Skandal laporan keuangan palsu Juventus di Liga Italia bagai madu dan racun. Skandal itu penting diusut untuk mewujudkan keadilan. Tetapi, itu turut jadi noda di tengah upaya membangkitkan pamor sepak bola Italia.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
TURIN, SELASA — Setelah melalui proses panjang selama setahun terakhir, Juventus akhirnya kembali dijatuhi sanksi pengurangan poin di Serie A Liga Italia dampak dari skandal laporan keuangan palsu. Sanksi itu boleh jadi penting untuk mewujudkan keadilan dalam kompetisi sepak bola Italia yang pernah terpukul oleh skandal pengaturan skor yang turut melibatkan Juve pada 2006. Di sisi lain, sanksi itu bisa mencoreng citra sepak bola Italia di tengah upayanya mengembalikan pamor yang memudar setelah 199-0an.
Dalam sidang yang diadakan oleh pengadilan banding Federasi Sepak Bola Italia (FIGC) di Roma, Senin (22/5/2023) pagi waktu setempat, Juve dinyatakan bersalah karena menaikkan biaya transfer secara artifisial untuk meningkatkan perolehan modal. Skenario itu efektif untuk membuat Juve seolah-olah memiliki aset yang jauh lebih besar daripada yang sebenarnya mereka miliki.
Jaksa penuntut FIGC Giuseppe Chine menyarankan hukuman pengurangan 11 poin untuk Juve. Itu jauh lebih besar dibandingkan tuntutan pengurangan sembilan poin yang diminta Chine pada Januari 2023. Namun, panel menanggapinya dengan penalti 10 poin dan mengonfirmasikannya pada Senin malam.
Secara terori, Juve dapat mengajukan banding lain. Akan tetapi, mengingat upaya terakhir yang dilakukan mereka melanggar Pasal 4 terkait permainan yang adil dan kejujuran dalam olahraga, banding lanjutnya itu kemungkinan tidak akan berhasil.
Sanksi kedua
Sanksi itu menjadi yang kedua yang diterima Juve dalam lima bulan terakhir. Sebelumnya, pada 21 Januari 2023, pengadilan banding FIGC menjatuhkan hukuman pengurangan 15 poin untuk Juve. Namun, banding Juve diterima oleh pengadilan olahraga Komite Olimpiade Nasional Italia (CONI) pada 20 April dan meminta FIGC untuk membatalkan penalti 15 poin tersebut. Nyatanya, FIGC melakukan investigasi ulang dan mendapatkan bukti untuk kembali menghukum Juve, tetapi dengan pengurangan poin lebih sedikit menjadi 10 poin.
Dalam kasus Juve, mereka telah melanggar aturan Financial Fair Play (FFP) yang dicanangkan Asosiasi Sepak Bola Uni Eropa (UEFA) dan disepakati untuk dijalankan oleh federasi yang menjadi anggota mereka mulai 2010. FFP bertujuan untuk meningkatkan kesehatan keuangan klub dan menciptakan persaingan yang sehat.
Maka itu, klub diharuskan memiliki neraca keuangan yang seimbang, antara pendapatan dan pengeluaran. Kalau melanggar, mereka bisa mendapatkan sanksi mulai dari peringatan, pengurangan poin, pembatasan jumlah pemain yang bisa didaftarkan, diskualifikasi dari kompetisi, hingga pencabutan gelar.
Jerat FFP membuat klub tidak bisa lagi jor-joran melakukan pembelian pemain. Dalam situasi ini, Juve coba mengakalinya dengan menaikkan harga jual pemain yang disepakati secara ilegal. Itu menjadi jalan masuk mereka untuk membeli pemain berkualitas yang bisa menguntungkan tim dalam persaingan kompetisi.
Penting diusut tuntas
Bagi sebagian pihak, skandal itu sangat penting untuk diusut tuntas. Apalagi Juve disinyalir tidak bermain sendiri melainkan melibatkan banyak tim lain yang bersepakat dengan mereka. Bahkan, dalam sidang pertama pada Mei 2022, ada 10 klub lain yang diperiksa walau akhirnya mereka lolos dari sanksi.
Bahkan, UEFA pun telah menyiapkan sanksi untuk Juve. Bukan tidak mungkin, Juve dilarang untuk berpartisipasi dalam kompetisi Eropa musim depan meski meraih tiket ke salah satu kompetisi ”Benua Biru” yang ada, Liga Konferensi, Liga Europa, ataupun Liga Champions. ”Segera setelah ada keputusan final di Italia, maka UEFA juga akan mengambil keputusan. Lagi pula, masih ada dugaan kasus lain mengenai manuver gaji (yang dilakukan Juve),” ujar anggota Dewan FIFA dari UEFA, Evelina Christillin kepada Radio Anch’io Lo Sport dilansir Football-Italia, Senin.
Pelatih Juve Max Allegri pun pasrah mengenai masa depan Juve musim depan. ”Saya tidak tahu apakah mereka (UEFA) akan mengizinkan kami bermain di Eropa, kami harus menunggu dan melihatnya,” ujar pelatih kelahiran Livorno itu merujuk potensi hukuman dari UEFA.
Secara tersirat, Direktur Inter Milan sekaligus mantan CEO Juve tahun 2010-2018, Beppe Marotta menyampaikan, skandal Juve patut menjadi jalan untuk menuju reformasi keadilan olahraga. ”Saya tidak ingin masuk ke dalam kasus ini, saya pikir itu benar karena saya tidak tahu isi hukumnya sehingga adil untuk tetap diam. Tetapi, tentunya, saya pikir semua orang setuju bahwa kita membutuhkan reformasi keadilan olahraga,” katanya kepada Sky Sport Italia.
Skandal aneh
Sebaliknya, sebagian pihak lain menilai skandal itu aneh. Sebab, sulit untuk menerka harga pasti suatu pemain dalam pasar transfer. Proses sidang yang berlarut-larut juga berdampak negatif kepada peta persaingan Serie A, terutama dalam kepastian perebutan empat besar.
Sedikit banyak, itu menjadi noda di tengah usaha Serie A kembali berjaya seperti era 1980-1990an. Padahal, langkah menuju kebangkitan kompetisi terelite ”Negeri Spageti” itu kian nyata yang ditandai dengan persaingan ketat dan menarik yang melibatkan enam tim untuk masuk empat besar klasemen.
Di tambah lagi, tiga wakil Italia menembus tiga final kompetisi Eropa, yaitu Inter Milan di Liga Champions, AS Roma di Liga Europa, dan Fiorentina di Liga Konferensi. Itu tidak pernah terjadi setelah terakhir pada musim 1993/94, ketika AC Milan juara Liga Champions, Inter juara Piala UEFA, dan Parma finalis Piala Winners.
”Sungguh lelucon mengetahui sanksi itu dengan dua pekan yang tersisa. Bagi kami dan semua pihak, bahkan untuk Juve, pendekatan kami akan berbeda kalau mengetahui hukuman itu jauh lebih cepat. Saya minta maaf untuk Allegri dan para pemainnya, sesuatu berubah untuk musim ini,” tutur pelatih Roma, Jose Mourinho kepada DAZN.
Sementara itu, Juve siap melawan kendati harapan menang kecil. ”Apa yang ditetapkan keputusan kelima dalam masalah ini, yang dimulai lebih dari setahun lalu, itu menimbulkan kepahitan besar untuk klub dan para penggemar kami. Karena tidak ada aturan yang jelas, mereka merasa dihukum dengan penerapan sanksi yang terkesan melanggar prinsip proporsionalitas. Meskipun urgensi tetap menjadi perhatian Juve selama persidangan, penting untuk menekankan bahwa ini merupakan fakta yang harus dievaluasi oleh hakim,” demikian Juve dalam pernyataan resmi di Twitter.