Ke Istora, Ku (Tak) Kan Kembali
Tahun depan, pebulu tangkis dan penonton tak akan kembali ke Istora untuk Indonesia Terbuka. Istora memang lebih dari sekadar arena olahraga. Namun, pindah ke arena baru adalah sebuah keniscayaan.
Lebih dari sekadar tempat penyelenggaraan Indonesia Terbuka, Istora Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, menyimpan cerita dan kenangan yang memantik kerinduan pebulu tangkis dan penonton. Namun, tahun depan, mereka tak akan kembali ke Istora untuk acara yang sama. Kepindahan menjadi keniscayaan setelah bertahun-tahun Istora menanggung ”beban”.
Deninda Putri (28) ingat betul bagaimana riuhnya Istora ketika tunggal putra Indonesia, Simon Santoso, meraih tiket menuju final Indonesia Terbuka 2012 setelah menaklukkan wakil India, Kashyap Parupalli, 21-15, 21-12. Memori itu tersimpan bertahun-tahun lamanya dan kembali teringat ketika pada 2023, Deninda ke Istora untuk menyaksikan lagi Indonesia Terbuka.
Bersama adiknya, Salsabila Putri (24), Deninda menonton laga final Indonesia Terbuka 2023, Minggu (18/6/2023). Mereka tak hanya ingin mendukung tunggal putra Indonesia, Anthony Sinisuka Ginting, tetapi juga ingin mengenang momen 11 tahun lalu ketika sama-sama menyaksikan turnamen Indonesia Terbuka bersama almarhum ayahnya.
Baca juga: Pembuktian Anthony di Kandang Sendiri
”Itu terakhir kali saya ke Istora untuk menonton Indonesia Terbuka. Jadi, semacam ada pengalaman personal dan ikatan emosional dengan tempat ini,” ujar warga Jakarta Selatan tersebut.
Tak hanya penonton, kenangan indah juga dimiliki para pebulu tangkis yang kerap berlaga di Istora. Juara ganda campuran Indonesia Terbuka 2023, Huang Ya Qiong, misalnya, menyebut Istora sebagai tempat yang spesial sekaligus pembawa hoki untuknya dan Zheng Si Wei.
Pernyataan pebulu tangkis China itu masuk akal mengingat mereka cukup dominan di Istora. Ganda campuran yang baru dipasangkan pada 2017 ini terhitung telah delapan kali mencicipi gelar juara di Istora, dua di antaranya dalam perhelatan Indonesia Terbuka.
Tempat mengerikan
Kegembiraan Zheng Si Wei dan Huang Ya Qiong bermain di Istora ini seolah memberi warna tersendiri dari tempat tersebut. Atlet luar negeri kerap memandang Istora sebagai tempat mengerikan. Seperti yang pernah disampaikan legenda hidup bulu tangkis Indonesia, Liem Swie King, bermain di Istora amat berbeda dibandingkan tampil di tempat lain. Pendukung-pendukung tuan rumah di Istora bisa membuat pemain luar negeri kesulitan.
Baca juga: An Se-young Kehabisan Tenaga di Istora
Penonton selalu memenuhi Istora dan fanatisme mereka, seperti yang terjadi di sepak bola, diperlihatkan dengan teriakan, yel-yel, serta gebukan balon tepuk. Juara All England 1982, Morten Frost Hansen, bahkan pernah mengatakan bahwa ia akan tutup kuping dan mengikuti rekan senegeranya, Svend Pri, saat menghadapi penonton-penonton di Istora.
Rumah kedua Marin
Selain Zheng Si Wei dan Huang Ya Qiong, pebulu tangkis seperti Carolina Marin, juga memiliki pandangan lain soal Istora. Ia menganggap Istora layaknya rumah kedua. Hal itu tak lepas dari dukungan publik Istora ketika tunggal putri Spanyol ini berada dalam momen buruk.
”Saya sangat beruntung mendapatkan dukungan dari semua orang di sini, baik dalam suka maupun duka. Penonton di sini membuat saya seakan berada di rumah, membuat saya seperti menjadi bagian dari mereka, meskipun bukan pemain Indonesia. Saya suka bermain di sini dan punya banyak kenangan manis,” kata Marin.
Marin mengingat Istora sebagai tempatnya meraih gelar juara dunia untuk kedua kalinya pada 2015 sekaligus tempatnya mengalami cedera lutut kanan pada final Indonesia Masters 2018. Akibat cedera itu, Marin harus menepi selama delapan bulan.
Saya sangat bersyukur bisa punya pengalaman ini. Kenangan soal di Istora akan selalu ada di ingatan saya. (Viktor Axelsen)
Dua tahun berselang, Marin kembali didera cedera lutut kiri ketika tengah berada dalam puncak performa. Setelah pemulihan yang panjang, Marin berlaga lagi di Istora pada Indonesia Terbuka 2022 dan 2023. Pada edisi terakhir, ia bahkan melaju hingga partai final.
Memori tentang Istora juga dimiliki dua tunggal putra Indonesia, Jonatan Christie dan Anthony Ginting. Cerita manis Jojo terukir pada 2018 ketika dia merengkuh medali emas tunggal putra Asian Games dan awal 2023 ketika menjuarai Indonesia Masters. Ginting juga menciptakan kisah indah di Istora kala keluar sebagai juara Indonesia Masters 2020.
”Atlet-atlet bulu tangkis Indonesia sudah merasa bahwa Istora ini ikonik. Auranya, atmosfernya, memang berbeda,” kata Jonatan yang akan merasa kehilangan ketika Istora tak lagi jadi tempat perhelatan Indonesia Terbuka.
Pindah arena
Sudah sejak 12 Juni 2023, Ketua Panitia Pelaksana Indonesia Terbuka Armand Darmadji mengatakan bahwa 2023 menjadi tahun terakhir penyelenggaraan Indonesia Terbuka di Istora. Berdasarkan rencana, acara yang sama pada tahun depan akan dipindah ke Indonesia Multifunction Stadion atau Arena Indonesia demi menampung minat tinggi pencinta bulu tangkis Indonesia.
Selepas laga final, Armand kembali menyampaikan hal serupa. Ia berharap, dengan kepindahan ke tempat yang memiliki kapasitas lebih besar dari Istora nantinya harga tiket yang banyak diprotes karena dinilai terlalu mahal bisa disesuaikan alias lebih terjangkau.
”Biarpun tempatnya baru, saya juga berharap penonton tetap setia hadir dan membuat suasana lebih meriah dari Istora,” tutur Armand.
Baca juga: Satu Suara demi Indonesia
Kesedihan juga dirasakan penonton partai final Indonesia Terbuka 2023, Ferta Oktora (23), ketika mendengar kabar kepindahan dari Istora. Dalam benaknya, Istora adalah tempat yang identik dengan penyelenggaraan pertandingan bulu tangkis. Namun, ia juga penasaran bagaimana rasanya menonton bulu tangkis di tempat lain.
Istora identik dengan pertandingan bulu tangkis, termasuk Indonesia Terbuka, karena telah berkali-kali menjadi tempat penyelenggaraan acara tersebut. Selama 41 tahun digelar, baru delapan kali Indonesia Terbuka dilaksanakan di luar Istora. Pada 2021, misalnya, Indonesia Terbuka digelar di Bali International Convention Center, Nusa Dua, Bali, dengan sistem gelembung dan tanpa penonton untuk menghindari penyebaran Covid-19.
Selebihnya, penyelenggaraan Indonesia Terbuka selalu ”dibebankan” kepada Istora. Hal itu terjadi karena minimnya arena bulu tangkis yang layak untuk menggelar turnamen besar di Indonesia. Di Jakarta, praktis hanya Istora yang memenuhi persyaratan BWF untuk menggelar turnamen besar. Tempat itu memiliki lapangan, ruang bagi panitia, media, serta tim medis, dan kantong parkir. Selain itu, akses transportasi dan jarak ke hotel juga dekat.
Tempat lainnya, seperti Balai Sidang Jakarta Convention Center (JCC), pernah menjadi tempat penyelenggaraan Indonesia Terbuka 2017 untuk menggantikan Istora yang direnovasi. Namun, JCC bukanlah tempat yang diperuntukan sebagai arena olahraga. Selain kapasitasnya lebih sedikit dari Istora yang bisa menampung 7.000 penonton, tempat tersebut lebih sering digunakan untuk konser dan pameran.
Baca juga: Progres Pembangunan Indonesia Arena, Venue Piala Dunia Bola Basket FIBA 2023 Capai 96 Persen
Padahal, jika dibandingkan dengan negara lain, Istora pun berkapasitas jauh lebih kecil. Malaysia, misalnya, memiliki Arena Axiata di Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur, yang mampu menampung hingga 16.000 penonton.
China bahkan memiliki sport hall nyaris di semua provinsinya. Dua gelaran turnamen BWF tahun ini pun digelar di dua tempat berbeda. China Open Super 1000 pada November dihelat di Changzhou, sedangkan China Masters Super 750 pada November diadakan di Shenzhen.
Maka, dengan rencana kepindahan dari Istora ke tempat baru, Arena Indonesia, negara ini tidak hanya mengandalkan Istora untuk menggelar turnamen-turnamen besar. Arena Indonesia, yang rencananya digunakan sebagai tempat penyelenggaraan Piala Dunia Basket 2023 pada Agustus mendatang, bisa menjadi tuan rumah gelaran-gelaran bulu tangkis dengan kapasitas yang sama dengan Arena Axiata, yakni mencapai 16.000 tempat duduk.
Biarpun tempatnya baru, saya juga berharap penonton tetap setia hadir dan membuat suasana lebih meriah dari Istora.
Istora memang menyimpan banyak kenangan. Tunggal putra Denmark, Viktor Axelsen, bahkan mengukir kenangan baru dengan menjadi juara Indonesia Terbuka secara dua tahun berturut-turut di Istora. Menurut Axelsen, Istora melegenda dan bermain di arena tersebut akan menjadi pengalaman yang akan selalu ia ingat.
”Saya tidak pernah berpikir bisa kembali menang Indonesia Terbuka di Istora, arena yang dipenuhi semua orang yang menjadi lawan saya. Saya sangat bersyukur bisa punya pengalaman ini. Kenangan soal di Istora akan selalu ada di ingatan saya,” kata Axelsen yang mengalahkan Anthony Ginting pada partai final Indonesia Terbuka 2023.
Seperti Axelsen, memori tentang Istora akan dibawa ke tempat baru. Selama antusiasme pendukung masih sama dan teriakkan ”eaa..ea…” masih bergema, atmosfer ”Istora” akan tetap ada, di mana pun tempatnya nanti.