Larangan ”Away” Memudarkan Rekonsiliasi Antarsuporter
Regulasi melarang kehadiran pendukung tim tamu di BRI Liga 1 musim ini bukan solusi bagi problem kelompok suporter. Sejatinya, kultur sepak bola adalah cermin dari kultur sosial masyarakat.
Tengah pekan ini, BRI Liga 1 2023-2024 akan memasuki pekan keenam. Di luar persaingan yang kian sengit untuk memperebutkan posisi empat teratas, kompetisi kasta tertinggi sepak bola Indonesia itu juga belum lepas dari kontroversi, salah satunya mengenai larangan kehadiran suporter tim tamu di setiap pertandingan.
Aturan larangan suporter melakukan away day tercantum pada Pasal 51 Ayat 6 Regulasi Kompetisi BRI Liga 1 2023/2024 yang ditandatangani Ketua Umum PSSI Erick Thohir pada 28 Juni 2023.
Dalam hal masa transisi transformasi sepak bola nasional, seluruh pertandingan sepak bola nasional, termasuk kompetisi, tidak dapat dihadiri oleh suporter klub tamu.
”Dalam hal masa transisi transformasi sepak bola nasional, seluruh pertandingan sepak bola nasional, termasuk kompetisi, tidak dapat dihadiri oleh suporter klub tamu,” demikian bunyi aturan tersebut.
Baca juga : Liga 1 Menuju Wujud Ideal
Dalam sejumlah kesempatan, Erick kembali menegaskan, aturan larangan kehadiran suporter tim tamu berlaku selama dua tahun. Erick menjelaskan, aturan itu adalah kesepakatan yang telah dicapai PT Liga Indonesia Baru, selaku operator kompetisi, dengan Kepolisian Negara RI serta Pemerintah Indonesia dengan FIFA menyusul Tragedi Kanjuruhan, 1 Oktober 2022.
Lantas, apakah aturan itu sukses meredam hasrat kuat suporter untuk mendukung timnya menjalani laga tandang? Jawabannya, tentu tidak.
Komite Disiplin PSSI telah memberikan hukuman denda masing-masing Rp 25 juta kepada tujuh klub akibat melanggar aturan larangan tanpa pendukung tim tamu itu. PSIS Semarang menjadi tim yang paling sering tidak mematuhi aturan itu karena telah dua kali dijatuhi denda.
Manajemen ”Laskar Mahesa Jenar” dijatuhi denda Rp 25 juta karena gagal mengantisipasi kehadiran Bonek, pendukung Persebaya, pada laga pekan ketiga, 16 Juli lalu, di Stadion Jatidiri, Semarang, Jawa Tengah. Selain itu, PSIS juga menerima denda serupa karena kehadiran suporter pada laga tandang melawan PSS Sleman di Stadion Maguwoharjo, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 21 Juli.
Baca juga : Persib dan PSSI Mengelola Cinta Menjadi Sumber Daya Sepak Bola
Persebaya Surabaya, Persija Jakarta, dan Arema FC adalah tiga tim yang juga telah dijatuhi denda Rp 25 juta karena kehadiran suporter di laga tandang. Adapun PSS Sleman, Persita Tangerang, dan Persik Kediri menerima denda dengan jumlah nominal yang sama akibat tidak mampu menghadang kehadiran suporter tim tamu di gim kandang mereka.
Pada agenda sidang Komite Disiplin PSSI pekan ini, denda akibat larangan suporter tim tamu kemungkinan besar juga akan kembali diberikan kepada Persija dan Persebaya. Dua tim legendaris yang berduel di pekan kelima, Minggu (30/7/2023), di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta, itu juga ”gagal” menghalau kehadiran para Bonek menyaksikan laga di tribune.
Indikasi kehadiran Bonek pun sudah muncul sejak Jumat (28/7/2023) seiring tersebarnya foto mereka tiba di Jakarta di media sosial. Di hari pertandingan, Kompas juga melihat beberapa Bonek berfoto dengan The Jakmania yang berjalan dari Stasiun Palmerah menuju kompleks Gelora Bung Karno.
Pemandangan foto bersama sembari membentangkan spanduk Bonek dan The Jakmania itu mulai terlihat di trotoar pintu masuk belakang Kompleks Parlemen, Senayan. Momen itu lebih mudah lagi terlihat di dekat pintu pemeriksaan tiket SUGBK. Sejumlah Bonek yang datang membeli tiket dan mayoritas mengenakan baju berwarna hitam.
Baca juga : Penambahan Pendapatan Klub Dorong Peningkatan Kualitas Liga 1
”The Jak-Bonek bersaudara,” teriak beberapa pendukung Persija ketika hendak difoto bersama Bonek yang datang ke SUGBK.
Puncaknya, lagu anthem Persebaya, ”Song for Pride”, berkumandang di tengah laga Persija menghadapi Persebaya. Pendukung Persija pun ikut menyanyikan lagu dukungan untuk skuad ”Bajul Ijo”. Ketika ada segelintir pendukung Persija melontarkan yel-yel hinaan kepada Bonek dan Persebaya, mayoritas seisi tribune menyoraki yel-yel itu sehingga menutup suara ejekan negatif itu.
Wujud rekonsiliasi The Jakmania dengan Bonek pun ditandai dengan inisiasi The Jakmania mengawal bus pemain Persebaya dari hotel ke SUGBK, kemudian kembali dari arena laga ke hotel. Kendaraan taktis milik Brigade Mobile Polri yang telah disiapkan untuk skuad Persebaya pun tidak digunakan.
Fajar Junaedi, pakar budaya sepak bola nasional, menganggap regulasi larangan suporter menyaksikan laga tandang memiliki basis epistemologi yang agak aneh. Pasalnya, lanjut Fajar, pasca-Tragedi Kanjuruhan ada kesadaran kolektif dari kelompok suporter sepak bola untuk mengakhiri konflik.
Baca juga : Asa Meningkatkan Mutu Liga 1
”Denda pada klub yang suporternya datang ke gim tandang justru menjauhkan upaya rekonsiliasi, alih-alih berperan dalam perbaikan hubungan antarkomunitas suporter,” kata Fajar, Rabu (2/8/2023).
Kesadaran
Selain hubungan membaik antara The Jakmania dan Bonek, tiga kelompok suporter besar di Tanah Mataram, yaitu Persis Solo, PSS Sleman, dan PSIM Yogyakarta, juga telah sepakat melakukan rekonsiliasi setelah bertahun-tahun berseteru. Bahkan, selama 2022, tiga anggota suporter meninggal akibat perseteruan fans dari tiga klub itu.
”Tragedi Kanjuruhan membuat kami sadar untuk sama-sama membenahi hubungan. Kami tidak ingin ada lagi orang kehilangan nyawa di sepak bola. Pertandingan sepak bola harus menjadi ajang pendukung menikmati hiburan dan menjalin silaturahmi antarsuporter,” ujar Presiden Pasoepati Agus Warsoep.
Fajar menambahkan, larangan kehadiran suporter tim tamu sepatutnya tidak diberlakukan untuk komunitas suporter yang telah memiliki hubungan membaik. Ia menegaskan, hal yang perlu dilakukan pemangku kepentingan sepak bola nasional untuk mencegah bentrokan adalah langkah-langkah mitigasi, misalnya melakukan tindakan tegas berbagai bentuk provokasi yang disebar oknum suporter di media sosial dan tribune stadion.
Baca juga : PSSI Kedepankan Pembagian Jadwal Penggunaan Stadion
”Kesadaran rekonsiliasi itu hadir dari bawah, yaitu akar rumput suporter. Sebaliknya, seremoni perdamaian yang beberapa kali diinisiasi aparat negara dan federasi telah terbukti gagal menyelesaikan konflik suporter sepak bola,” kata Fajar.
”Kegagalan” PSSI membina suporter tetap terjadi meskipun PSSI periode 2019-2023 di bawah pimpinan Mochamad Iriawan membentuk Divisi Pembinaan Suporter yang diketuai Budiman Dalimunthe.
Kini, di bawah kendali Erick Thohir pada periode 2023-2027, PSSI juga membentuk Komite Ad Hoc Suporter dipimpin anggota Komite Eksekutif PSSI yang juga Staf Khusus III Menteri Badan Usaha Milik Negara, Arya Sinulingga.
Sekretaris Jenderal Presidium Nasional Suporter Sepak Bola Indonesia Richard Achmad Supriyanto berharap PSSI meninjau ulang aturan larangan suporter menyaksikan laga tandang di stadion. Ia pun ingin agar federasi melibatkan suporter dalam berbagai kebijakan hingga sanksi terkait suporter.
”Setiap pengambilan keputusan sanksi yang berhubungan suporter, Komdis PSSI wajib memberikan kesempatan kepada suporter untuk memberikan klarifikasi,” ucap Richard.
Baca juga : Darurat Masalah Diskriminasi di BRI Liga 1
Keterlibatan bersama
Membina suporter sejatinya lebih penting dibandingkan membatasi gerak suporter menyaksikan laga tim kesayangan mereka. Tak bisa dimungkiri, kehadiran suporter ke kota tujuan pada laga tandang juga membantu pergerakan ekonomi kota-kota yang didatangi.
Direktur Utama PSM Makassar Sadikin Aksa menyebut, setiap laga tandang PSM rerata dihadiri 1.000 suporter dari Makassar, Sulawesi Selatan. Bahkan, untuk laga di kawasan Jawa Timur dan Bali, pendukung ”Juku Eja” yang hadir bisa mencapai 1.500 orang.
Mayoritas suporter datang ke kota tujuan dengan mengeluarkan uang sendiri untuk tiket moda transportasi dan tiket pertandingan. Belum lagi, mereka merogoh uang untuk penginapan serta konsumsi selama di kota tujuan.
Alih-alih membatasi kehadiran di tribune, PSSI dan pemerintah perlu berkolaborasi dengan klub untuk merangkul suporter sepak bola. Program ”Fan Coaching” yang dilakukan klub Liga Belgia, Standar Liege, bermitra dengan Pemerintah Kota Liege dan akademisi di Universitas Liege bisa menjadi teladan bagi Indonesia.
Baca juga : Terancam Jadi ”Musafir”, Klub Butuh Solusi
Sejak dekade 1980-an, Standard Liege melakukan pembinaan suporter dengan lima nilai utama, yaitu menghormati lawan, menghormati wasit, setia kepada klub favorit, menerima kekalahan, dan fair play dalam pemahaman luas. Program itu pun mendapat apresiasi UEFA melalui Penghargaan Suporter Sepak Bola Eropa 2011.
Jonathan Wilson, penulis buku Inverting the Pyramid: The History of Soccer Tactics (2009), menuturkan, menangani permasalahan suporter tidak bisa dipisahkan dari pembinaan pada kultur masyarakat di suatu kota dan negara.
”Kultur sepak bola yang tercipta adalah cerminan dari kultur masyarakat di wilayah itu. Ketika kultur masyarakat masih permisif terhadap kekerasan, hal itu bisa menyebabkan terjadinya hal-hal bodoh di sepak bola,” ungkap Wilson dalam kolomnya di The Guardian, Mei 2022 lalu.
Jadi, masih pantaskan hanya menyudutkan kelompok suporter?