darahnya biru, darahnya ”Si Pangeran Biru”.