Tekad Persis Solo Menuju Usia Seabad
Berkat momentum politik dan pergerakan anak muda peduli sepak bola di Surakarta, Persis menyambut usia seabad dengan semringah. “Laskar Sambernyawa” menuju masa keyajaan seperti sedia kala.
Beberapa tahun silam, Persis Solo bisa diibaratkan seperti terumbu karang. Hidup, tetapi tidak beranjak ke mana-mana. Eksistensi klub tersukses di era awal sepak bola nasional sekaligus salah satu pendiri PSSI itu, dipertanyakan.
Di akhir abad ke-20 sampai awal abad ke-21, “Laskar Sambernyawa” bahkan seolah lenyap “ditelan” klub-klub luar daerah yang menginvasi Surakarta. Dari Arseto Solo, Pelita Solo, sampai terakhir Persijatim. Tim-tim musafir itu bergantian merebut perhatian publik Surakarta.
Pasoepati, kelompok suporter terbesar Persis, bahkan terbentuk di era Pelita pada 2000. “Awal kami dukung Arseto saat organisasi suporter belum ada. Baru ada pas Pelita. Lalu Pelita pergi (di 2002), pindah dukung Persijatim. Di situlah titik terendah Persis. Kami tidak tahu klub itu ada,” ujar Presiden Pasoepati Agos Warsoep.
Sekarang, empat bulan menuju usia 100 tahun klub pada 8 November 2023, Persis terbang tinggi. Mereka menjadi primadona di kancah sepak bola nasional. Bagaimana tidak, dalam sekejap tim yang masih di Liga 2 pada 2021 itu berevolusi menjadi tim “sultan” dengan skuad termahal ke-5 di Liga 1 2023-2024.
Infografik Klub Perintis Persis Solo
Animo besar publik Surakarta terekam dari laga pembuka musim Liga 1 antara Persis versus Persebaya Surabaya di Stadion Manahan, Sabtu (1/7/2023). Lebih dari 15.000 penonton berbondong-bondong datang mendukung tim tuan rumah. Meskipun berujung kalah 2-3, para pendukung tetap bangga.
Seperti juga terlihat di lapangan Sriwaru, sekitar pusat Kota Surakarta, lima hari setelah laga. Persis berlatih di lapangan yang hanya dibatasi pagar kawat. Dari celah pagar, ratusan orang dari anak-anak hingga dewasa rebutan menonton. Mereka berkali-kali meneriakkan “Sakjose”, slogan Persis.
Beberapa di antara mereka turut datang ke Manahan, Sabtu lalu. Mereka datang ke latihan demi meminta foto dan tanda tangan. Selesai latihan rampung, para pemain langsung dikepung bak artis ibukota. Saking ramai, pemain asing Diego Bardanca sampai kewalahan. “Sabar, ya. Sabar…,” ujarnya.
Kapten Persis Eky Taufik tampak bahagia. Dia adalah pria asli Surakarta yang bermimpi menjadi pemain Persis sejak kecil. Dia tahu betul perkembangan klub ini. “Sangat jauh antusiasnya. Suporter (Persis) lebih banyak dan punya rasa lebih memiliki saat ini, terutama setelah masuk Liga 1,” katanya.
Baca juga : Perjuangan Abadi Persebaya Surabaya
Kami bentuk sistem dari nol, untuk jangka panjang, seperti perekrutan pemain, akademi, hingga alur kerja.
Pergerakan pemuda
Awal transformasi Persis bermula pada dua tahun sebelum usia seabad, 2021. Ada dua faktor yang menjadi momentum kebangkitan itu. Pertama adalah kehadiran pemilik baru. Dua di antara pemegang saham mayoritas itu merupakan pemuda asli Surakarta, yaitu Kaesang Pangarep dan Kevin Nugroho.
Mereka menyulap manajemen klub jadi profesional. “Kami menempatkan ahli di bidang masing-masing. Kalau dulu kan mungkin ada faktor kenalan. Kami bentuk sistem dari nol, untuk jangka panjang, seperti perekrutan pemain, akademi, hingga alur kerja,” kata Media Officer Persis Bryan Barcelona.
“Laskar Sambernyawa” pun tampak lebih modern dan muda. Lini bisnis mereka bersinar terang. Investasi dan sponsor masuk dengan daya tarik Kaesang, anak Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, yang datang dengan slogan “Liga 1 harga mati”. Problem ketergantungan klub terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah di dekade-dekade lalu, tuntas.
Tidak ada lagi masalah kesejahteraan lagi, seperti kasus pemain asing Diego Mendieta yang meninggal dunia karena sakit pada 2012. Dia terpuruk setelah gaji selama 6 bulan tidak dibayar Persis. Wajah klub begitu muram itu karena tercatat sebagai noda hitam di sejarah sepak bola Indonesia hingga dunia.
Baca juga : ”Bajul Ijo” Menjaga Marwah Perserikatan
Jangankan gaji, untuk makan saja Pasoepati sampai harus membuat dapur umum untuk para pemain. Bayangkan bedanya dengan sekarang. Para pemain nyaman tinggal di Hotel Butik De Solo yang disulap jadi mes klub. Menu makan prasamanan juga menanti setiap saat. Mereka tinggal fokus ke urusan lapangan.
Momentum politik
Pendorong lain berasal dari luar, yaitu momentum politik. Kakak Kaesang, Gibran Rakabuming Raka terpilih menjadi Wali Kota Surakarta. Dia yang turut datang dalam pengenalan pemilik baru klub, sangat mendukung Persis. Dukungan dalam konteks ekosistem klub, seperti infrastruktur.
Gibran selalu menyambut ajang sepak bola, contohnya Surakarta menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023. Meskipun batal digelar di Indonesia, Surakarta mendapat berkah karena terjadi revitalisasi di tempat pertandingan Stadion Manahan serta banyak tempat latihan, antara lain di Lapangan Sriwaru dan Lapangan Kota Barat.
Semua fasilitas itu kini dimanfaatkan Persis. Mereka bertanding di Stadion Manahan dan berlatih di lapangan yang telah direvitalisasi. Teranyar, Gibran mempersilakan manajemen Persis untuk mengelola Stadion Manahan yang merupakan aset pemerintah. “Agar klub semakin profesional,” kata Gibran.
Baca juga : Kemenangan Perdana “Laskar Sambernyawa”
Dorongan dari dalam dan luar itu mengakselerasi pertumbuhan Persis. Tidak heran jika mereka langsung juara Liga 2 dan promosi ke divisi teratas, di tahun pertama era kepemilikan Kaesang. Prestasi itu adalah yang tertinggi bagi mereka sejak kemerdekaan RI.
Pasca kemerdekaan, prestasi terbaik klub bercorak “merah dan putih” itu sebelumnya hanya menjuarai Divisi II pada 1994. Tim promosi ke Divisi I dipimpin pelatih berdarah Tionghoa Hong Widodo yang juga merupakan pemain Persis era 1970-an. Di era Hong, puncak prestasi klub hanya seputaran juara kompetisi lokal Jateng.
Setelah naik Divisi 1, setara Liga 2 saat ini, Persis baru merasakan promosi ke divisi tertinggi pertama kali pada 2007. Dipimpin pemain legendaris Syaiful Bachri, mereka meraih promosi ke Divisi Utama setelah menjadi runner-up Divisi 1 2006, hanya kalah dari Persebaya di final.
Mirisnya, Persis hanya semusim merasakan divisi tertinggi. Mereka terpukul mundur satu divisi karena wacana penyatuan dua wilayah untuk Liga Super 2008. Peserta yang semula 36 tim jadi hanya 18 tim. Persis yang tidak masuk 9 besar di Wilayah Timur, pun gagal bertahan.
Baca juga : Pelajaran Berharga untuk Persis Solo dari Jeonbuk Hyundai Motors FC
Warisan Keraton
Dari perjalanan saat ini, Persis tampak sedang menapaki jalan yang dilakukan di era kejayaan klub. “Laskar Sambernyawa”, sejak berdiri di 1923 sampai sebelum kemerdekaan, merupakan klub paling ditakuti dengan raihan 7 gelar juara kompetisi PSSI dalam rentang 1935-1943.
Menurut Akhmad Ramdhon, sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS), prestasi mentereng itu tidak lepas dari dukungan ekosistem yang dibentuk “pemilik” daerah. Stadion Sriwedari, saksi bisu kejayaan Persis, dibangun pada 1932 oleh Raja Keraton Surakarta Pakubuwono X adalah buktinya..
Sriwedari, dengan fasilitas lapangan terbaik di masa itu, merupakan stadion sepak bola pertama yang dibangun pribumi Indonesia. Tujuan pembangunannya agar atlet pribumi bisa sama-sama bermain sepakbola seperti orang-orang Belanda.
“Political will sangat penting (dalam membentuk ekosistem penunjang prestasi). Ekosistem yang lebih baik dibandingkan daerah-daerah lain ketika itu, menurut saya yang membuat Persis bisa mendapatkan 7 gelar juara. Saya lihat hal itu yang ingin dilakukan lagi saat ini,” jelas Ramdhon.
Persis, klub tertua ketiga di Indonesia, tidak hanya tentang warisan sejarah. Klub ini sangat potensial karena berada di daerah dengan ekosistem penunjang sangat baik dan kecintaan warga terhadap sepak bola. Itu yang membuat banyak tim-tim musafir berdatangan ke Surakarta sedari dulu.
“Lahan subur” tersebut sudah dipahami betul oleh pemuda-pemuda Solo seperti Kaesang dan Kevin, serta pemimpin kota. Dengan kesadaran itu, hanya langit yang menjadi pembatas potensi Persis. Jelang usia seabad dan menuju abad ke-2, publik Solo bisa mengangkat dagu sambil berteriak lantang, “Sakjose”.